Tidak Mungkin Ada Superholding jika BUMN Masih Andalkan Suntikan Modal
Kementerian BUMN diusulkan diubah jadi superholding
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menyarankan Kementerian BUMN dibubarkan dan diganti menjadi superholding. Menanggapi hal itu, pengamat ekonomi dari Indef Abra Talatov mengungkapkan tidak semudah itu untuk mengubah Kementerian BUMN menjadi superholding.
Sebab, menurutnya, BUMN masih bergantung besar pada penyertaan modal negara (PMN) hingga saat ini.
"Kalau mau superholding, tapi minta bantuan dana dari uang pajak, dari masyarakat melalui PMN sama aja. Apa bedanya kalau gitu?" kata dia kepada IDN Times, Rabu (23/9/2020).
Baca Juga: Diusulkan Bubar oleh Ahok, Ini Respons Kementerian BUMN
1. BUMN dinilai belum mampu mengoptimalkan profit
Abra mengatakan sejatinya wacana untuk mengubah Kementerian BUMN menjadi sebuah badan otonom, bukan lagi berbentuk kementerian, merupakan wacana lama. Bahkan wacana itu sudah ada sejak zaman reformasi.
"Tapi perlu ada beberapa tahapan. (Zaman) Krisis kan dulu banyak BUMN yang terpapar. Sehingga perlu restrukturisasi, baru profitisasi, yang ketiga privatisasi," ujarnya.
Menurut dia, saat ini BUMN belum mampu mengoptimalkan profitisasi. Hal tersebut, menurutnya, tercermin dari data BUMN sepanjang 2008 hingga 2018. Pada 2008, rasio laba terhadap aset BUMN 3,96 persen. Tetapi pada 2018, cuma 1,91 persen.
"Artinya peningkatan aset BUMN gak cukup mampu mengerek naiknya pendapatan maupun laba BUMN. Kita belum sampai level membuat BUMN profit," ujarnya.
Baca Juga: Di Tengah Isu Kebobrokan, Pertamina Disuntik Modal Rp2,1 Triliun