Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket Pesawat

Mulai dari wisata hingga semua mata rantainya kena efek

Jakarta, IDN Times - Fia, 27, terpaksa membeli tiket dari Makassar ke Jakarta meski mahal, sejak harga tiket pesawat mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

“Makassar ke Jakarta yang biasanya lebaran itu naik ke harga Rp1,2 jutaan, selain Garuda. Ini di hari yang low season aja maskapai paling murah udah Rp1 jutaan dan itu pun Lion,” katanya kepada IDN Times.

Ia tidak bisa lagi sering terbang ke Makassar menemui suaminya yang bekerja di sana. Padahal tahun lalu ia bisa pulang-pergi Makassar-Jakarta hingga 4 kali dalam setahun. Baru-baru ini ia membeli tiket untuk terbang ke sana dalam waktu dekat. “Karena butuh mudik, mau gak mau ya tetep dibeli walaupun mahal," ujar Fia.

"Tapi kayanya tahun ini cuma lebaran aja, terus tunggu lebaran lagi tahun depan,” ujarnya lagi.

Begitu pun dengan Lily, 27, yang mengalami dampak negatif dari lonjakan harga tiket pesawat. Begitu mahal harga itu, hingga membuat dia nyaris membatalkan liburan ke Bali bersama temannya yang sudah direncanakan jauh hari.

“Gue mau liburan sama temen SD gue yang dari Kerinci, Jambi. Ini direncanain sebelum tiket pesawat pada naik. Sampai minggu lalu itu tiket gak turun-turun kan harganya, sebel lah kita. Tiket ke Bali dari Jambi itu Rp1,9 juta dan cuma Lion, kalau mau Batik atau Citilink Rp2,6-2,7 juta,” keluhnya.

Lily memutar otak agar rencananya tetap bisa berjalan. Ia mengubah destinasinya ke Jogja. Itu pun menggunakan kereta. “Pada akhirnya gue sama temen gue memutuskan gak jadi Bali, akhirnya ke Jogja aja."

Pun untuk berangkat ke Jogja, masih dirasa berat untuk teman SD Lily yang tinggal di Jambi, "karena tiketnya juga masih mahal, Rp1,5 juta Jambi-Jogja. Akhirnya dia ke Jakarta dulu dengan harga Rp800 ribu, baru kita dari Jakarta naik kereta ke Jogja cuma Rp74 ribu, jadi hemat hampir Rp600 ribu,” kisah Lily.

Apa yang diungkapkan Fia dan Lily dibenarkan oleh Sekjen DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA), Titus Indrajaya. Ia menyebut banyak konsumen menahan diri untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat. “Jadi daya minat konsumen untuk wisata, konsumen mulai menahan,” ujarnya.

Ketua Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi PHRI Maulana Yusran menyebut kenaikan tiket ini sebagai yang terparah. “Ini kita anggap tahun yang terparah kalo year on year,“ katanya.

Tidak hanya Fia atau Lily sebagai konsumen atau wisatawan yang dirugikan. Belakangan ini telah terjadi dampak ganda atau multiplier effect atau efek domino dari mahalnya harga tiket pesawat.

1. Hotel yang mengalami penurunan hingga 40 persen

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatIDN Times / Rahmat Arief

Imbas mahalnya harga tiket pesawat salah satunya dirasakan oleh sektor perhotelan yang mengalami penurunan hingga 40 persen berdasarkan rapat kerja nasional PHRI Februari 2019.

“Karena banyak orang menginap untuk bisnis atau wisata. Imbasnya 20 sampai 40 persen. Selama 4 bulan ini sudah lampu merah,” kata Yusran.

Data serupa disampaikan oleh peneliti INDEF Bhima Yudhistira yang mengatakan dampak terhadaphotel sudah terlihat sejak tahun lalu. Mengutip data BPS, Bhima menyebut beberapa hotel di luar Pulau Jawa mendapat tingakt hunian kamar atau occupancy rate minus.

”Hotel paling terdampak tiket mahal ada di luar Jawa. Per Desember 2018 tingkat hunian kamar anjlok minus 14,37 poin di Aceh dan Sumatera Utara. Sulawesi tengah bahkan minus 14,3 poin. Hotel bintang 1 occupancy rate menurun 4,5 poin jadi 44,1 persen,” jelasnya.

2. Mempengaruhi UMKM dan munculkan ancaman pemecatan pemandu wisata

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatIDN Times/ Mela Hapsari

Yusran mengatakan kondisi tersebut sangat berdampak signifikan terhadap daerah yang menjadi lokasi bisnis pariwisata, "yang ada perputaran bisnis besar. Kalau sudah bicara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, mereka sangat bergantung pada pegerakan domestik ini,” katanya.

Ancaman pun membayangi pemandu wisata karena turunnya minat pariwisata. "UMKM yang bergerak di suvenir, oleh-oleh, makanan minuman dan jasa transportasi lokal untuk travel hingga ancaman PHK pemandu wisata,” kata Bhima.

Perkataan Bhima senada dengan Titus yang menyebut sebesar 5 persen anggota ASITA gulung tikar dari 7.000 anggotanya di seluruh Indonesia. "Kalau laporan kita kan nunggu kabar dari daerah keterangan bahwa ini berhenti menjadi anggota karena gulung tikar, ada lah kisarannya nggak sampai 5 persen," kata Titus.

Dampak lainnya seperti dikatakan Titus adalah penurun target yang diberikan Kementerian Pariwisata ASITA diberikan target 20 juta wisatawan. “Kita harap wisatawan datang akhirnya mereka menahan. Malah dari dalam ke luar negeri,” ujarnya.

Baca Juga: Kenaikan Tiket Pesawat Tahun Ini Disebut yang Terparah!

3. Turunnya pendapatan daerah hingga dampak ke perbankan

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatIDN Times/Beautiful Banyuwangi

Selain hotel dan UMKM, pendapatan daerah juga menjadi terancam karena polemik ini. Bagi daerah pusat wisata seperti Bali dan NTP disebut Bhima akan sangat berdampak signifikan ke pertumbuhan daerah.

“Pastinya setoran pajak daerah menurun baik dari pajak restoran hotel dan tempat hiburan. Hingga pajak retribusi parkir juga turun,” kata Bhima.

“Sektor jasa konstruksi juga terdampak. Rencana pengembangan hotel tertunda jadi banyak kontraktor kena imbasnya. Perbankan juga kena khususnya di tempat wisata bisa naik NPL (Non Performing Loan--salah satu indikator kesehatan aset suatu banknya),” imbuh Bhima.

Khusus di luar Jawa, kata Yusran, sektor angkutan darat dan logistik juga terdampak. “Yang merasakan masalah tiket bukan hanya pelaku atau pebisnis tapi kepala daerah karena stimulus ekonomi di daerahnya drop."

Hal itu menyebabkan sektor pendapatan daerah berkurang jauh. "Setiap kepala daerah banyak teriak karena berdampak pada inflasi di daerah karena berpengaruh kepda logistik. Jadi ini tidak bisa dilihat sebagai faktor kecil,” papar Yusran.

4. Awas, maskapai juga bisa kena dampaknya

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatIDN Times/Helmi Shemi

Konsultan penerbangan dari CommunicAvia Gerry Soejatman khawatir maskapai penerbangan juga bisa terdampak jika mereka tidak melakukan perhitungan dengan baik. Ia menilai ada concequent travel yang turun. Di mana sekarang ini ada penyusutan jumlah penumpang.

“Dalam jangka pendek, adjustment-nya, demand-nya di last stake, dalam arti orang yang masih harus lakukan perjalana. Begitu market adjust, mereka akan turun jauh lebih tinggi dari pada yang diantisipasi oleh masyarakat,” paparnya.

Gerry mengkritik metode penjualan tiket di Indonesia yang menurutnya kacau. Di luar negeri, saat membeli tiket dari jauh hari, kita akan mendapatkan harga yang jauh lebih murah dibanding membeli secara dadakan.

“Metode ticketing jaman dulu. Yang berangkat last minuet itu bisnis, wajar yang last minute mahal. Tapi masa mau wisata dipatokin harga yang sama? Ini sama kayak kita tidak ajarkan konsumen beli tiket jauh hari, akhirnya maskapai bisa naikin harga gak kalau demand tinggi? Susah. Mindset ini harus diubah supaya maskapai bisa jual tiket mahal, tapi masyarakat juga bisa dapat tiket murah. Win-win kalau begitu,” ujarnya.

“Sekarang pemerintah udah kebingungan, BUMN pusing Garuda masih rugi, Kemenpar dengan harga tinggi target gak dapat. Terus Kemehub udah buka bandara banyak sepi,” imbuh Gerry.

Baca Juga: KPPU Masih Menginvestigasi Dugaan Kartel Tiket Pesawat dan Kargo 

5. Masalah avtur tidak bisa jadi alasan mahalnya harga tiket pesawat

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket Pesawat(Ilustrasi maskapai penerbangan) ANTARA FOTO/Umarul Faruq

PHRI sudah 2 kali bertemu dengan pemerintah. Pertama pada Februari lalu di mana mereka bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Pada pertemuan itu hadir juga Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menterian Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan. Mereka heran dengan salah satu komponen biaya pesawat yakni bahan bakar avtur yang sudah terdapat penyesuaian harga namun harga tiket pesawat masih belum juga turun.

“Masalah avtur padahal presiden sudah menginstruksikan avtur itu jadi komponen dengan harga yang paling tinggi untuk menetapkan harga ini, bahkan Menko Maritim dan Menhub mereka bertanya ke pihak airlines, ‘Ini kan avtur udah beberapa kali dibahas dan adjustment, tapi ini gak turun-turun juga, apa masalahnya?’,”  kata Yusran.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pernah mengatakan dalam struktur biaya penerbangan (cost structure airline) ada 3 komponen biaya utama: biaya terkait pesawat, biaya bahan bakar dan biaya lainnya. Jika dirinci, avtur sendiri menyumbang 24 persen dari biaya total 56 persen biaya langsung.

Bhima pun membantah sebab mahalanya tiket pesawat adalah karena avtur. Menurutnya alasan tidak masuk akal karena harga avtur pada Januari 2018 dan Januari 2019 berbeda.

“Avtur bukan sebab utama harga tiket naik. Kemarin alasan harga avtur mahal, sekarang sudah turun avturnya. Masalah kurs rupiah juga sekarang sudah stabil,” katanya.

“Kita lihat komponen avtur Garuda, Januari 2018 dibanding Januari 2019 lebih tinggi 10 persen. Untuk Citilink 9 persen di bawah Januari 2018, kalau alasan avtur dari mana? Kalau alasan biaya pajak dari avtur, itu bukan alasan untuk menaikkan,” kritiknya.

6. Duopoli kartel oleh Garuda Indonesia dan Lion Air?

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Garuda Indonesia dan Lion Air Group dinilai melakukan praktik duopoli dan kartel karena menguasai pasar di Indonesia. Banyak pihak menduga hal ini menjadi sebab naiknya harga tiket pesawat.

“Dominasi kartel itu yang harus diselidiki. Naiknya bareng, turun juga bareng. Ini ada apa?” tanya Bhima.

Sanksi berat wajib dijatuhkan jika nantinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya kecurangan.

“Solusinya KPPU percepat proses penyelidikan kartel maskapai. Terapkan sanksi berat apabila terbukti,” kata Bhima.

Keluhan juga disampaikan Yusran yang kecewa karena usaha PHRI dan pemerintah seakan diabaikan oleh 2 maskapai tersebut. Terlebih untuk penerbangan domestik yang harganya bisa lebih mahal dari penerbangan ke luar negeri.

“Ada yang gak fair. Jakarta-Kuala Lumpur Rp500-600 ribu, Kuala Lumpur-Padang juga segitu. Jakarta-Padang atau ke Medan, Rp1,7-1,9 juta paling rendah. Sekarang kenapa bisa gini? Jakarta-Bali bisa lebih rendah karena pemainnya banyak,” ujarnya.

Ia meminta agar pemerintah membuka kompetisi bagi pemain lain di sektor penerbangan ini. Menurutnya, pemerintah harus memastikan di dalam bisnis ini tidak ada monopoli.

“Kami usulkan begini supaya bisnis sehat, buka aja kompeitisi yang luas luas. Regional airlines dibuka lagi, jangan hanya 2 pemain, jadi lebih sehat. Jadi yang diuntungkan konsumen,” kata Yusran.

Lebih lanjut, ia menyoroti Garuda Indonesia sebagai salah satu BUMN.  “Kalau kita katakan Garuda adalah kebanggan kita tapi jangan dibuat purely bisnis. Ini seperti menghadapi airlines swasta padahal ini BUMN. Ini kok kuat sekali sampai tidak ada win-win. Meski tidak monopoli tapi tetap saja pemainnya dua maskapai besar?" kata dia.

Kendati demikian, Gerry tidak sependapat dengan usulan Yusran. Menurutnya membuka persaingan tidaklah mudah. Pasalnya, maskapai asing wajib membuka minimal 50 persen penerbangan domestik jika ingin beroperasi di Indonesia.

"AirAsia juga buka di sini juga buka 50 persen minimal lokal sini. Jadi peraturannya masih seperti itu. Jadi kembali lagi, sekarang gini contoh yang bagus itu AirAsia itu berhasil memahami pasar Indonesia. Loyalitas dia tinggi sekali diantara penumpang dia. Jadi dengan dia kondisi begini, penumpang sudah tahu," jelasnya.

Baca Juga: Tarif Tiket Pesawat Masih Mahal, Ini Kata Menhub 

7. Yield Management, solusi tepat masalah tiket mahal?

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatVacayholics.com

Gerry sendiri menawarkan Yield Management. Sebuah cara yang dilakukan dengan membedakan tarif tiket untuk penumpang yang pesan jauh-jauh hari dan penumpang yang memesan tiket mendekati waktu penerbangan. Sehingga, maskapai bisa mengambil untung dengan cost yang mahal.

"Solusi yang tepat cari harga dan strategi yang pas untuk pasar Indonesia dan bagaimana itu bisa mengedukasi konsumennya supaya tahu 'Eh kalau lo mau murah ya jauh-jauh hari, kalau last minute ya bayarnya beda. Karena seluruh dunia udah kayak begitu," jelasnya.

“Jadi segmen pasar yang memang buat ngisi kursi kosong obralin, caranya supaya gak nyari tiket murah doang, caranya jauh-jauh hari dan seatnya dibatasi,” imbuh Gerry.

8. Pemerintah sengaja naikkan harga tiket demi tol ramai?

Efek Domino Panjang dari Polemik Mahalnya Tiket PesawatANTARA FOTO/Zabur Karuru

Bhima mengkritik pemerintah yang dinilai lepas tangan dari masalah ini. Ia menuding ada kesengajaan dalam hal ini sehingga masyarkat berpindah ke transportasi darat.

“Ini membuat masyarakat pindah moda ke transportasi darat. Kuat dugaan ini kesengajaan untuk isi jalan tol Trans Jawa yang kosong,” kata Bhima.

Dugaan lainnya adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit kendaraan pribadi. “Jadi ada skenario jahat sebenarnya,” ucap Bhima.

Ia pun menyarankan Menhub dipecat karena gagal dalam penyelesaian masalah ini. “Dari regulasi Menhub batas tiket atas bawah harus direvisi karna gak efektif. Terakhir, ganti menhub karena gak becus selesaikan masalah tiket psawat,” ujarnya.

Baca Juga: Harga Tiket Pesawat Mencekik dan Hambat Ekonomi Nasional 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya