Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi uang rupiah (pixabay.com/Sewupari Studio)
ilustrasi uang rupiah (pixabay.com/Sewupari Studio)

Intinya sih...

  • Gaya hidup frugal living mendorong individu untuk menahan diri dari belanja konsumtif dan fokus pada menabung atau berinvestasi.
  • Tren frugal living berimbas langsung pada sektor ritel, fesyen, hiburan, dan kuliner dengan konsumen yang lebih selektif dalam memilih produk.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tren frugal living tengah menjamur di kalangan masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Fenomena ini mengajak orang untuk hidup hemat, lebih bijak dalam mengelola pengeluaran, dan fokus pada kebutuhan utama. Di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, banyak orang mencari cara bertahan secara finansial dengan mengadopsi gaya hidup minimalis.

Namun, seiring meningkatnya popularitas frugal living, muncul pertanyaan: bagaimana dampaknya terhadap perekonomian negara? Apakah penghematan individu turut memperlambat pertumbuhan ekonomi, atau justru memberi efek positif jangka panjang?

Artikel ini akan mengupas berbagai sisi tren frugal living dan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.

1. Masyarakat menahan konsumsi demi menabung

ilustrasi menabung (pexels.com/maitree rimthong)

Gaya hidup frugal living mendorong individu untuk menahan diri dari belanja konsumtif. Mereka lebih memilih menabung atau berinvestasi daripada membelanjakan uang untuk barang yang dianggap tidak esensial. Dampaknya, tingkat konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama Produk Domestik Bruto (PDB) bisa melambat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 52 persen terhadap PDB Indonesia pada kuartal IV-2024. Bila pola hidup hemat makin masif, potensi pelemahan daya beli bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah dan pelaku usaha perlu beradaptasi dengan perubahan ini.

2. Industri ritel dan gaya hidup terdampak signifikan

ilustrasi dalam mall (pexels.com/Tuur Tisseghem)

Tren frugal living berimbas langsung pada sektor ritel, fesyen, hiburan, dan kuliner. Konsumen kini lebih selektif dalam memilih produk dan cenderung menghindari pembelian impulsif. Toko-toko yang menjual barang nonesensial bisa kehilangan pelanggan jika tidak berinovasi.

Sebagai contoh, laporan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat penurunan transaksi di pusat perbelanjaan sebesar 7 persen sejak awal 2024. Pelaku usaha dituntut untuk menawarkan nilai tambah atau produk yang benar-benar dibutuhkan pasar. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menciptakan model bisnis yang lebih adaptif.

3. UMKM lokal bisa diuntungkan lewat produk fungsional

ilustrasi restoran (freepik.com/Drazen Zigic)

Meskipun konsumsi menurun, frugal living justru memberi peluang bagi UMKM yang menawarkan produk fungsional dan terjangkau. Masyarakat lebih condong membeli dari produsen lokal yang menawarkan harga bersaing dan kualitas baik. Hal ini bisa mendorong pertumbuhan UMKM berbasis kebutuhan dasar.

UMKM yang menjual barang kebutuhan pokok, layanan reparasi, atau produk ramah lingkungan justru mengalami peningkatan permintaan. Pemerintah dapat memanfaatkan tren ini untuk memperkuat sektor informal dan ekonomi kerakyatan. Dukungan berupa pelatihan dan insentif bisa memaksimalkan potensi tersebut.

4. Perilaku finansial individu menjadi lebih sehat

ilustrasi uang rupiah (pexels.com/Ahsanjaya)

Tren ini membawa dampak positif terhadap pengelolaan keuangan pribadi. Banyak orang mulai membuat anggaran, menabung, dan menghindari utang konsumtif. Kedisiplinan finansial ini bisa berdampak jangka panjang pada stabilitas ekonomi keluarga dan daya tahan terhadap krisis.

Lembaga keuangan seperti bank dan fintech juga melihat peningkatan minat terhadap produk tabungan dan investasi mikro. Edukasi finansial menjadi kunci agar masyarakat bisa mengoptimalkan manfaat frugal living tanpa merasa kekurangan. Perlahan tapi pasti, perubahan ini memperkuat fondasi ekonomi nasional.

5. Potensi deflasi jika tren ekstrem dan berkepanjangan

ilustrasi ekonomi menurun (freepik.com/Freepik)

Jika frugal living dilakukan secara ekstrem dan dalam jangka panjang, risiko deflasi bisa mengintai. Penurunan permintaan barang dan jasa dapat menyebabkan harga-harga turun, yang berujung pada perlambatan ekonomi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kebijakan moneter pemerintah.

Bank Indonesia perlu memantau pola konsumsi masyarakat agar inflasi tetap dalam kisaran target. Strategi seperti stimulus fiskal atau insentif konsumsi bisa digunakan untuk menjaga keseimbangan. Kesadaran akan pentingnya konsumsi produktif harus terus dibangun.

6. Inovasi bisnis terdorong lewat adaptasi pasar

ilustrasi meeting bisnis (freepik.com/pch.vector)

Tren frugal living menantang pelaku usaha untuk berinovasi. Bisnis yang mampu menawarkan produk dengan harga terjangkau, multifungsi, dan berkualitas tinggi cenderung bertahan. Hal ini mendorong efisiensi operasional dan pendekatan bisnis yang lebih berkelanjutan.

Contohnya, merek-merek lokal kini banyak merilis produk reusable atau refillable yang sesuai dengan semangat hidup hemat dan ramah lingkungan. Adaptasi ini menciptakan peluang bisnis baru di tengah penurunan konsumsi. Frugal living tak hanya soal menahan belanja, tapi juga mendorong transformasi industri.

7. Perekonomian jangka panjang bisa lebih stabil

ilustrasi kenaikan ekonomi (pexels.com/Monstera Production)

Secara jangka panjang, tren ini berpotensi menciptakan perekonomian yang lebih stabil. Dengan keuangan pribadi yang sehat, masyarakat lebih siap menghadapi gejolak ekonomi global. Ketahanan ini dapat menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Pemerintah bisa memanfaatkan momentum ini dengan mendorong literasi keuangan dan pola konsumsi cerdas. Frugal living bukan sekadar tren, tetapi bagian dari transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih bijak dalam mengelola sumber daya. Ketika individu tangguh secara finansial, ekonomi nasional ikut menguat.

Tren frugal living membawa dampak beragam bagi perekonomian Indonesia, dari perlambatan konsumsi hingga dorongan terhadap inovasi. Masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah perlu memahami dinamika ini secara seimbang. Dengan pendekatan yang tepat, gaya hidup hemat bisa menjadi katalisator ekonomi yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team