Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawit

Gak perlu gugat ke WTO. Kalau kalah, Indonesia rugi

Jakarta, IDN Times – Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bustanul Arifin menilai Indonesia tidak perlu sampai menggugat Uni Eropa ke badan PBB untuk isu perdagangan, World Trade Organization (WTO) terkait masalah pembatasan sawit.

“Jangan sampai merugikan diri sendiri dan kalah di panel,” kata Bustanul dalam sebuah diskusi, Minggu (31/3).

Diplomasi dinilai menjadi solusi terbaik masalah ini. Diplomasi seperti apa yang dimaksud Bustanul?

1. Gak perlu buru-buru lakukan gugatan, kalau kalah Indonesia yang rugi

Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawitworld economy forum

Bustanul menilai, jika Indonesia harus melalukan gugatan, tentu analisis awal harus dipersiapkan. Ia mewanti-wanti bahaya jika Indonesia kalah dalam langkah tersebut.

“Jangan sampai merugikan diri sendiri dan kalah di Panel. Poin saya adalah, tidak perlu terburu-buru mendaftarkan gugatan ke Panel WTO,” ujarnya.

Baca Juga: UE Diskriminasi Kelapa Sawit, Luhut Panjaitan Ancam Lakukan Hal Ini

2. Gertakan Luhut sudah oke, tinggal diplomasi

Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawit(Menko Kemaritikan Luhut Panjaitan) ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Panjaitan mengancam akan memboikot produk-produk Uni Eropa seperti airbus yang dijual di Indonesia apabila negara-negara itu terus melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit.

“Gertak-menggertak seperti kemarin itu sudah oke. Misalnya, tidak akan mengimpor Airbus dalam waktu dekat,” puji Bustanul.

Langkah selanjutnya adalah berdiplomasi dengan memperhitungkan kerugian ekonomi.

“Kita harus berdiplomasi dengan elegan. Tinggal dihitung saja, dibuat simulasi, berapa kerugian ekonomi dari pilihan A atau pilihan B,” jelasnya.

3. Ingat, Uni Eropa cuma boikot minyak sawit untuk bahan bakar

Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawitunsplash.com/chuttersnap

Bustanul lalu mengingatkan bahwa Uni Eropa cuma menghalangi masuk minyak sawit untuk biofuel, bukan untuk pangan.

“Minyak kelapa sawit untuk pangan masih berjalan seperti biasa. Bentuk restriksi pasar di sana juga berbeda. Mereka berkampanye melalui industri pangan mereka. Misal, di Itali sering membuat label ‘Makanan ini tidak mengandung minyak sawit’,” jelasnya.

Baca Juga: Bisakah Indonesia Melawan Uni Eropa Soal Pelarangan Kelapa Sawit?

4. Seputar pembatasan sawit dari Uni Eropa

Usai Luhut Gertak Uni Eropa, Kini Saatnya Diplomasi soal Sawitunsplash.com/epicurrence

Kesepakatan Renewable Energy Directive II (RED II) mempengaruhi perdagangan sawit dunia menuju Eropa. Melalui kesepakatan RED II ini, sepanjang tahun 2020-2030, negara-negara Uni Eropa akan menetapkan kelapa sawit dalam kategori tanaman pangan berkategori risiko-tinggi dan risiko rendah Indirect Land Usage Change (ILUC).

Artinya penggunaan kelapa sawit akan dibatasi dan bahkan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. RED II ini juga menetapkan bahwa UE wajib memenuhi 32 persen kebutuhan energinya dari sumber terbarukan pada tahun 2030. Artinya, UE tetap membutuhkan sumber bahan bakar nabati, namun tidak boleh dari sawit.

Baca Juga: 5 Manfaat Kelapa Sawit yang Mubazir Kalau Dilarang Uni Eropa

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya