TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

BPJS adalah Tugas Presiden yang Belum Tuntas

Tuntaskan, pak!

(Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan) ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Jakarta, IDN Times - BPJS Kesehatan terus mengalami defisit setiap tahunnya. Suntikan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih belum cukup menyelamatkan neraca keuangan BPJS. Tahun ini, BPJS dipastikan bakal kembali mengalami defisit lagi. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisitnya mencapai Rp32 triliun.

Sebagai jalan keluar, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar 100 persen. Kenaikan iuran berlaku awal 2020 mendatang.

Ketentuan itu telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Jokowi pada 24 Oktober 2019.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan, kebijakan dan program BPJS tidak boleh diakui sepihak oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan sedang menjalankannya. Dia mengatakan bahwa perjuangan jaminan kesehatan dan jaminan sosial sudah terjadi puncaknya pada 20 tahun masa reformasi ketika amandemen UUD 1945 diselesaikan.

Amandemen UUD 1945 pada masa reformasi tersebut langsung mengamanatkan agar pemerintah dalam hal ini presiden untuk menjalankan program jaminan sosial dan kesehatan sesuai pasal 28H. Pasal itu dalam ayat 1 berbunyi: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Pasal tersebut mendapat perhatian khusus dalam amandemen UUD 1945 dan langsung sebagai amanat tertinggi yang harus dijalankan presiden," ujarnya seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Kamis (31/10).

Baca Juga: Tunggakan BPJS Capai Rp13 M, RSUD Balaraja Utang Obat

1. Presiden bisa dituding langgar UU

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Didik mengatakan, secara ketatanegaraan, presiden bisa dituding melanggar undang-undang (UU) jika manajemen kebijakan BPJS bangkrut dan berhenti. Namun, jika presiden mengurangi atau menghentikan dana desa, dana alokasi khusus, maupun penyertaan modal negara (PMN), maka tidak ada delik khusus.

"Karena secara eksplisit di dalam undang-undang dasar. Tetapi jika BPJS berhenti, maka presiden melanggar pasal 28H, ditambah lagi pasal 34 ayat 2," tuturnya.

Adapun bunyi pasal tersebut adalah negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

2. Kebijakan jaminan kesehatan sempat terkendala

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Didik mengungkapkan bahwa pada masa sebelumnya sudah 30 tahun kebijakan jaminan kesehatan dan sosial tidak berhasil. Alasannya, karena tidak ada dana yang cukup untuk menjalankannya menigngat Indonesia tergolong kelompok berpenduduk paling besar di dunia.

"Pada masa reformasi kebijakan ini ditetapkan dalam UUD 1945, tetapi sulit dilaksanakan pada masa Habibie, Gusdur dan Megawati karena krisis ekonomi," ungkapnya.

Baca Juga: Dikritik karena Naikkan BPJS, Jokowi: 96 Juta Rakyat Sudah Digratiskan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya