TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pajak Sembako, Bola Panas yang Ungkap Otak-atik Aturan PPN

RUU KUP untuk dongkrak pajak dan atasi defisit APBN

Ilustrasi PPN Sembako. (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Rencana pemerintah mengubah sistem penerimaan perpajakan bak bola panas yang terus bergulir. Rencana ini sesungguhnya adalah strategi untuk bisa mengurangi defisit APBN hingga tidak lebih dari tiga persen pada 2023.

Pemerintah pun mengajukan Revisi Kelima Undang Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) atau RUU KUP. Namun, langkah antisipasi yang tujuannya memperkecil defisit APBN itu, menjadi bumerang ketika drafnya tersebar ke publik.

Sebelum draf itu bocor, RUU KUP sudah mulai menuai kontroversi publik karena memuat rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Rencana kenaikan tarif PPN pertama kali disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2021. Kenaikan tarif PPN itu diklaim Sri Mulyani sebagai bagian dari reformasi sektor fiskal dalam rencana pembangunan pemerintah pada 2022 mendatang.

"Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax ratio, perluasan basis pajak terlebih dengan adanya teknologi digital dan e-commerce. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas dalam undang undang ke depan," papar Sri Mulyani, Selasa (4/5/2021).

Selama ini, PPN yang dikenakan kepada konsumen adalah sebesar 10 persen. Besaran tarif PPN saat ini mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sedangkan dalam draf revisi UU KUP yang bocor ke publik, pada Pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa tarif PPN yang semula 10 persen itu akan diubah menjadi 12 persen.

Pemerintah pun mengonfirmasi bahwa kenaikan tarif PPN itu bakal tercantum di dalam revisi UU KUP yang sudah diajukan ke DPR RI. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurut dia, rencana tersebut bakal disampaikan ke publik secara terang benderang pada waktu dan kesempatan yang tepat.

"Terkait dengan (kenaikan) tarif PPN, pemerintah masih melakukan pembahasan dan ini juga dikaitkan dengan pembahasan undang-undang yang akan diajukan ke DPR yaitu RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) dan seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah dan pada waktunya akan disampaikan ke publik," tutur Airlangga, dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/5/2021).

Tak berhenti sampai di situ, polemik pun berlanjut saat draf yang sudah diserahkan ke anggota dewan itu kemudian bocor ke publik.

Baca Juga: Kenapa Kemenkeu Usulkan Tarif PPN Naik Jadi 12 Persen? 

1. Kritik dimulai dari wacana penaikan tarif PPN

Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Pandemik COVID-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini, membuat pemerintah mengalami kendala dalam penerimaan negara, terutama dari instrumen perpajakan. Secara umum, pemerintah mencatat adanya penurunan penerimaan pajak hingga 5,6 persen selama kuartal I 2021 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hingga 31 Maret 2021, realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp228,1 triliun atau 18,6 persen dari target APBN sebesar Rp1.229,6 triliun. Capaian tersebut lebih sedikit ketimbang 31 Maret 2020 ketika pemerintah mampu meraih penerimaan pajak sebesar Rp241,6 triliun.

Pandemik COVID-19 masih menjadi faktor utama yang membuat penerimaan pajak terkontraksi hingga 5,6 persen. Tahun lalu, pemerintah menerapkan perpanjangan tenggat waktu pelaporan pajak hingga April lantaran COVID-19 baru terdeteksi masuk ke Indonesia pada Maret.

Jika penurunan ini terus terjadi, dapat dipastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 bakal semakin lebar atau menyentuh proyeksi 5,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pemerintah sendiri diperbolehkan DPR RI untuk menanggung defisit APBN lebih dari tiga persen hingga 2022 mendatang. Hal itu berdasarkan Undang Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang diresmikan oleh DPR RI ketika awal pandemik COVID-19 tahun lalu.

Namun, UU nomor 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19 mengamanatkan bahwa defisit APBN sudah harus kembali di bawah tiga persen pada 2023 mendatang.

Pemerintah pun memutar otak untuk bisa mengurangi defisit APBN hingga tidak lebih dari tiga persen pada 2023. Salah satu strateginya adalah melalui RUU KUP yang mengatur kenaikan tarif PPN. Mengetahui substansi tersebut dalam RUU KUP, anggota dewan perwakilan rakyat pun merespons keras.

Anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun yang menyebut kenaikan tarif PPN bisa berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Misbakhun mengatakan kenaikan tarif PPN tidak serta-merta membuat pendapatan dari perpajakan meningkat. Sebab, kenaikan tarif pajak justru bisa kontraproduktif.

