TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Prabowo Janji Tak Impor Apapun Jika Terpilih, Mungkinkah?

Ekonomi itu soal rasa atau data?

IDN Times/Fitria Madia

Jakarta, IDN Times - Menebar janji manis sudah jadi hal lumrah dalam setiap pemilihan presiden (pilpres). Terkadang ini memberikan harapan kepada masyarakat, tapi ada kalanya juga justru menimbulkan tanya di benak beberapa pihak.  

Apakah realistis, bagaimana ukurannya, seperti apa aturannya, dan lain sebagainya.

1. Prabowo berjanji jika ia jadi presiden, "Indonesia takkan impor apa-apa"

ANTARA FOTO/Moch Asim

Kemudian datanglah hari di mana calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, berkampanye di depan para pendukung yang menyebut diri mereka ulama. Kampanye dilakukan pada Minggu (4/11) di Lapangan GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan.

Saat itu, Prabowo mengucapkan janji seperti ini: "Saya bersaksi di sini, kalau insya Allah saya menerima amanat dari rakyat Indonesia, saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri! Kita tidak perlu impor apa-apa, Saudara-saudara sekalian! Kita harus dan kita mampu swasembada pangan! Mampu!"

Ia melanjutkan: "Kita juga harus dan mampu swasembada energi, swasembada bahan bakar! Kita tidak perlu impor 1,3 juta barel tiap hari. Kita tidak perlu mengirim 30 miliar dolar tiap tahun ke luar negeri hanya untuk bayar bahan bakar!"

Baca Juga: Kunjungi Jawa Timur, Prabowo Kejar Ketertinggalan Suara Pilpres 2014

2. Pengamat ekonomi mengatakan janji Prabowo tidak realistis

IDN Times/Fitria Madia

Karena penasaran, IDN Times pun bertanya kepada Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Pertanyannya pun pasti sederhana. Mungkinkah Indonesia bisa tidak impor barang sebiji pun?

Menurut Bhima, janji Prabowo tersebut tidak realistis. Ia bahkan menilai tidak impor apapun merupakan "kemunduran tanpa tahu basis data dan analisisnya". Kecuali jika Indonesia mau jadi "negara tertutup". 

"Dalam skema global value chain yang penting itu impor untuk diolah menjadi barang industri dengan nilai tambah yang tinggi sehingga perdagangan kita surplus," kata Bhima.

3. Ia ingin agar Prabowo menggunakan data yang valid ketika mengeluarkan janji kampanye

IDN Times/Nofika Dian

Lebih lanjut, Bhima mengutip neraca perdagangan Tiongkok yang meski memiliki ekspor tinggi, tapi tetap melalukan impor. "Contoh Tiongkok jadi raksasa perdagangan dunia yang ekspornya mencapai US$226,5 miliar saja mengimpor US$195 miliar per September 2018."

Dia menyebut negara yang sosialis sekalipun, seperti Kuba dan Venezuela, pasti mengimpor barang yang tidak diproduksi di dalam negeri. "Atau yang ongkos produksinya mahal," tegasnya, merujuk pada mustahilnya satu negara bisa menghasilkan dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bekerja sama dengan yang lain.

Ia pun ingin agar tim sukses Prabowo "hati-hati dalam membuat janji kampanye yang tidak realistis" hanya untuk "mengejar elektabilitas jangka pendek lalu buat harapan yang secara ekonomi tidak make sense". Apalagi, lanjutnya, ini akan memberi sentimen negatif kepada pengusaha dari dalam maupun luar  negeri.

4. Kebijakan ekspor-impor harus memperhatikan kecukupan dan kualitas produk dalam negeri

ANTARA FOTO/Aji Setyawan

Perdagangan dunia memang tidak selalu adil dan setara. Ini yang kerap menjadi kritikan pengamat globalisasi di berbagai negara. Ada yang sangat diuntungkan, tapi ada juga yang dirugikan. Namun, pada realitanya, tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu swasembada di seluruh bidang.

Mengapa? Sebab ada kalanya pasar suatu negara tidak menyediakan barang yang sangat dibutuhkan. Contohnya, penduduk Qatar memerlukan sayur dan buah. Meski beberapa petani bisa menghasilkan produk itu, tapi jumlahnya sangat terbatas mengingat kondisi tanah di sana yang sulit untuk agrikultur.

"Impor boleh untuk komoditi yang tidak diproduksi di dalam negeri dengan spesifikasi tertentu. Misalnya, Indonesia impor jagung untuk produksi pemanis rendah kalori. Ini karena produksi jagung dalam negeri secara kualitas belum memenuhi spek industri. Atau komoditas yang ongkos produksinya mahal," jelas Bhima.

Baca Juga: PPP: Janji Prabowo Hentikan Impor Pangan dan Energi Utopis

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya