TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Catatan INDEF Soal Rencana Pembangunan Bukit Algoritma

Perlu ada kolaborasi pemerintah, industri, dan universitas

innfinity.in

Jakarta, IDN Times - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai latar belangan pembangunan Bukit Algoritma adalah karena masih rendahnya kapasitas inovasi dan kesiapan teknologi yang dimiliki oleh Indonesia.

Direktur Program INDEF, Esther Sri Astusti mengatakan data dari World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa kapasitas inovasi dan kesiapan teknologi Indonesia lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Malaysia.

"Indonesia ada di peringkat 80 dari 131 negara di dunia dari sisi infrastuktur fisik dan ekologis. Kemudian dari sisi SDM dan riset inovasi juga masih tertinggal, peringkat 92 dari 131 negara lalu dari sisi knowledge sharing dan pusat riset baik swasta maupun pemerintah kita masih di peringkat 70 dari 131 negara," jelas Esther dalam diskusi online "Menyingkap Angan Silicon Valley ala Indonesia," Kamis (15/4/2021).

Baca Juga: Proyeksi Bukit Algoritma di KEK Cikidang Sudah Ada Sejak 2019

Baca Juga: Kemenristek Alokasikan Rp54,8 M Danai Riset di 10 Perguruan Tinggi 

1. Indonesia tidak memiliki dana research and development (RnD) yang memadai

Ilustrasi Riset (IDN Times/Arief Rahmat)

Adapun yang menjadi biang di balik rendahnya kapasitas inovasi dan kesiapan teknologi Indonesia adalah minimnya dana penelitian dan pengembangan atau research and development (RnD).

Menurut Esther, dana RnD yang dimiliki Indonesia masih terlampau kecil bila dibandingkan dengan negara lainnya di ASEAN.

"Dana RnD kita cuma 0,24 persen dari PDB padahal di Malaysia dan Thailand sudah relatif lebih banyak, apalagi Singapura. Mereka sadar betul RnD dan inovasi sangat penting untuk kemajuan negaranya." ungkapnya.

2. Meninggikan kapasitas inovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

IDN Times/Handoko

Dana RnD yang memadai menurut Esther akan membawa sebuah negara memiliki kapasitas inovasi lebih tinggi. Imbasnya tentu bakal mengerek pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

"Alokasi dana RnD yang lebih besar artinya pemerintah mendorong riset-riset dan pengembangan inovasi, maka dampaknya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar alokasi dana RnD, maka akan sangat postif dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi," papar dia.

Esther pun kemudian menilai Silicon Valley-nya Indonesia atau Bukit Algoritma ini bisa menjadi sebuah kawasan untuk meninggikan kapasitas inovasi dalam negeri karena bakal diarahkan untuk menjadi suatu kawasan khusus yang mampu meningkatkan alokasi dana RnD dan menciptakan lapangan pekerjaan.

"Meskipun dengan catatan kalau sumber daya manusianya punya kualitas yang matching dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di kawasan ekonomi khusus industri di Sukabumi tersebut," ujarnya.

3. Butuh kolaborasi antara industri, universitas, dan juga pemerintah

pixabay/rawpixel

Bukit Algoritma dicanangkan menjadi sebuah kawasan dengan berbagai macam teknologi tinggi di dalamnya. Namun, Esther melihat hal itu akan sulit dicapai jika tidak ada kolaborasi tepat yang terjadi di dalamnya.

"Untuk bisa mewujudkan kawasan khusus high tech zone yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi perlu adanya struktur ekologi dan platform yang mendukung kolaborasi industri, universitas, dan pusat riset pemerintah," katanya.

Hal itulah yang terjadi di Silicon Valley aslinya, di Amerika Serikat (AS). Silicon Valley di sana dibentuk berdasarkan konsep triple helix collaboration atau kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan atau universitas.

Dengan demikian, jika Indonesia benar-benar ingin memiliki Silicon Valley dalam kawasan yang diberi nama Bukit Algoritma maka diperlukan kolaborasi antara ketiga pihak tersebut.

Baca Juga: Bukit Algoritma Disebut Silicon Valley-nya Indonesia, Apa Iya?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya