Kronologi Pembiayaan Kereta Cepat, Ngutang ke China hingga Pakai APBN
Biaya konstruksi KCJB membengkak hingga 1,9 miliar dolar AS
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati merestui penyuntikkan modal sebesar Rp4,3 triliun kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Keterlibatan pemerintah dalam penyuntikan dana sebagai ekuitas dasar KCJB tak terlepas dari ketidakmampuan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadirkan modal di awal.
"Proyek ini yang tadinya bersifat business to business (B2B) dan seharusnya kewajibannya dipenuhi BUMN. Namun, karena KAI terdampak COVID-19 dan mengalami penurunan penumpang maka kemampuan BUMN dalam menyediakan ekuitas awal tidak bisa terpenuhi," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (8/11/2021).
Dalam perkembangannya, konstruksi KCJB mengalami banyak dinamika terutama dari sisi pembiayaan. Hal tersebut dapat ditelusuri mulai dari modal awal yang menggunakan pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB) hingga penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang disetujui Presiden Joko "Jokowi" Widodo akibat adanya pembengkakan.
Baca Juga: Proyek Kereta Cepat Bakal Disuntik Pemerintah Rp4,3 Triliun
Baca Juga: Anggaran Bengkak, Harga Tiket Kereta Cepat Bakal Lebih Mahal?
1. Modal awal proyek dari pinjaman ke Bank Pembangunan China karena konsorsium KCJB tak bisa setor
Sri Mulyani menjelaskan terkait modal awal proyek KCJB yang mencapai 920 juta dolar Amerika Serikat (AS). Modal awal tersebut semestinya disetorkan secara business to business (B2B) melalui konsorsium Indonesia yang tergabung dalam PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Konsorsium yang bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia tersebut terdiri dari empat BUMN, yakni PT Wijaya Karya (WIKA) dengan 38 persen saham, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan masing-masing 25 persen, serta PT Jasa Marga dengan 12 persen.
Keempat perusahaan pelat merah tersebut tak bisa menyetorkan modal awal sehingga proyek KCJB berjalan terlebih dahulu menggunakan pinjaman dari Bank Pembangunan China. "Namun, pinjaman ini sudah dicairkan dan sampai suatu titik tertentu ekuitasnya habis," ujarnya.
Baca Juga: Perbandingan Harga Tiket Kereta Cepat di Indonesia dengan Negara Lain