TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Maskapai Merugi, INDEF Sebut Faktor Inefisiensi Jadi Penyebab

Tingkat penumpang Indonesia terus menurun sejak 2013

Foto hanya ilustrasi. (ANTARA FOTO/Wira Suryantala)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut salah satu persoalan utama industri penerbangan domestik adalah inefisiensi. Menurut dia, inefisiensi penerbangan nasional bisa dilihat dari harga yang tidak turun meskipun sebagian besar maskapai domestik di Asia Tenggara menurunkan harganya.

"Hanya maskapai asal Indonesia yang menaikkan harga di tengah penurunan harga di penerbangan domestik Asia Tenggara," ungkap Huda.

Baca Juga: Menhub: Pemerintah Akan Undang Maskapai Asing Demi Semangat Kompetisi

1. Tingkat keterisian penumpang penerbangan Indonesia menurun sejak 2013

ANTARA FOTO/Wira Suryantala

Berdasarkan data dari Centre for Aviation & Indonesia DGAC (CAPA), tingkat keterisian penerbangan Indonesia terus turun sejak 2013. Pada 2017, tingkat keterisian hanya 78 persen. Faktor kecelakaan pesawat AirAsia 2014 jadi salah satu penyebabnya. Penetapan batas harga bawah membuat maskapai jenis low cost carrier (LCC) tidak dapat menawarkan harga paling murah.

"Dengan tingkat keterisian 78 persen, harusnya maskapai di Indonesia sudah mencapai Breakeven Load Factor (BLF) di mana rata-rata di Asia Pasifik hanya 67-69 persen," kata Huda.

2. Pembukaan rute yang tak menguntungkan bisnis juga jadi pemicu

Dok.IDN Times/Hardiansyah

Huda menjelaskan, BLF setiap perusahaan memang berbeda. Namun, jika BLF maskapai Indonesia melebihi BLF rata-rata Asia Pasifik atau dunia, bisa dikatakan maskapai Indonesia tidak efisien. Menurut dia, bisa jadi permasalahan ada di pemerintah dengan pembukaan rute-rute yang tidak menguntungkan di sisi bisnis, seperti Bandara Kertajati yang sepi penumpang.

"Salah satu alasannya adalah tingkat keterisian yang belum mencapai BLF. Padahal, tingkat keterisian rata-rata maskapai di Indonesia sudah melebihi rata-rata BLF maskapai di Asia Pasifik. Artinya, sudah sewajarnya mendapatkan keuntungan. Namun, yang terjadi adalah kenaikan harga dengan alasan merugi," ungkapnya.

3. Faktor inefisiensi menyebabkan perusahaan maskapai merugi

IDN Times/Holy Kartika

Huda melanjutkan, harga avtur kerap dijadikan kambing hitam oleh INACA. Padahal, harga avtur di Indonesia lebih murah dibandingkan di Singapura dan Malaysia. Data Kementerian BUMN 2019 menyebutkan, harga avtur di Pertamina sudah turun 16 persen sejak November 2018.

"Faktor inefisiensi yang menurut saya banyak menyebabkan perusahaan maskapai merugi. Kalau kita lihat data lagi, cost untuk melakukan penerbangan di luar negeri rata-rata hanya 15 USD per seat per hour, dan tingkat keterisian mencapai BLF setiap tahun. Bisa jadi biaya di Indonesia lebih besar karena faktor inefisiensi sehingga terus merugi," kata dia.

Baca Juga: Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket Pesawat

4. Pencabutan tarif batas atas dan bawah bisa mengembalikan pasar maskapai

thecoverage.my

Sebelumnya, Ekonom Senior INDEF Nawir Messi mengatakan pemerintah perlu mencabut tarif batas atas dan tarif batas bawah tiket pesawat. Sebab, hal itu dinilai sangat merugikan konsumen.

"Tarif batas atas dan tarif batas bawah hanya akan membuat harga tiket mahal di off season atau musim-musim sepi," ungkap Nawir.

Menurut Nawir, hal itu akan mengubah pola konsumsi masyarakat untuk membeli tiket penerbangan. Masyarakat akan semakin kesulitan untuk berhemat dengan cara melakukan pembelian di bulan-bulan sebelum tanggal keberangkatan. Sebab, harganya akan tidak jauh berbeda dan cenderung masih mahal.

"Pencabutan tarif batas atas dan bawah juga diharapkan mampu mengembalikan pasar maskapai domestik agar semakin kompetitif," kata Nawir.

Baca Juga: Tiket Pesawat Naik Enam Kali Lipat, Begini Penjelasan Kemenhub

Topik:

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya