TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

UU Ciptaker Lagi Direvisi, Ini Poin Krusial Turunannya soal Pengupahan

MK putuskan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945

Sidang putusan gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) alias Omnibus Law bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Atas putusan tersebut, MK meminta pemerintah untuk merevisi UU Ciptaker dalam kurun waktu dua tahun terakhir atau berstatus inkonstitusional.

MK juga melarang pemerintah untuk membuat peraturan turunan dari UU tersebut. Namun, bagi peraturanan turunan yang sudah ada masih akan berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan ada sejumlah aturan turunan yang masih berlaku seiring dengan adanya putusan MK tersebut.

Aturan turunan yang masih berlaku tersebut salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan bagi pekerja atau buruh. Beleid tersebut diteken Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2 Februari 2021.

Keberadaan PP 36/2021 turut membatalkan peraturan lama tentang pengupahan yang sebelumnya ada di dalam PP 78/2015.

Lantas, apa saja hal-hal yang masih berlaku dari sisi pengupahan seiring putusan MK soal UU Ciptaker? Berikut ulasannya.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Revisi UU Ciptaker Akan Dituntaskan Kurang 2 Tahun 

1. Pemerintah pusat bisa mengatur pengupahan dan sanksi bagi pemerintah daerah

Dok. Biro Pers Kepresidenan

Di dalam Pasal 4 beleid tersebut dikatakan, pemerintah pusat bisa menetapkan kebijakan pengupahan. Kebijakan pengupahan ini merupakan program strategis nasional.

Pada ayat 3 Pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan wajib berpedoman pada kebijakan Pemerintah Pusat. Nah, kalau Pemerintah Daerah tidak menetapkan pengupahan minimum sesuai Pasal 25 hingga 27 dapat dikenakan sanksi adminstrati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.

Padahal dalam aturan yang lama, yakni PP 78/, tidak tertulis adanya kewajiban pemerintah daerah mengikuti acuan pengupahan dari pemerintah pusat.

Baca Juga: Putusan MK soal UU Ciptaker, Partai Buruh: UMP 2022 Harus Dibatalkan!

2. Adanya batas atas dan batas bawah upah minimum

Ilustrasi gaji (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada Pasal 25 hingga 30 dijelaskan berbagai aturan penetapan upah minumum baik itu provinsi atau kabupaten/kota yang dilakukan tiap tahunnya.

Selain itu, pada Pasal 25 ayat 2 dijelaskan adanya batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.

Batas atas upah minimum sebagaimana dimaksud ayat 2 merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dapat ditetapkan dan dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

Batas atas upah minimum = (rata-rata konsumsi per kapita x rata-rata banyaknya anggota rumah tangga)/rata-rata banyaknya ART bekerja pada setiap rumah tangga.

Sementara rumus batas bawah upah minimum adalah sebagai berikut:

Batas bawah upah minimum = batas atas upah minimum x 50 persen.

3. Aturan baru soal upah di usaha mikro dan usaha kecil

Ilustrasi UMKM. (IDN Times/Aditya Pratama)

Jika sebelumnya tidak ada aturan upah pada usaha mikro dan usaha kecil, pada PP 36/2021 ada aturan yang mengecualikan batasan upah minimum bagi usaha mikro atau kecil seperti yang dijelaskan di atas.

Khusus usaha kecil atau mikro, Pasal 36 PP 36/2021 menyatakan bajwa upah usaha mikro ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, syaratnya:

1. Paling sedikit sebesar 50 persen dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi
2. Nilai upah yang disepakati paling sedikit 25 persen di atas garis kemiskinan tingkat provinsi

Baca Juga: Said Iqbal: Pemerintah Jangan Propagandakan Putusan MK soal Ciptaker

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya