Buya Hamka adalah seorang ulama kharismatik, politisi, wartawan, sastrawan, dan pahlawan nasional yang lahir di sekitar Danau Maninjau atau tepatnya di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya Agam.
Buya Hamka yang punya nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir di sana pada 17 Februari 1908. Namun, Buya Hamka tidak banyak menghabiskan waktu di tanah kelahirannya karena harus merantau sejak usia 16 tahun.
Kami tiba di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka menjelang Magrib, tepatnya pukul 17.00 WIB. Seorang pria langsung menghampiri dan menyapa kami dengan ramah. Saat itu sebenernya museum sudah akan tutup namun si bapak mempersilakan kami memasukinya.
"Sudah mau tutup tapi tidak apa-apa kalau mau masuk museum," kata bapak yang bernama Amir Syakib Hamka. Ternyata pria yang berusia 67 tahun tersebut adalah putra bungsu Buya Hamka.
Menurut penuturannya, Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka dibangun 24 tahun silam atau tepatnya pada 2000 dan diresmikan setahun setelahnya. Uniknya, pembangunan museum untuk mengenang dan menghormati Buya Hamka justru diinisiasi oleh negara tetangga, Malaysia.
"Saat masa perang dengan Jepang, rumah Buya Hamka ini rata dengan tanah, hancur. Kemudian setelah masa kemerdekaan, ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) ingin membangun kembali rumah Buya Hamka di sini, di tanah aslinya. Setelah itu, jadilah Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka ini pada tahun 2000," kata Amir.
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka dapat dilihat dengan jelas karena berdiri gagah berhadapan dengan Danau Maninjau. Museum ini nampak sederhana dengan desain rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang. Kayu menjadi material utama Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.
Sebelum masuk ke dalamnya, kami diwajibkan melepas alas kaki dan menaiki beberapa anak tangga karena posisinya yang memang ada sedikit di atas jalan. Kami pun diminta mengisi buku tamu sebelum melihat isi dalam musuem.
Di bagian kanan museum, ada ruang tamu dengan 5 rak buku kaca tempat menyimpan buku-buku koleksi Buya Hamka yang terdiri dari 31 judul dari 137 karangan Buya Hamka.
Di sisi lain, di sebelah kiri pintu masuk museum terdapat spot foto yang dilengkapi dua kursi rotan dan foto-foto Buya Hamka. Tepat di sebelah kanannya, ada sebuah kamar tidur berisi tempat tidur, lemari kaca berisi pakaian kebesaran Buya Hamka, dan etalase penyimpanan baju serta syal milik Buya Hamka. Kamar tidur ini diberi keterangan milik orangtua Buya Hamka, yakni H. Abdul Karim dan sang istri.
Seperti kamar tidur yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu, ranjang di dalamnya dihiasi kelambu berwarna putih, lengkap dengan sepasang bantal dan selimut. Di dalam kamar tidur juga terdapat pakaian berupa gamis dan batik yang kerap digunakan oleh Buya Hamka saat menghadiri acara-acara resmi.
Tidak ada biaya yang ditetapkan untuk memasuki Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Namun, kamu bisa berkontribusi melestarikan museum ini dengan memberikan donasi melalui kotak donasi yang ada di dalam museum atau membeli karya-karya Buya Hamka yang dijual di museum.
Tim Jalan Pulang pun memperoleh pengalaman luar biasa saat menginjakkan kaki di Danau Maninjau, tanah kelahiran Buya Hamka. Kami pun ingin kembali suatu saat nanti untuk mengeksplor Danau Maninjau lebih luas lagi.
Tim Jalan Pulang pun kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bukittinggi pada pukul 18.00 WIB.
Program Jalan Pulang ke Ranah Minang 2024 ini dipersembahkan oleh Telkom Indonesia #ElevatingYourFuture