TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gula Industri Minim, Revisi Permenperin Diminta Perhatikan 3 Hal Ini

Indonesia hanya mampu produksi 2 juta ton gula

(Ilustrasi mengenai gula rafinasi) ANTARA FOTO/Dewi Fajriani

Jakarta, IDN Times - Kualitas gula Indonesia dinilai belum memenuhi kebutuhan industri. Revisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 10 Tahun 2017, tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional, harus mampu mendukung kebutuhan industri pengguna gula.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, ada hal-hal yang perlu diperhatikan agar pasal dan persyaratan dalam revisi Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 tidak bertolak belakang dengan tujuannya.

"Revisi ini perlu dilakukan agar sesuai dengan UU Cipta Kerja yang menjanjikan kemudahan, untuk memperoleh bahan baku dan bahan penolong bagi industri," kata Felippa dalam keterangan tertulis, Jumat (12/2/2021).

Baca Juga: Hadir Dalam Kemasan Baru, Harga Raja Gula Tak Lampaui HET Pemerintah 

1. Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2 juta ton gula

(ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

Dalam rancangan Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 tujuan yang sedang dibahas, Kementerian Perindustrian berencana mengizinkan pabrik gula yang ada untuk mengimpor bahan baku. Dengan demikian, bukan hanya pabrik gula baru yang diizinkan mengimpor.

Menurut Felippa, perubahan ketentuan ini merupakan terobosan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung industri gula Indonesia. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA) untuk 2020/2021, saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 2 juta ton gula.

"Jumlah ini belum mencukupi total permintaan sebesar 7,2 juta ton untuk keperluan konsumsi maupun industri," ungkapnya.

2. Impor gula masih dibutuhkan, karena pabrik gula terbatas dan kualitas masih rendah

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Selama ini, lanjut Felippa, kebijakan yang mengharuskan pabrik gula terintegrasi dengan kebun tebu mengalami tantangan, seperti terbatasnya lahan dan rendahnya produktivitas tebu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas lahan tebu berkurang dari 263.000 hektare pada 2014 menjadi 232.900 hektare pada 2019. Sementara, perkebunan besar juga berkurang dari 209.700 hektare jadi 176.800 hektare pada periode yang sama.

"Alhasil, impor gula masih sangat dibutuhkan," kata Felippa.

Sesuai Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 Pasal 3 (2) dan Pasal 5, kata dia, hanya pabrik gula baru dengan Izin Usaha Industri yang diterbitkan, setelah 25 Mei 2020, yang boleh mengimpor gula mentah sebagai bahan baku untuk memproduksi gula rafinasi atau gula kristal putih. Padahal, pada 2018, tercatat sekitar 40 dari 66 pabrik gula berusia di atas 100 tahun, dan hanya enam pabrik yang berusia di bawah 25 tahun.

Pada 2021, menurut Felippa, jumlah pabrik malah menurun menjadi 62 pabrik gula, sebagian mengolah gula konsumsi dan sebagian lagi mengolah gula rafinasi untuk industri. Pemerintah sudah berencana menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta untuk membangun pabrik gula baru. Namun sebagian besar pabrik gula di Indonesia sudah tua. Akibatnya, tidak diizinkan mengimpor bahan baku sesuai Permenperin Nomor 10 Tahun 2017. 

“Revitalisasi pabrik gula sudah lama disuarakan sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki kinerja industri gula di Tanah Air. Adanya impor gula juga dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kualitas gula. Saat ini, kualitas gula di Indonesia belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan industri pengguna gula," kata dia.

Menurut Felippa, kualitas gula lokal harus diperbaiki. Pemerintah perlu lebih lanjut membangun ekosistem riset dan pengembangan dan inovasi teknologi, baik di sisi hulu di perkebunan tebu maupun di pabrik gula, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pabrik gula dalam menghasilkan gula yang berkualitas.

Baca Juga: Kisah Waresix Menjawab Tantangan Industri Logistik Indonesia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya