Perdagangan Karbon Masih Sulit untuk Pelaku Usaha, Ini Sebabnya 

Bursa karbon di Indonesia perlu dikembangkan

Jakarta, IDN Times – Bursa karbon di Indonesia resmi diluncurkan pada 26 September 2023. Hingga sekarang, dilaporkan ada 52 pengguna jasa pada bursa karbon tersebut yang berasal dari sektor energi, kehutanan, lembaga jasa keuangan, dan sektor lainnya termasuk media. 

Terkait ini, Chief Executive Officer Indonesia Business Council (IBC) Sofyan Djalil mengatakan, "bagi Indonesia, pasar karbon adalah jalan menuju pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah kita komitmen pada Paris Agreement." 

Hal tersebut dia ungkapkan pada diskusi bertajuk "Mengembangkan Pasar Karbon Indonesia: Peluang untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Keberlanjutan", yang diselenggarakan oleh IBC bersama Katadata di Jakarta, Selasa (19/3/2024).  

Namun demikian, proses perdagangan karbon tidak semudah itu, dan masih ada pula tantangan-tantangan lain yang menjadi hambatan dari terdorongnya pasar karbon di Indonesia, terutama bagi para pelaku usaha yang ingin mengembangkan proyek-proyek hijau mereka. 

Pada kesempatan ini, Group Chief Strategy & Planning Officer dari Star Energy Geothermal, Agus Sandy Widyanto, membagikan pengalamannya sebagai salah satu pelaku usaha hijau geothermal (panas bumi) terdepan di Indonesia. Apa saja hambatan itu?

Baca Juga: Indonesia Buka Jasa Penyimpanan Karbon, Begini Skema Bisnisnya

1. Biaya proyek hijau jauh lebih tinggi dibandingkan proyek berbasis bahan bakar fosil

Perdagangan Karbon Masih Sulit untuk Pelaku Usaha, Ini Sebabnya Group Chief Strategy & Planning Officer dari Star Energy Geothermal, Agus Sandy Widyanto, pada Selasa (19/3/2024) (IDN Times/Amara Zahra)

Star Energy Geothermal merupakan salah satu produsen energi baru terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia, dengan total kapasitas panas bumi sebesar 886 MegaWatt. Sebagai perusahaan geotermal terdepan, mereka sudah berdagang di bursa karbon tingkat internasional selama hampir 1 dekade.

Tiga aset geotermal yang mereka operasionalkan semua ternilai hijau, sustainable, dan sudah disertifikasi dengan berbagai standard karbon internasional, seperti UNFCCC dan I-REC. 

"Untuk pasar karbon dan pasar energi hijau, kami memang sudah cukup lama berkiprah di bidang itu," ungkap Agus. 

Namun demikian, dia juga mengakui bahwa ada pula tantangan besar yang mereka hadapi selama perjalanan panjang mereka di pasar karbon. 

Tantangan pertama adalah proyek-proyek yang bersifat hijau memiliki pengeluaran capital expenditure (belanja modal, atau capex) yang sangat tinggi. Berdasarkan data dari Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dipaparkan oleh Agus, proporsi capex proyek energi hijau 2 hingga 3 kali lebih besar dibandingkan proyek energi berbasis fosil.

Hal ini merupakan tantangan di lingkungan dengan minat tinggi seperti Indonesia. 

"Minimal 75 persen sampai lebih dari 95 persen dari biaya pembangkitan itu di depan (dikeluarkan di muka)," kata Agus.

2. Proses sertifikasi kredit karbon lama dan mahal

Perdagangan Karbon Masih Sulit untuk Pelaku Usaha, Ini Sebabnya Presentasi Star Energy Geothermal tentang tantangan perdagangan karbon sebagai pelaku usaha (youtube.com/Katadata Indonesia)

Tantangan yang kedua adalah sertifikasi kredit karbon melalui proses yang rumit dan memakan waktu. 

"Pengalaman kami prosesnya sangat rumit, membutuhkan banyak sekali, bisa sampai dua tahun, dan biayanya sangat besar," tutur dia, mengingat pengalamannya dengan UNFCCC maupun VERRA Carbon Standard. 

Berdasarkan satu penelitian, biaya muka sertifikasi karbon mulai dari 130 ribu hingga 250 ribu dolar Amerika Serikat (AS), atau sekitar Rp2-3,9 miliar. Ini setara dengan 9 hingga 18 persen tambahan belanja modal untuk pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 2MW yang digunakan sebagai pengganti diesel. 

Setelah verifikasi diselesaikan, prosesnya tidak berakhir di situ. 

Agus menjelaskan, "untuk melakukan maintenance dan validasi, masih memerlukan biaya yang cukup besar. Diperkirakan sekitar 25 ribu hingga 50 ribu dolar AS secara rata-rata per tahunnya. Kalau kami bandingkan dengan harga (karbon per ton) yang kami atau para pelaku lainnya dapat di pasar internasional, sungguh mengagetkan." 

Dia menambahkan bahwa semenjak perdagangan karbon pertama kali dilakukan di pasar internasional, harga cost efficiency ratio (CER) Indonesia berada di 17 dolar per tCO2e (sekitar Rp267 ribu). Namun, angka tersebut merosot secara drastis, berada pada 1 dolar AS (sekitar Rp15 ribu) per tCO2e antara tahun 2015 hingga 2020.

Sejak pertengahan 2020, harga karbon mulai pulih, tetapi tergugat karena invasi Rusia ke Ukraina.

3. Perkembangan bursa karbon di Indonesia perlu didukung oleh kementerian dan lembaga terkait

Perdagangan Karbon Masih Sulit untuk Pelaku Usaha, Ini Sebabnya Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi, pada Selasa (19/3/2024) (IDN Times/Amara Zahra)

Perluasan pasar karbon di Indonesia dilakukan sebagai upaya Indonesia dalam mencapai NDC, yang menetapkan bahwa Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional. 

Semenjak bursa karbon Indonesia resmi diluncurkan hingga 18 Maret 2024, total akumulasi volume transaksi sebesar 501 ribu tCO2e, dengan nilai sebesar Rp31,36 miliar. Dari transaksi tersebut, sebesar 182 ribu tCO2e telah dilakukan retired melalui bursa karbon. 

“Nah, memang saat ini (angkanya) masih terbilang kecil,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi. 

Meskipun Inarno mengatakan optimistis bursa karbon di Indonesia akan terus berkembang. Dia juga mengaku bahwa optimisme ini akan sulit diwujudkan tanpa dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yang terkait. 

Masih banyak koordinasi dengan pihak kementerian dan lembaga lainnya yang diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dialami banyak pelaku usaha seperti Star Energy Geothermal, khususnya dalam memformulasikan kebijakan. 

Baca Juga: BEI Targetkan Tambah 50 Pengguna Bursa Karbon di 2024

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya