TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Masalah yang Tersisa dari Kebijakan Minyak Goreng Subsidi

Mulai dari kebijakan pengendalian pasokan hingga pengawasan

Sejumlah minimarket retail modern di Kota Bandar Lampung kehabisan stok minyak goreng kemasan. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah mengucurkan subsidi dengan membuat program satu harga yang mana semua harga minyak goreng dijual sebesar Rp14 ribu per liter. Meski dianggap menjadi solusi di tengah mahalnya harga minyak goreng, namun kebijakan tersebut masih menyisakan sejumlah permasalahan. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, permasalahan pertama adalah terkait kebijakan pengendalian pasokan CPO dalam negeri sehingga baru boleh ekspor memiliki kelemahan, salah satunya perbedaan dengan domestic market obligation

Dalam aturan yang dirilis terkait pengendalian CPO, kata Bhima, tidak ada formulasi khusus soal berapa persen pemenuhan kebutuhan domestik yang harus dipenuhi perusahaan.

"Jadi di sini masih terlalu longgar kalau hanya mensyaratkan dokumen tapi belum ada berapa minimal pemenuhan kebutuhan domestiknya. Dan harga jual kepada produsen minyak gorengnya berapa dari produsen CPO ke produsen minyak goreng berapa ketetapan harganya, itu juga tidak diatur," kata Bhima kepada IDN Times, Minggu (23/1/2022).

Baca Juga: Minyak Goreng Bersubsidi Cuma Jadi Pereda Nyeri

Baca Juga: Minyak Goreng Satu Harga Mulai Dijual di Pasar DKI Pekan Depan

1. Tidak cukup subsidi BPDPKS, perlu APBN juga

Minyak goreng satu harga, Superindo Daan Mogot pada Kamis (19/1/2022). (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Masalah kedua terkait pemberian subsidi menggunakan dana pungutan ekspor kelapa sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp3,6 triliun. Bhima mempertanyakan kebijakan tersebut apakah dapat dilakukan selama 6 bulan. 

Menurutnya, tren kenaikan harga CPO di pasar internasional bisa mencapai 60 persen dibanding tahun lalu. Ia bahkan memperkirakan tren kenaikan harga CPO bakal terjadi sampai akhir 2022.

"Jadi 6 bulan gak cukup. Harusnya ada kepastian sampai satu tahun ke depan kalau mau buat kebiajakan ini. Dan anggaran gak bisa cuma dari BPDPKS, tetapi harus dari APBN," ujarnya.

2. Masalah pengawasan dan disparitas harga

Minyak goreng, sembako yang sering penyumbang inflasi. Foto ilustrasi: IDN Times/Hana Adi Perdana

Ketiga adalah masalah terkait mekanisme pengawasan. Bhima khawatir dengan alokasi minyak goreng yang terbatas bakal tidak tersedia karena permintaan yang tinggi. 

"Sementara kita lihat bagaimana pengawasan disparitas antara harga di daerah Jawa dan luar jawa. Mulai dari biaya transportasi hingga distribusi. Ini bagaimana caranya disparitas bisa satu harga di Rp14 ribu. Tentu mekanisme perlu dijelaskan ke publik sehingga publik bisa bantu mengawasi," katanya menjelaskan.

"Ini kan bentuk subsidi ke swasta, bukan ke masyarakat sebagai penerima akhir. Maka perlu transparansi subsidi ke swasta dan akuntabilitas terjaga dan subisidi bisa tepat sasaran," katanya menambahkan.

Baca Juga: Pedagang Tak Boleh Jual Minyak Goreng Subsidi di atas Rp14 Ribu

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya