10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang Kontroversial

Dear pemerintah, perhatikan suara publik untuk RUU KUP ya!

Jakarta, IDN Times - Rencana pemerintah mengubah skema tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penambahan kategori objek pajak di sektor barang dan jasa menuai polemik. Publik bereaksi keras usai bocornya draf rancangan undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Bagaimana tidak, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN dari yang selama ini dipatok 10 persen dalam aturan UU Nomor 42 Tahun 2009, menjadi 12 persen. Tak hanya itu, PPN juga akan dikenakan pada sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya tidak termasuk sebagai objek pajak mulai dari barang jenis sembako, jasa pendidikan, hingga jasa kesehatan.

Meski masih wacana, poin-poin dalam draf RUU KUP tersebut memicu perdebatan panjang dan kritik keras dari masyarakat baik di pusat maupun di berbagai daerah. Pemerintah pun buru-buru memastikan kebijakan itu belum akan diterapkan tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan RUU tersebut masih akan melalui tahap pembahasan. Menurutnya, dokumen revisi RUU KUP belum seharusnya keluar ke publik karena belum rampung.

"Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui Surat Presiden. Dan oleh karena itu ini situasinya menjadi agak kikuk, ternyata kemudian dokumennya keluar, karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga," papar Sri Mulyani.

Ekonom Sumatra Selatan Yan Sulistyo menyebut draf itu masih mungkin berubah bahkan batal. "Ini kan baru wacana dari Kemenkeu, tapi sepertinya akan gagal. Keputusan ini bisa saja ditarik atau dibatalkan, itu informasi yang saya terima masih rencana dan dari stafsus Kemenkeu mungkin ini akan terjadi perubahan," ungkap ekonom jebolan Universitas Sriwijaya tersebut kepada IDN Times.

Apa saja kritik dan saran yang menjadi catatan para ekonom di berbagai daerah se-Indonesia? 

Baca Juga: Jokowi Surati DPR Buat Gelar Pembahasan RUU PPN Sembako-Sekolah

1. Jeli memilah objek pajak dan perjelas kategorinya

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi Penerimaan Pajak. (IDN Times/Arief Rahmat)

Yan Sulistyo menyebut penerapan PPN sembako dapat terealisasi jika pemerintah memilah lebih rinci kategori objek pajak yang dituju, tidak hanya dari jenis sembako sebagaimana tercantum dalam aturan saat ini.

"Misal daging dengan harga tertentu di restoran bukan harga di pasar. Harus lebih dipilah, misal steak harga mahal, silakan saja PPN untuk bayar karena dagingnya wagyu seharga satu juta di Jakarta. Kalau daging beli di pasar kan tidak mungkin (ada PPN)," jelasnya.

Bila nanti kebijakan penerapan PPN terealisasi, Yan menyebut, peluang paling besar yang disetujui adalah bidang kecantikan dan pendidikan karena bisa masuk dalam kategori profit oriented atau orientasi yang menguntungkan.

"Terealisasi mungkin akan sebagian, misal lembaga profit seperti sekolah internasional atau bersifat pendidikan. Begitu juga jasa kesehatan untuk klinik-klinik kecantikan. Misal pembuatan tato, sulam alis, dan merampingkan tubuh. Karena kesehatan ini masuk kategori untuk bukan masyarakat umum," timpalnya.

Ekonom Universitas Padjadjaran, Yudi Aziz menyoroti pemilahan objek pajak baru yang akan dikenai PPN ini bisa menimbulakan persoalan. Soal sembako misalnya, Kemenkeu belakangan mengklaim bahwa hanya beras jenis premium yang akan dikenakan PPN ini.

"Beras jenis ini masih sulit diidentifikasi. Sebab banyak juga beras biasa yang kemudian dilabeli beras premium dan dijual kepada masyarakat menengah ke bawah. Karena ada juga beras premium yang bagus untuk kesehatan dan ini bisa dimanfaatkan untuk mengurangi stunting," papar Yudi.

"Jadi memang harus diperjelas dulu definisi dari setiap premium itu apa," tegas Ketua Program Doktor Studi Ilmu Manajemen Unpad tersebut.

Pada sektor kesehatan, PPN berdampak pada kenaikan biaya persalinan. Namun, pemerintah menyebut bahwa PPN berlaku untuk tempat bersalin dan untuk kelas tertentu.

"Namun belum bisa dipaparkan bagaimana ketika ada wanita bersalin yang kemudian harus naik kelas karena urusan tertentu, mungkinkah mereka persalinannya dikenakan PPN atau tidak?"

Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Wisnu Wibowo, mengatakan kalaupun kebijakan ini dipaksakan ke dalam kerangka pembaharuan perpajakan, dia menyarankan penerapan pajak nol persen.

"Dia tetap jadi objek pajak tapi tetap dikecualikan diberikan pajak nol persen. Dalam konteks administrasi perpajakannya itu masuk dalam salah satu bentuk objek pajak. Namun tidak dikenai tarif pajak," ujarnya.

2. Pertimbangkan rasa keadilan agar masyarakat taat pajak

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi Pasar (IDN Times/Besse Fadhilah)

Wisnu Wibowo memberikan argumen atas saran tarif pajak 0 persen yang dia ajukan. Jika sembako masuk sebagai objek pajak dan dikenakan tarif pajak, meski hanya 0,5 atau 1 persen, akan bertentangan dengan rasa keadilan.

Ini justru akan memberikan sentimen negatif terhadap perbaikan ekonomi. Sehingga dampaknya secara ekonomi malah merugikan karena kepatuhan terhadap pajak juga dipengaruhi oleh pemenuhan rasa keadilan," papar Kepala Prodi Magister Ilmu Ekonomi Unair tersebut.

Guru Besar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Suharnomo juga menyoroti aspek keadilan dalam penetapan objek pajak.

"Masak, makanan rakyat dipajaki 12 persen, kan pada bilang kayak gitu. Dan menurut saya, pengenaan pajak mestinya mempertimbangkan aspek keadilan. Kalau itu dibebankan kepada orang kurang mampu, ya tidak pantas dipungut pajak. Tapi kalau orang kaya harus bayar pajak progresif," kata dia kepada IDN Times

Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin Anas Anwar Makkatutu mengakui mengubah aturan pajak adalah salah satu cara untuk menutupi defisit APBN akibat pandemik COVID-19. Namun, dia menekankan hal itu harus berdasarkan asas keadilan.

Sembako yang dikenakan pajak sama sekali tidak adil jika di sisi lain ada barang mewah yang justru tidak dikenakan pajak. Sembako adalah bahan primer yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi dalam kondisi sekarang ini pasti masyarakat akan semakin kesulitan," imbuhnya.

Baca Juga: 7 Golongan yang Tolak PPN Sembako 12 Persen, Ibu-Ibu hingga Petani

3. Perhatikan daya beli masyarakat dan potensi inflasi

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi Toko Kelontong (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Ekonom sekaligus Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Sri Rahayu menyoroti imbas dari PPN sembako jika terwujud. Sri menyebut dampak paling berpengaruh adalah daya beli masyarakat yang sangat berkurang, bahkan memengaruhi investasi.

"Ngapain orang investasi sementara daya beli sedang rendah-rendahnya. Itu implikasi yang akan terjadi ke depan, kalau PPN diloloskan pemerintah," tandas dia.

Senada, Yan Sulistyo juga memperkirakan dampak paling signifikan jika kebijakan tersebut terealisasi adalah pengaruh pertumbuhan ekonomi daerah yang merosot.

"Tentu berpengaruh terhadap daya beli dan investasi. Kalau bicara PPN sembako, artinya harga barang akan mengalami peningkatan. Harga makin tinggi, pengaruhnya ke masyarakat dan kemampuan mereka dalam membeli," ujarnya kepada IDN Times.

Menanggapi argumen pemerintah yang menyebut aturan baru PPN tersebut tidak dikenakan tahun ini, Yudi Aziz masih keberatan. Sebab beberapa tahun ke depan adalah masa di mana masyarakat harus melakukan pemulihan pascapandemik COVID-19.

"Terkait kebijakan ini, bukan rahasia umum kalau daya beli sekarang menurun. Apalagi ekonomi sekarang tidak normal," ujar ekonom Unpad tersebut. Pengenaan PPN di sejumlah sektor diyakininya bisa memberikan efek ganda ke berbagai hal mulai dari hulu sampai hilir yang ujungnya akan menjadi beban masyarakat.

Hempri Suyatna dari Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM sepakat bahwa PPN sembako jelas berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat, munculnya potensi konflik masyarakat, bahkan bisa berdampak inflasi.

"Saya kira itu juga tidak pas. Bagaimanapun sembako adalah kebutuhan dasar hidup masyarakat. Tidak hanya dampak ekonomi yang muncul tapi bisa berdimensi politik," tuturnya.

Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti, Guru Besar Ekonomi Pertanian FE Universitas Negeri Semarang (Unnes) memaklumi niat pemerintah di kondisi sulit ini. Namun dia pun tetap menekankan hal itu harus dilakukan secara hati-hati karena kondisi daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. 

"Karena jika tidak dilakukan secara hati-hati maka dapat berpotensi menaikkan inflasi dan semakin menekan daya beli masyarakat. Akibatnya perekonomian menjadi semakin lesu karena konsumsi masyarakat yang menurun," paparnya.

Ekonom Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo, percaya inflasi pasti terjadi jika kebijakan ini jadi diterapkan. "Karena semua orang tahu bahwa saat ini pandemik COVID-19 ini kan masih berlangsung, pendapatan juga masih terbatas kemudian ditambah lagi dengan kenaikan harga," ujarnya.

"Kalau sembako naik, pasti inflasi juga naik ini akan bisa merembet ke yang lain-lain. Karena kalau harga bahan makanan naik, penjual yang lain pun merasa bahwa biaya hidupnya juga tambah tinggi, maka mereka pun juga akan menaikkan harga," jelas Wahyu.

Baca Juga: Ternyata, Ini Alasan Pemerintah Mau Terapkan PPN Sembako 12 Persen!

4. Lebih baik dongkrak konsumsi dan urusi pajak barang mewah

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi investasi. (IDN Times/Arief Rahmat)

Wahyu pun menyoroti salah satu fungsi pajak sebagai dalam konteks pemerataan pendapatan masyarakat. "Yang perlu dilakukan lagi adalah menyasar kelompok-kelompok yang kaya, berdasarkan pendapatan menengah ke atas. Misalkan, barang-barang mewah seperti mobil, handphone atau jasa-jasa yang termasuk barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, nah itu saja yang coba untuk dinaikkan," sarannya.

Tak hanya itu, menurutnya pemungutan pajak kendaraan bermotor pun masih bisa terus digenjot sebagai pajak daerah. "Pemerintah pusat tidak perlu menambah lagi dana transfer, karena membuat daerah itu manja. Daerah itu mendapat penerimaan yang meningkat dari dana transfer dengan harapan sebenarnya belanja pembangunan meningkat kan," jelasnya.

Sejalan dengan Wahyu, Wisnu Wibowo pun menilai pemerintah yakni dengan memanfaatkan potensi daya beli kelompok menengah ke atas. Sebab secara konsep, menurutnya, menggerakan perekonomian ada dua cara yaitu dengan konsumsi dan investasi.

"Kalau mengandalkan anggaran pemerintah itu terbatas apalagi situasi fiskal seperti ini. Kemampuan pemerintah untuk terus membiayai pengeluaran semakin lama semakin berkurang," ungkap ekonom Unair itu.

Alih-alih menerapkan PPN sembako, dia menyebut solusi untuk menggenjot ekonomi adalah memanfaatkan mereka-mereka yang sebenarnya punya uang tapi menahan uangnya karena melihat ada potensi keuntungan dari cara lain.

"Misalnya berkembangknya crypto, e-wallet dan seterusnya. Kemudian instrumen yang ada di pasar modal, ada surat berharga itu dianggap menguntungkan, mereka menahan untuk dialihkan ke aktivitas investasi yang sebenarnya tidak berkaitan dengan sektor ril," bebernya.

Dia menyoroti pertumbuhan kredit perbankan masih sangat kecil, hanya sekitar 3,5-4 persen. "Dari situlah harusnya mengoptimalkan ke daya beli ril untuk melakukan transaksi. PPN harusnya dikurangi. Seperti yang diterapkan sekarang pajak pertambahan barang mewah untuk mobil diperpanjang kemudian properti juga harus perpanjang."

Kemudian dari sisi investasi, dia menilai pemerintah masih belum bisa mengurai. Misalnya, suku bunga diturunkan tapi penyaluran kredit perbankan masih relatif terbatas. "Ini berpengaruh ke optimisme pelaku usaha. Kuncinya ada di situ, kalau konsumsi dan investasi oke, ekonomi bisa lancar," tuturnya.

Hempri Suyatna turut menyoroti ironisnya kebijakan diskon untuk pajak terkait barang mewah, di tengah rencana pemberlakuan PPN sembako dan sekolah. Dia menyebut kebijakan 0 persen untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Hal serupa disampaikan Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi yang menilai PPnBM sebenarnya tak bisa digratiskan. Pemerintah, kata dia, punya pertimbangan lain dengan memberikan kompensasi kepada para investor agar perusahaan dapat berkembang pesat. Hal ini sejalan dengan peningkatan produksi dan terciptanya lapangan kerja. 

“Pertanyaannya, apakah perusahaannya ada di Indonesia. Kebanyakan hanya pabrik perakitan saja,” ujarnya.

5. Efisiensi belum maksimal

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang Kontroversialpixabay.com

Ketimbang mencari pendapatan tambahan melalui penambahan objek pajak dan penaikan tarif pajak, pemerintah dinilai lebih baik mengencangkan ikat pinggang. Yudi Azis menilai pemerintah seharusnya bisa melakukan efisiensi untuk banyak pos anggaran.

Peluang meningkatkan pendapatkan lewat efisiensi dinilainya masih besar. Sebab selama ini, pemerintah dinilainya masih boros. Sejumlah program yang dibiayai anggaran negaea pun dampaknya belum berasa.

"Bahkan banyak program yang diadakan, kemudian ditutup, dan dibuka kembali .Ini tinggal ditelaah di lapangan berapa banyak yang gali lubang tutup lubang. Dan akhirnya malah mengganggu," kata Yudi.

6. Alternatif lain, optimalkan BUMN!

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialLogo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terpasang di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020) (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Kepala Penelitian Bidang Ekonomi Central for Urban and Regional Studies (CURS) Lampung, pos anggaran pendapatan pemerintah yang bisa digenjot bukan hanya pajak. Dia mengingatkan pemerintah juga masih memiliki jalan alternatif lainnya guna pemulihan perekonomian negara.

Caranya, memanfaatkan dan mendorong pendapatan lain seperti bagi hasil Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat ini, kinerja BUMN dinilai belum maksimal bahkan cenderung merugi.

"Seperti apa yang terjadi pada Garuda (Indonesia), yang sudah dibatas ambang kebangkrutan, lalu PLN dengan memiliki permasalahan tersendiri yang tidak kunjung selesai-selain dan lain sebagainya," bebernya.

Yudi Aziz sependapat dengan ide menggenjot pendapatan BUMN. Sebab, dalam menjalankan programnya, BUMN tidak hanya memikirkan pelayanan publik, tapi juga harus profit.

"Harusnya digenjot karena dia (BUMN) efeknya tinggi. Pelayanan bagus dan ketika volume ditambah ini income (pendapatan) juga tinggi)," kata Kepala Pusat Unggulan BUMN Center of Excellence Universitas Padjadjaran tersebut.

Untuk bisa memberikan pelayanan yang optimal dan pendapatan yang baik, tidak rugi, maka jajaran petinggi BUMN harus diisi oleh orang-orang berkompeten. Dengan demikian, tidak ada lagi pemberitaan bahwa BUMN merugi bahkan mampu memberikan sumbangsih kepada negara.

"Ketika BUMN-nya efektif maka penerimaan negara melalui deviden pun bisa lebih besar," papar Yudi.

7. Quality tourism juga bisa jadi alternatif

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialEven 1000 Tenda di Desa Meat Kecamatan Tampahan, Kabupaten Toba, Sumatera Utara pada 2019 lalu (IDN Times/Prayugo Utomo)

Hempri Suyatna punya ide lain untuk menggenjot pendapatan negara ketimbang menerapakan PPN untuk objek-objek baru dan menaikkan tarifnya. Menurutnya seharusnya pemerintah bisa lebih inovatif menggali potensi-potensi keuangan negara di luar membebankan pajak bagi masyarakat menengah bawah.

Solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi keuangan, menurutnya, adalah dengan cara mengoptimalkan kepariwisataan dengan paradigma baru yakni quality tourism dengan cara mengoptimalkan pasar domestik.

"Dalam pariwisata yang berbasis quality tourism ini indikator yang dikembangkan adalah pembelanjaan wisata," papar anggota tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut.

8. RUU KUP perlu kematangan dan uji publik yang libatkan akademisi

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Ekonom Unpad Yudi Azis menegaskan proses uji publik sangat penting dilakukan pemerintah atas kebijakan baru PPN ini. "Komoditasnya apa saja dan bagaimana," ujarnya.

Prof Suharnomo setuju bahwa uji publik adalah jalan yang tepat sebelum menggulirkan kebijakan baru, agar pemerintah bisa melihat dengan jeli reaksi masyarakat. Uji publik yang dimaksud, kata dia, minimal melibatkan suara akademisi kampus dan pakar-pakar yang punya beragam perspektif. 

"Kalau ada kebijakan menyangkut publik ya harus uji publik. Harus lewat naskah akademik untuk melihat banyak prespektif. Memang nyatanya sektor penerimaan pajak saat ini menurun dan pemerintah berupaya lebih keras lagi mencari sumber baru. Cuma kalau ada uji publiknya itu penting untuk minta pendapat banyak orang sekaligus menjaga harmoniasasi dalam memutuskan sebuah kebijakan," papar Dekan FEB Undip tersebut. 

Dia juga menyarankan Kemenkeu membuat kebijakan yang konkret sehingga tidak membingungkan masyarakat di sejumlah daerah. "Karena semua orang saat ini mencari kepastian. Tapi yang ada sekarang sumber resmi lamban memberikan informasi. Yang muncul hanya spekulasi spekulasi yang belum tentu benar," paparnya. 

Ekonom Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Sri Rahayu, menekankan kematangan pembahasan RUU KUP yang memuat wacana aturan baru PPN tersebut. 

"Karena peraturan baru memang perlu kematangan. Betul jika harus memikirkan profit oriented, dipilah peruntukannya, dan untuk siapa, apakah penting di masyarakat umum.  Karena untuk PPN sembako, jualan juga susah pedagang, bagaimana ada PPN. Intinya harus ada asas keadilan," tambah dia.

Ekonom Lampung, Erwin Octavianto mengatakan, proses mereformasi struktur pajak ini perlu dikawal ketat hingga akhir pembahasan. Dia berharap hasil revisi draf tersebut nantinya bisa lebih sehat, adil, dan proporsional. 

"Jangan sampai nantinya terdapat pasal selipan. Contohnya, seperti UU Omnibus Law ini bagus di awal, tapi di akhir ada selipan soal tenaga kerja, miras, dan lain sebagainya," ujar Kepala Penelitian Bidang Ekonomi Central for Urban and Regional Studies (CURS) kepada IDN Times.

Tak hanya itu, dia juga mengingatkan pemerintah harus gencar menyosialisasikan aturan baru itu hingga ke kalangan bawah. Itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah sekaligus menghindari polemik dan kegaduhan di masyarakat.

"Jangan sampai yang masuk ke kuping masyarakat adalah hal-hal yang sifatnya hoaks, akibat informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan dipercaya," katanya.

9. Pajak jasa kesehatan terutama persalinan

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi rumah sakit. IDN Times/Arief Rahmat

Salah satu objek baru selain sembako dalam aturan baru PPN adalah jasa kesehatan, terutama jasa persalinan. Setidaknya ada tiga aspek yang mesti diperhatikan, menurut ekonom dari Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi.

Selain harus jelas mengenai narasi pajaknya, pemerintah juga harus memperhatikan tujuan penyematan PPN untuk persalinan. "Apakah untuk membatasi laju pertambahan penduduk atau ada ihwal lain. Motifnya harus jelas," kata dia.

“Jangan juga dihantam rata. Bagaimana dengan keluarga yang sederhana atau miskin. Sudah dihitung pemerintah belum besaran pajaknya. Syukur jika di rumah sakit, kalau hanya bidan bagaimana?” lanjutnya.

Selanjutnya, kata dia, cara penarikan pajak. Jika persalinan dilakukan di rumah sakit bisa jadi ada pendataan. "Tapi bagaimana pemerintah tahu itu benar-benar miskin dari mana?" cetus Sofyan.

"Kemudian jika hanya bidan yang membantu melahirkan, bagaimana juga dalam menarik pajaknya? Kalau ada yang menjawab, lewat akta kelahiran. Bisa saja, tapi menarik pajak lewat akta tak mudah.

Dia menilai ini akan membuat pemerintah menghabiskan energi untuk megurusi hak teknisnya.

Hal terakhir yang masih harus dipikirkan dengan cermat opeh pemerintah adalah besaran persentase pajak. "Antara kaya dan miskin ini akan samar statusnya bila masuk rumah sakit. Jadi memang harus dikaji lebih dulu,” sebutnya.

10. Pajak pendidikan

10 Saran Ekonom se-Indonesia soal Wacana Aturan PPN yang KontroversialIlustrasi siswa madrasah diniyah. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Yang tak kalah banjir kritik adalah pengenaan PPN pada jasa pendidikan alias sekolah. Kondisi ini diprediksi akan membuat kesenjangan pendidikan kian tinggi di Indonesia. Hal itu disampaikan pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan.

"Jangan sektor pendidikan, karena pendidikan itu dilindungi oleh konstitusi dan itu adalah sektor penting mencakupi seluruh warga negara, kalau pendidikan dikenai pajak nanti biayanya akan mahal," kata dia.

Jika penerapan PPN tetap dipaksakan, Cecep memprediksi bakal terjadi efek domino terhadap masyarakat, terutama kaum marjinal. "Belum ada pajak saja, pendidikan masih dianggap mahal oleh sebagian mayarakat, apalagi dikenai pajak, semakin berat," katanya.

Lebih lanjut, Hempri Suyatna menyebut PPN sekolah akan menghambat aksesibilitas masyarakat dalam menempuh pendidikan. Meskipun hanya dilakukan untuk sekolah swasta, tetap berisiko terhadap perkembangan pendidikan.

"Ini juga akan berisiko terhadap perkembangan pendidikan. Selama ini sekolah-sekolah swasta juga punya peran penting dalam pendidikan karena keterbatasan lembaga pendidikan yang disediakan pemerintah," katanya.

Penulis:

  • Fariz Fardianto
  • Siti Umaiyah
  • Ardiansyah Fajar
  • Debbie Sutrisno
  • Yuda Almerio Pratama
  • Feny Maulia Agustin
  • Tama Wiguna
  • Ashrawi Muin
  • Indah Permatasari

Topik:

  • Anata Siregar
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya