TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bisnis Produsen Alat Tulis Jerman, Staedtler Terhambat di RI

Menghadapi sengketa dengan pemegang saham lokal

Kuasa hukum Staedtler Noris, Todung Mulya Lubis dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (23/11/2023). (IDN Times/Trio Hamdani)

Jakarta, IDN Times - Produsen alat tulis asal Jerman, Staedtler Noris yang beroperasi di Indonesia meminta perlindungan kepada pemerintah Indonesia.

Pemegang hak merek Staedtler untuk beragam alat tulis itu, mengaku sedang menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan dalam investasinya di Indonesia melalui PT Staedtler Indonesia (PTSI) dari PT Asaba Utama Corporatama (AUC).

Dalam hal ini, Staedtler Noris adalah pemegang saham asing di PTSI, dan AUC adalah pemegang saham lokal.

"Ini kasus sengketa bisnis murni sengketa antara pemegang saham, pemegang saham asing versus pemegang saham lokal," kata kuasa hukum Staedtler Noris, Todung Mulya Lubis dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (23/11/2023).

Baca Juga: Moeldoko Beberkan Cara Jokowi Ciptakan Iklim Investasi yang Kondusif

Baca Juga: Jokowi Belum Puas Kemudahan Berusaha di Indonesia Peringkat 73 Dunia

1. Tak diberi kendali atas PTSI

ilustrasi perusahaan (IDN Times/Aditya Pratama)

Di atas kertas, Staedtler Noris adalah pemegang saham mayoritas di PTSI dengan kepemilikan 74,95 persen, sedangkan sisanya sebesar 25,05 persen dimiliki oleh AUC.

Meskipun Staedtler Noris berstatus sebagai pemegang saham mayoritas, mereka mengaku hak-haknya dan kontrolnya atas PTSI dilucuti, termasuk diantaranya Staedtler Noris tidak diberikan kendali atas operasional PTSI oleh AUC.

"Pemegang saham lokal ini melakukan segala macam upaya untuk menghalangi pemegang saham mayoritas menjalankan kendali perusahaan," ujar Todung.

Bahkan, sekalipun menjadi pemegang saham mayoritas, perwakilan Staedtler Noris di direksi dan dewan komisaris PTSI, kata dia, merupakan minoritas dan tidak dapat memberikan akses maupun informasi mengenai PTSI kepada Staedtler Noris.

"Nah, ini yang tidak terjadi dan segala macam upaya yang dilakukan oleh pemegang saham minoritas ini menghambat, menghalangi hak-hak pemegang saham mayoritas," ujarnya.

2. Mengalami kriminalisasi sengketa bisnis

Ilustrasi Sidang (IDN Times/Arief Rahmat)

Staedtler Noris pun berupaya mendapatkan kembali akses dan informasi terhadap PTSI. Untuk itu, pada 20 Desember 2021, mereka mengajukan permohonan kepada Direksi PTSI untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa. Tujuannya, untuk melakukan perubahan komposisi direksi dan dewan komisaris PTSI.

Permintaan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Direktur PTSI dengan undangan RUPS LB pada 29 Desember 2021. Hal itu disampaikan kepada pemegang saham Staedtler Noris dan AUC, untuk menghadiri RUPS Tahunan dan RUPS LB PTSI pada 28 Maret 2022.

Tidak terima dengan perubahan susunan komposisi direksi dan dewan komisaris, bukannya mengajukan gugatan perdata untuk mempermasalahkan keabsahan RUPS LB tersebut, AUC justru membuat laporan polisi ke Bareskrim Polri terhadap advokat perwakilan Staedtler Noris yang hadir dalam RUPS LB, yakni Philipp Kersting dan Zuhesti Prihadini, dan Rudi Tanran yang ditunjuk sebagai Presiden Direktur PTSI.

Mereka dilaporkan dengan tuduhan bahwa RUPS LB tersebut fiktif dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat RUPS LB tersebut palsu (Laporan Polisi).

"Pemegang saham mayoritas dipidanakan. Jadi apa yang kita lihat di sini adalah kriminalisasi sengketa bisnis," jelasnya.

Baca Juga: Fakta-fakta Kemudahan Bisnis dan Investasi di RI yang Tertinggal Jauh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya