TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IHSG Anjlok, Investor Diminta Tetap Berpikir Jernih 

Pemulihan IHSG rata-rata memakan waktu 11-18 bulan

Ilustrasi investasi. (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times – Hingga akhir April lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja -25,13 persen sepanjang tahun ini. Kendati IHSG sempat rebound sebesar +3,91 persen, investor asing masih melakukan aksi jual bersih dengan total Rp8,8 triliun. IHSG diperdagangkan dengan valuasi price to earnings ratio (PER) sekitar 12,7x, merupakan valuasi yang cukup atraktif. Valuasi seperti saat ini pernah terjadi pada tahun 2008.

"Perlu diingat bahwa pasar modal pernah juga melewati koreksi serupa tahun 2008 saat berbagai aset keuangan mengalami penurunan yang tajam. Namun, di tahun berikutnya indeks kembali pulih dan mencapai posisi yang lebih tinggi dari sebelum penurunan," ungkap Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya saat diskusi daring Market Update, Selasa (12/5).

1. Banyak investor panik dan menjual aset yang dimiliki

Ilustrasi investasi. (IDN Times/Mia Amalia)

Menurut Ivan, situasi yang berubah dengan sangat cepat membuat beberapa investor panik dan menjual aset yang dianggap terlalu berisiko. Likuiditas pasar berperan dalam menciptakan volatilitas, karena investor ingin mendapatkan uang tunai sementara di saat yang bersamaan terlalu sedikit pembeli di pasar. Hal yang wajar jika investor merasa khawatir namun jangan berlebihan bahkan hingga membawa kepanikan.

"Pada saat pasar seperti sekarang ini setiap investor harus berpikir jernih dan melihat dalam jangka waktu yang panjang, ketika bisnis atau ekonomi telah kembali normal," katanya.

Baca Juga: Dear Millennial, Ini Tips Investasi di Pasar Modal agar Meraih Cuan

Ivan menyebutkan volatilitas pasar selalu cenderung meningkat di tengah ketidakpastian yang terjadi. Dengan terganggunya aktivitas ekonomi di sebagian besar belahan dunia saat ini akibat mewabahnya COVID-19, para ekonom memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi dunia pada dua hingga tiga kuartal pertama pada tahun ini.

Namun, lanjut Ivan, para pembuat kebijakan di setiap negara sudah sepenuhnya memperhatikan perkembangan pandemik dan terlihat bersedia untuk melakukan apa pun untuk membendung krisis.

Kebijakan stimulus moneter maupun fiskal yang sudah dikeluarkan oleh bank sentral dan pemerintah dari berbagai negara dianggap telah berhasil meredakan kepanikan dan volatilitas pasar keuangan global maupun domestik. "Semua kebijakan ini memberikan stimulus positif untuk mengimbangi kontraksi ekonomi yang akan terjadi," ujar Ivan.

2. Ekonom memprediksi akan terjadi kontraksi ekonomi dunia

Ilustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)

3. Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan moneter

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (Tangkapan Layar Bank Indonesia)

Ivan mengungkapkan, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai kebijakan moneter mulai dari pemotongan suku bunga sebanyak 50 bps sepanjang tahun ini, melakukan intervensi pasar untuk stabilisasi rupiah dan obligasi pemerintah, hingga menurunkan Giro Wajib Minimum untuk meningkatkan likuiditas perbankan.

Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan stimulus senilai Rp405,1 triliun yang difokuskan kepada 4 hal yakni keselamatan dan kesehatan dengan tambahan anggaran sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial senilai Rp110 triliun, insentif ekonomi (perpajakan dan stimulus kredit) senilai Rp70,1 triliun serta Rp150 triliun untuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional.

"Stimulus tersebut setara dengan 2,41 persen terhadap PDB, yang merupakan jumlah yang besar jika dibandingkan dengan stimulus yang sebelumnya pernah diberikan pemerintah ketika krisis terjadi," kata Ivan.

4. Cadangan devisa saat ini bisa dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah

Ilustrasi Uang (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Selain itu, lanjutnya, dalam Perppu No.1 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan juga melonggarkan batas defisit anggaran menjadi di atas 3 persen hingga tahun 2022, memotong tarif pajak korporasi serta memperbolehkan Bank Indonesia untuk membeli obligasi pemerintah Indonesia pada pasar primer.

Ivan menyebutkan, jika dibandingkan stabilitas dan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini dengan kondisi pada saat krisis sebelumnya, baik pada tahun 2008 maupun 1998, bisa dibilang jauh lebih baik. Sebagai contoh, inflasi saat ini yang stabil dan terjaga rendah di kisaran 3 persen (12 persen pada 2008 ; 82 persen pada 1998).

Selain itu, menurut Ivan, cadangan devisa saat ini jauh lebih besar sehingga dapat dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah serta menahan laju pelemahan rupiah. Cadangan devisa Indonesia saat ini berada pada level US$120 miliar (US$50 miliar pada 2008 ; US$17 miliar pada 1998). Kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik ini juga dapat membuat para investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara emerging market yang menjadi tujuan investasi.

"Hal tersebut juga didukung dengan tingkat real yield Indonesia yang ditawarkan saat ini sekitar 5,45 persen, dinilai atraktif jika dibandingkan dengan negara emerging market lainnya," katanya.

Baca Juga: OJK: Stimulus Virus Corona untuk Perpanjang Nafas Pelaku Pasar Modal

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya