Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mengecek kondisi ban motor (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi mengecek kondisi ban motor (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Konstruksi dan ukuran ban motor lebih kecil

  • Sensor TPMS bawaan pabrik di mobil biasanya dipasang di bagian dalam pelek atau katup ban, dan ukurannya cukup besar. Di motor, terutama matic atau bebek, ukuran velg dan ruang di sekitar pentil ban sangat terbatas.

  • Motor dianggap lebih mudah dicek manual

  • Dari sisi kebiasaan pengguna, tekanan ban motor biasanya dicek secara manual atau hanya berdasarkan rasa. Motor juga lebih ringan dari mobil, jadi efek tekanan ban kurang biasanya langsung terasa saat digunakan.

  • Harga dan efisiensi produksi jadi pertimbangan utama

  • Alasan terbesar kenapa sensor tekanan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di mobil-mobil keluaran terbaru, sensor tekanan ban atau TPMS (Tire Pressure Monitoring System) sudah jadi fitur standar. Sistem ini otomatis memberi peringatan saat tekanan angin di ban kurang dari batas aman. Tapi kalau kita bicara soal motor, fitur ini justru sangat jarang ditemukan. Bahkan di motor kelas premium sekalipun, sensor tekanan ban masih tergolong langka.

Padahal kalau dipikir-pikir, motor jauh lebih rawan terhadap masalah ban kempis atau bocor halus. Risiko kehilangan keseimbangan saat ban kurang angin juga lebih tinggi daripada mobil. Jadi kenapa sensor tekanan ban belum umum dipasang di sepeda motor?

1. Konstruksi dan ukuran ban motor lebih kecil

ilustrasi ban motor (wahanahonda.com)

Salah satu alasan teknisnya adalah perbedaan konstruksi dan ukuran ban. Sensor TPMS bawaan pabrik di mobil biasanya dipasang di bagian dalam pelek atau katup ban, dan ukurannya cukup besar. Di motor, terutama matic atau bebek, ukuran velg dan ruang di sekitar pentil ban sangat terbatas. Pemasangan sensor standar bisa mengganggu keseimbangan roda atau membuatnya sulit dipasang ulang saat ganti ban.

Selain itu, sistem TPMS juga memerlukan modul penerima sinyal dan tampilan digital—sesuatu yang belum tentu tersedia di dashboard motor standar. Kalau pun dipasang, biayanya bisa melonjak dan bikin harga jual motor jadi tidak kompetitif di segmen entry-level.

2. Motor dianggap lebih mudah dicek manual

Ilustasi ban motor (Pexels/Anastasia Shuraeva)

Dari sisi kebiasaan pengguna, tekanan ban motor biasanya dicek secara manual atau hanya berdasarkan rasa. Misalnya, kalau ban terasa “lembek” saat dikendarai, pengguna langsung mengecek ke pompa angin. Motor juga lebih ringan dari mobil, jadi efek tekanan ban kurang biasanya langsung terasa saat digunakan. Hal ini membuat produsen motor berpikir bahwa sistem sensor tidak terlalu mendesak untuk disematkan—terutama di segmen motor harian.

Beda halnya dengan mobil, di mana beban kendaraan lebih berat dan efek ban kempis sering tidak terasa hingga benar-benar parah. Karena itu, fitur TPMS dinilai lebih krusial di mobil daripada di motor.

3. Harga dan efisiensi produksi jadi pertimbangan utama

ilustrasi ban motor (pexels.com/lucas)

Pada akhirnya, alasan terbesar kenapa sensor tekanan ban belum umum di motor adalah soal biaya produksi. Menambahkan fitur TPMS, walaupun teknologinya sudah ada, tetap akan menambah ongkos. Padahal sebagian besar konsumen motor masih sangat sensitif terhadap harga. Produsen motor pun harus memilih fitur mana yang lebih penting dan bisa berdampak luas bagi pengguna—seperti rem CBS, lampu LED, atau sistem ISS (Idling Stop System).

Namun begitu, bukan berarti motor tidak bisa pakai TPMS. Saat ini sudah banyak sensor tekanan ban aftermarket untuk motor yang bisa dipasang sendiri. Harganya relatif terjangkau dan hasilnya cukup akurat. Jadi buat kamu yang ingin lebih aman dan tidak mau ketinggalan zaman, pasang TPMS di motor harian bisa jadi pilihan bijak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team