"Begitu tarif pajak dinaikkan, orang akan berpikir ulang untuk berbelanja. Belum lagi kontraksi kenaikan itu ke recovery ekonomi kita belum matang," kata Misbakhun, dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5/2021).

Menurut dia, selama ini masyarakat tidak hanya terbebani PPN maupun pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM). Di lapangan, kata dia, masyarakat juga dibebani masalah-masalah administrasi serta pungutan yang tak kredibel.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menyatakan hal yang selama ini tak pernah disentuh justru cara memperbaiki sistem administrasi dan pemungutan yang lebih sederhana, tetapi tegas.

"Sampai sekarang saya belum pernah menemukan reformasi administrasi sistem IT pemungutan ini sehingga jadi lebih baik," ujar Misbakhun.

Politikus Golkar tersebut bertanya-tanya soal alasan di balik rencana itu. Pasalnya, Kemenkeu terkesan tidak mengetahui detil persoalan yang ada. Menurutnya, Kemenkeu harus memiliki opsi di luar menaikkan tarif pajak.

"Misalnya, membuat sistem pajak penjualan yang lebih sederhana," tuturnya.

Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu lalu menyebut opsi lain di luar kebijakan tentang kenaikan tarif pajak. Misalnya, mengubah full credit system yang selama ini dipakai oleh negara ke selected credit system.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, menganggap rencana kenaikan tarif PPN bakal berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi akibat pandemik COVID-19 yang sedang digenjot pemerintah. Kenaikan PPN justru bisa membuat penerimaan dari sektor pajak menurun.

"Menaikkan pajak dengan lewat PPN di tengah pemulihan ekonomi tidak efektif. Bahkan, ada risiko berbalik mengganggu pemulihan ekonomi, yang pada akhirnya justru menurunkan penerimaan pajak," kata Piter, kepada IDN Times, Selasa (18/5/2021).

Piter menambahkan, penerimaan pajak hanya bisa ditingkatkan ketika perekonomian sudah pulih dan sudah dalam kondisi normal. Selain mengganggu pemulihan ekonomi, naiknya tarif PPN juga dapat membuat daya beli masyarakat menurun. Padahal, pemerintah sangat berharap daya beli masyarakat bisa tumbuh di tengah pandemik COVID-19 guna mempercepat pemulihan ekonomi.

"Kenaikan PPN akan memicu kenaikan harga dan menurunkan daya beli masyarakat bawah serta akan kontradiktif dengan upaya memulihkan ekonomi," ujar Piter.

Baca Juga: 10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang Kontroversial

2. Argumen Sri Mulyani hingga bocornya draf mengungkap wacana PPN sembako

Beberapa poin kontroversial dalam revisi UU KUP. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sadar pernyataannya menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, Sri Mulyani langsung memberikan pernyataan tegas bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif PPN pada tahun ini. Hal itu dipastikan Sri Mulyani ketika berhadapan langsung dengan Komisi XI DPR RI dalam Rapat Kerja yang berlangsung pada Senin (24/5/2021).

"Jadi nanti akan kita bahas di RUU KUP tersebut. Jadi pasti tidak hari ini, tidak tahun ini tiba-tiba naik PPN itu tidak pasti," ucap Sri Mulyani.

Penegasan itu disampaikan Sri Mulyani sebagai tepisan atas anggapan yang menyebutkan bahwa pemerintah hendak merusak upayanya sendiri dalam memulihkan ekonomi nasional.

Meski begitu, Sri Mulyani tidak menampik bahwa pihaknya bakal merealisasikan kenaikan tarif PPN di dalam revisi UU KUP. Menurut dia, pembahasan revisi UU KUP yang di dalamnya terdapat rencana kenaikan tarif PPN tidak serta merta bisa langsung diaplikasikan dalam waktu dekat juga.

"Mengenai wacana PPN nanti kita tuh kalaupun mau bicarakan tentang KUP dan lain lain kan tidak berarti hari ini akan bisa berjalan, jadi kami sendiri sangat aware mengenai fokus kita hari ini pada pemulihan ekonomi," ungkap Sri Mulyani.

Di sisi lain, menteri yang karib disapa Ani tersebut menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN dan umumnya revisi UU KUP merupakan langkah jangka menengah alias medium term dari pihaknya untuk kembali membuat APBN lebih sehat. Maka dari itu, dia meminta masyarakat untuk membedakan fokus pemerintah hari ini dan pada masa depan.

"Jadi mungkin dibedakan antara fokus kita hari ini ingin memulihkan ekonomi dan kita tetap commit terhadap itu dengan medium term kita yang kepengen tax kita sehat, sustainable, dan adil tentu saja serta kemudian APBN kita sehat juga," sambung Ani.

Penegasan Sri Mulyani itu sempat sedikit meredakan polemik di tengah masyarakat. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena selang kurang dari sebulan, publik kembali heboh saat draf revisi UU KUP itu bocor. Sejumlah pasal yang memuat perubahan aturan pajak terungkap ke publik.

Salah satu yang paling mengagetkan publik adalah pasal tentang penghapusan sejumlah barang dan jasa sebagai objek yang tidak dikenai pajak. Sembako ada di dalam jenis barang yang dihapus dari kategori itu. Artinya, jika RUU KUP gol, sembako akan dikenai PPN.  

4. Gaduh sembako dipajaki

Ilustrasi Pasar (IDN Times/Besse Fadhilah)

Di dalam Pasal 4A draft revisi UU KUP, pemerintah berencana menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN. Jenis barang pertama adalah yang termasuk kelompok barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya kecuali pertambangan batu bara. Adapun jenis barang kedua yang dihapus untuk tidak dikenai PPN adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat.

Selama ini, pemerintah menetapkan beberapa barang yang termasuk kebutuhan pokok atau sembako tidak dikenai PPN. Daftar sembako atau kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak tersebut awalnya tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 116/PMK.010/2017.

Seperti mengulang polemik saat rencana kenaikan tarif PPN dicetuskan, pengenaan pajak terhadap produk dan jasa juga turut mengundang reaksi keras dari publik. Khusus untuk penerapan PPN bagi produk sembako.

Para pelaku pasar tradisional menjadi golongan pertama yang menolak keras. Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri menilai rencana pemerintah ingin memungut PPN pada produk sembako bakal lebih banyak memberikan kerugian ketimbang manfaat.

"Dari kasat mata, ini pasti lebih banyak kerugiannya. Kalau dari presentase, kerugiannya 90 persen, keuntungannya cuma 10 persen," kata Abdullah.

Abdullah mengamini ucapan Piter yang menyatakan bahwa rencana pemungutan PPN terhadap produk sembako, walaupun masih sebatas isu, telah berdampak cukup keras di pasar-pasar tradisional. Salah satu yang mulai terjadi saat ini adalah terganggunya psikologi pasar yang berdampak pada kenaikan harga.

"Psikologi pasar mulai terganggu, harga telur naik, harga ayam per ekor naik dari Rp35 ribu ke Rp40 ribu, harga sapi masih tinggi di sekitar Rp130 ribu. Ini adalah bagian dari psikologi pasar. Masyarakat dan pasar jadi terganggu," paparnya.

Abdullah melalui Ikappi menuntut pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan yang mampu memberikan angin segar kepada para pedagang di pasar tradisional.

"Harapan kami ibu menteri mengeluarkan rilis terkait bahan pokok tidak terkena pajak. Ini yang kami harapkan. Kalaupun mau diatur paling tidak mari sama-sama menjaga iklim, cari opsi lebih damai, bukan isu-isu yang meresahkan karena ini menimbulkan piskologi pasar yang bisa berlangsung sangat panjang," ungkap dia.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor menjelaskan pengenaan PPN itu nantinya hanya berlaku pada jenis sembako tertentu. "Barang-barang kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional, ini tentunya tidak dikenakan PPN. Akan berbeda ketika sembako ini sifatnya premium," kata Neilmaldrin dalam media briefing virtual, Senin (14/6/2021).

Definisi sembako premium itu belum dirumuskan. Tapi dia mencontohkan daging wagyu akan kena PPN sementara daging biasa yang dijual di pasar tradisional tak dikenakan PPN.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi sejumlah respons publik mengenai isu PPN sembako, melalui akun Instagram pribadinya (@smindrawati). Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut merespons keresahan pedagang di Pasar Santa, Kebayoran Baru. Dia memastikan bahwa sembako yang dikenakan pajak bukan yang dijual di pasar-pasar tradisional.

"Ibu pedagang bumbu menyampaikan kekhawatirannya membaca berita tentang pajak sembako yang dikhawatirkan menaikkan harga jual. Saya jelaskan pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang di jual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum," tulis menteri yang akrab disapa Ani tersebut.

Lebih lanjut Srimulyani menjelaskan pajak tidak akan asal dipungut untuk penerimaan negara. Namun, pajak disusun guna melaksanakan azas keadilan. Sri Mulyani pun kemudian menjelaskan beberapa contoh produk sembako yang bakal dikenai PPN. Produk beras memang akan dikenai pajak, tetapi beras-beras yang dijual di pasar tradisional dipastikan Sri Mulyani tidak akan dikenai pajak.

Adapun beras yang tidak dikenai pajak adalah beras produksi para petani lokal seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, dan lainnya. Beras jenis tersebut dinilai Sri Mulyani merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional.

"Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5 hingga 10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak," kata Sri Mulyani.

Pun halnya dengan daging sapi yang terkena pajak adalah jenis premium seperti Kobe dan Wagyu dengan harga 10 hingga 15 kali lipat dibandingkan harga daging sapi biasa.

"Seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. Itu asas keadilan dalam perpajakan di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," imbuh Sri Mulyani.

Baca Juga: Heboh Pajak Sembako, Begini Penjelasan Lengkap Sri Mulyani

5. Ternyata bukan hanya sembako

Barang dan Jasa yang Direncakan Akan Dikenakan PPN. (IDN Times/Aditya Pratama)

 

Tapi ternyata, bukan hanya sembako yang akan kena PPN. Upaya pemerintah menggenjot penerimaan perpajakan melalui RUU KUP, juga diwujudkan dengan penghapusan sejumlah jenis jasa dari objek yang tidak dikenai pajak, salah satunya jasa pendidikan atau sekolah.

Sekolah menjadi satu dari sekian banyak jenis jasa yang tidak dikenai tarif PPN oleh pemerintah. Yang mengejutkan jasa pelayanan kesehatan medis dan jasa pelayanan sosial pun masuk di dalamnya. Jasa lainnya yang dihapus dari daftar tidak kena PPN lainnya adalah jasa tenaga kerja. 

Di RUU KUP tersebut hanya ada beberapa jenis jasa saja yang bebas dari pungutan PPN. Dari 17 jenis jasa yang bebas PPN di aturan UU lama, kini hanya tersisa enam jenis jasa saja yakni jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, serta jasa yang disediakan pemerintah oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, serta jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering.

PPN sekolah menjadi salah satu isu yang menyedot perhatian publik. Para pelaku dunia pendidikan muncul mempertanyakan tujuan pemerintah menelurkan wacana pajak untuk sekolah di saat tingkat pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan.

Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia (JSDI) Ramli Rahim menyebut hal itu berpotensi menaikkan jumlah pelajar yang putus sekolah yang memang sudah tinggi. Pemerintah dinilainya, membingkai dunia pendidikan dari kacamata bisnis semata.

"Buat apa dipajaki? Syukur-syukur masyarakat mau berpartisipasi membantu pemerintah yang belum mampu menyediakan seluruh fasilitas pendidikan kan?" kata Ramli kepada IDN Times.

Ditjen Pajak segera membantah anggapan tersebut. Neilmaldrin Noor mengatakan sekolah nonkomersial, khususnya yang didirikan dengan misi sosial kemanusiaan tak akan dikenakan PPN.

"Lalu yang dinikmati oleh masyarakat banyak pada umumnya, misalnya SD Negeri dan sebagainya, itu tidak dikenakan PPN," sambung Neilmaldrin dalam virtual media briefing, Senin (14/6/2021).

Meski demikian dia belum dapat menjelaskan kategori jasa pendidikan yang mana yang akan dikenai PPN dan apa batasannya. "Ini tentunya kita masih akan melewati pembahasan-pembahasan, oleh karena itu kita tunggu. Tapi sudah jelas bahwa jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu ini akan dikenakan PPN," kata dia.

Dalam akun Twitter pribadinya (@prastow), Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, memastikan bahwa pemerintah tidak akan serta merta menerapkan aturan PPN tersebut.

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemik. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati-matiaan justru dibunuh sendiri. Mustahil!" tulis Yustinus.

Meski demikian, menurutnya, pandemik COVID-19 menjadi saat tepat untuk memikirkan dan merancang segenap kebijakan yang berkaitan untuk menambah pendapatan dari sektor penerimaan perpajakan.

"Maka sekali lagi, ini saat yg tepat merancang dan memikirkan, bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini," ungkap Yustinus.

Yustinus pun mengaku maklum terhadap kekecewaan masyarakat terkait rencana pemerintah ini. Namun dia menggarisbawahi tujuan pemerintah yang memang harus mengoptimalkan penerimaan pajak.

"Maka pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR untuk bersama-sama memikirkan, jika saat pandemik kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemik? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," jelas Yustinus.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya