TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

OBOR dan Indonesia yang Makin Sulit Lepas dari Cengkraman Tiongkok

OBOR menambah masifnya kerjasama Indonesia dengan Tiongkok

ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song/cfo/18

Jakarta, IDN Times – Dua tahun lalu, tepatnya 14-15 Mei 2017, Presiden Joko Widodo pergi ke Tiongkok menghadiri KTT Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok (Belt and Road Initiative/BRI) atau yang juga disebut One Belt One Road atau OBOR. Saat itu, Jokowi mempelajari konsep kaukus ekonomi dunia, OBOR Tiongkok, itu. 

April lalu giliran Wakil Presiden RI Jusuf Kalla juga menghadiri forum ini. Ia menekankan tentang pentingnya sinergi antara strategi pembangunan nasional dengan pelaksanaan proyek dalam kerangka kerja sama BRI.

Selain tentang strategi pembangunan nasional, Wapres RI dalam forum itu juga menekankan pentingnya prinsip kepemilikan (ownership) dorongan nasional (national driven) untuk berbagai proyek dan kerja sama dalam kerangka BRI. Forum ini semakin menambah panjang daftar kerja sama Indonesia dengan Tiongkok. Dan membuat Indonesia akan sulit keluar dari ‘cengkraman’ Tiongkok.

“Kita semakin sulit keluar dari tawaran BRI karena peran Tiongkok sudah terlampau besar,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam sebuah diskusi seperti dilansir Antara.

Baca Juga: Donald Trump Kembali Berang Soal Perang Dagang, Ini Tanggapan China

1. Kerja sama Indonesia-Tiongkok berawal dari ACFTA 2010

change.org

Tauhid menjelaskan keterbukaan Indonesia terhadap Tiongkok dibuka sejak perjanjian antar ASEAN-Tiongok Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010 yang ditandatangani persetujuan pada tahun November 2004 dan direvisi pada tahun 2006 dan 2010.

“Kesepakatan ini berlaku efektif pada 1 Januari 2012 untuk produk barang dengan status ‘Normal Track’. Artinya produk yang dikatakan dapat normal diperdagangkan antar negara dan bukan produk ‘sensitive’ yang diperdagangkan antar negara. Sementara keterbukaan untuk sektor Jasa ditandangani pada 2007 dan fasilitasi investasi antar negara ASEAN dan Tiongkok ditandatangani sejak 2009,” jelas Tauhid.

2. Perkembangan investasi Tiongkok di Indonesia yang masif

IDN Times/Uni Lubis

Sejak ACFTA, sejak 2013 hingga 2018 tercatat sejumlah investasi yang berasal dari negeri tirai bambu itu dengan pertumbuhan mencapai 98 persen per tahun. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan negara lain seperti Taiwan, Singapura, Malaysia dan Jepang.

“Taiwan rata-rata sebesar 49,87 persen.  Sementara investor tradisional Indonesia yakni  Singapura hanya tumbuh 16,49 persen, Malaysia 42,85 persen, Jepang 8,62 persen, Korea Selatan 3,17 persen, dan Amerika Serikat malah minus (-) 3,04 persen.  Ini artinya, peran Tiongkok semakin besar bagi Indonesia sejak kesepakatan tersebut dibuat,” jelas Tauhid.

Tauhid juga memaparkan angka investasi Tiongkok yang bisa dibilang melejit fantastis dalam 6 tahun terakhir sejak Januari 2013 hingga April 2019. Investasi Tiongkok dan Taiwan berjumlah US$20,38 milyar (11,4 persen). Jumlah tersebut mengalahkan investasi Amerika yang hanya sebesar US$ 8,9 miliar (5 persen). 

“Masih berada di bawah Singapura yang sebesar US$44,97 milyar (25,2 persen) serta Jepang sebesar US$26,9 milyar (15,1 persen).  Ini artinya Tiongkok dalam jangka lima tahun akan menyusul negara Jepang sebagai investor kedua terbesar diIndonesia dan kemungkinan dalam janga panjang akan sebagai investor terbesar (pertama) di Indonesia menggantikan Singapura,” kata Tauhid.

Baca Juga: KPK Minta BUMN Berhati-Hati Ketika Terima Investasi dari Tiongkok 

3. Tiongkok, mitra dagang terbesar Indonesia dan efek perang dagang membahayakan

IDN Times/Uni Lubis

Dari sisi perdagangan, Tiongkok adalah mitra terbesar Indonesia saat ini dibandingkan dengan negara Singapura,  Amerika dan Jepang. Tauhid menyebut Ekspor Indonesia ke Tiongkok sejak 2014 hingga 2018 rata-rata sebesar US$18,1 miliar dengan pertumbuhan sebesar 13,47 persen. Sementara impor Indonesia pada kurun waktu yang sama sebesar US$34,2 miliar dengan pertumbuhan sebesar 10,37 persen.

“Atau dalam kurun waktu yang sama, defisit perdagangan kita sebesar US$16,1 miliar.  Ini tentu sangat membahayakan apalagi pada saat perang dagang maka ekspor kita akan menurun mengingat banyak produk kita yang berbasis sumber daya alam merupakan dalam bentuk produk antara, baik CPO, produk kayu, produk karet dan sebagainya,” ujar Tauhid.

Baca Juga: OBOR, Ambisi Besar Tiongkok Kuasai Ekonomi Dunia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya