TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cuti 6 Bulan di RUU Ketahanan Keluarga, Respons Pengusaha: Gila Aja!

Pengusaha tetap pada aturan yang berlaku saat ini

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani. IDN Times/Hana Adi Perdana.

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menolak keras cuti melahirkan selama enam bulan yang tertulis dalam draft RUU Ketahanan Keluarga. Sebab, kebijakan yang diusulkan DPR itu dinilai menghambat produktivitas para pekerja.

"Keberatan. Ya cuti enam bulan gila aja, mau ngapain cuti enam bulan? yang enggak-enggak aja. Kita semua dituntut produktif. Ya gak bisa begitu dong, gak bisa, kita gak setuju," ujarnya kepada IDN Times, Jumat (21/2).

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Melanggengkan KDRT

1. Pengusaha tetap sepakat pada aturan saat ini

Ilustrasi bekerja (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Hariyadi menegaskan bahwa pihaknya lebih setuju dengan kebijakan cuti melahirkan saat ini. Sebab, durasi cuti tersebut sudah sesuai bagi perusahaan maupun pekerjanya.

"Iya (setuju cuti tiga bulan). Itu sudah definitifnya. Itu aja," tegasnya.

Sebagai informasi, hak cuti melahirkan bersumber pada aturan UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Durasi cuti melahirkan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

2. Draf RUU Ketahanan Keluarga mengatur soal cuti melahirkan selama 6 bulan dan cuti untuk suami

Dok. IDN Times/Istimewa

Draf RUU Ketahanan Keluarga telah terbit. Dalam draf itu, salah satu pasal mengatur soal ketentuan cuti melahirkan selama enam bulan. Dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan, seorang istri yang menjadi pegawai lembaga pemerintahan yang melahirkan dan menyusui, mendapat hak cuti selama 6 bulan.

Berikut bunyi ketentuan tersebut:

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memfasilitasi istri yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan:

a. Hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam) bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya;

b. Kesempatan untuk menyusui, menyiapkan, dan menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja;

c. Fasilitas khusus untuk menyusui di tempat kerja dan di sarana umum; dan

d. Fasilitas rumah pengasuhan anak yang aman dan nyaman di gedung tempat bekerja.

Tidak hanya istri yang melahirkan dan menyusui, suami juga mendapat cuti. Hal ini juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2), berikut bunyinya:

"(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memfasilitasi suami yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan hak cuti saat istrinya melahirkan, istri atau anaknya sakit atau meninggal." bunyi beleid tersebut.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga, Ibu Melahirkan Dapat Cuti 6 Bulan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya