TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perjuangkan Nasib Kelapa Sawit, Pemerintah RI Gugat Uni Eropa di WTO

Lawan diskriminasi kelapa sawit

IDn Times/Sunariyah

Jakarta, IDN Times - Pemerintah melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia di Jenewa, Swiss mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization. Gugatan ini terkait kebijakan Renewable Energy Directive II dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

"Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi atau pelaku usaha produk kelapa sawit, dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu (15/12).

Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE di WTO sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. 

Baca Juga: Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawit

1. Kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE mendiskriminasi kelapa sawit

IDN Times/Hana Adi Perdana

Menurut Agus, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa (UE) melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation.

Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud  berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

"Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit," katanya.

2. Melalui Renewable Energy Directive II, UE tak lagi menggunakan bahan bakar dari sawit

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, Uni Eropa mewajibkan penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui. Hal itu diberlakukan bertahap mulai tahun depan hingga 2030.

Selanjutnya, delegated regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II, mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE.

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.

Baca Juga: Di KTT Iklim, Al Gore Singgung Lemahnya Moratorium Sawit di Indonesia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya