3 Hal yang Bikin Bukit Algoritma Jadi Proyek 'Halu'
Bukit Algoritma berpotensi hanya jadi angan-angan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai pembangunan Silicon Valley-nya Indonesia atau Bukit Algoritma sebagai proyek yang penuh kehaluan.
"Kenapa saya bilang kehaluan? Karena ada beberapa catatan yang saya temukan itu tidak bisa menunjang sebuah pembangunan Silicon Valley yang inklusif, malah bisa dibilang jadi ekslusif dan menjadi serangan balik bagi perekonomian nasional," ungkap Huda dalam diskusi online "Menyingkap Angan Silicon Valley ala Indonesia," Kamis (15/4/2021).
Huda menambahkan, ada beberapa poin utama yang membuat Bukit Algoritma hanya akan menjadi angan-angan yang sulit direngkuh atau direalisasikan.
Baca Juga: Catatan INDEF Soal Rencana Pembangunan Bukit Algoritma
Baca Juga: Membedah 3 Perusahaan yang Terlibat Proyek Bukit Algoritma, Ada BUMN!
1. Proporsi dana penelitian dan pengembangan terhadap PDB masih sangat rendah
Pertama, kata Huda, ekosistem penelitan dan pengembangan atau research and development (RnD) di Indonesia masih sangat rendah dengan proporsi dana RnD terhadap produk domestik bruto (PDB) yang juga rendah.
Secara umum, dana RnD Indonesia hanyalah 0,24 persen dari PDB lokal dan jika dikerucutkan lagi ke arah RnD dari sektor bisnis swasta maka angkanya jauh lebih kecil lagi.
"Dari sini bisa kita lihat bahwa ketika pionir Bukit Algoritma (Budiman Sudjatmiko) bilang sektor bisnis itu akan masuk ke sana saya ragu, karena sampai saat ini pun proporsi dana RnD terhadap PDB yang dihasilkan dari sektor bisnis swasta masih di bawah 0,1 atau hanya 0,02 persen dari PDB," jelas Huda.
Angka itu disebut Huda jauh lebih rendah dibandingkan Korea, Jepang, Singapura, dan bahkan Thailand yang memang fokus mengembangkan RnD dari sektor bisnis swasta.
Minimnya dana RnD itu kemudian berdampak pada ekspor manufaktur teknologi tinggi Indonesia jadi rendah atau hanya 8,1 persen dari total ekspor yang dilakukan oleh Indonesia.
Lagi-lagi angka tersebut jauh tertinggal dibandingkan Thailand yang sudah menyentuh 24 persen, Vietnam 40 persen, dan Malaysia sebesar 52 persen dari total ekspor masing-masing.
Huda menilai itu sebagai gambaran rendahnya industri teknologi tinggi di Indonesia dan dalam membentuk sebuah tempat seperti Silicon Valley dibutuhkan tempat-tempat industri teknologi tinggi yang sudah menjamur sebelumnya.
"Jika tidak, , bisa dibayangkan juga nantinya yang masuk ke Silicon Valley-nya Indonesia adalah industri-industri yang tidak high technology, sama saja bohong itu, sama saja dengan hanya menyediakan properti. Nah itulah yang diibaratkan sebenarnya ekosistem RnD di Indonesia masih sangat rendah," jelas dia.
Baca Juga: Pelajaran COVID-19: Peran Pemerintah Menguat Atasi Ketimpangan