TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gawat! APBN Berisiko Lumpuh Kalau Utang Pemerintah Naik Terus

Utang pemerintah lampaui batas IMF.

IDN Times/Arief Rahmat

Jakarta, IDN Times - Kenaikan utang pemerintah selama pandemik COVID-19 menjadi sorotan. Bahkan, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan, ada risiko APBN lumpuh bila utang terus bertambah.

"Apa konsekuensinya jika utang yang berat ini dibiarkan? APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar," kata Didik dalam keterangan resminya, Kamis (24/6/2021).

Didik mengatakan, apabila APBN terbebani dengan utang dan bunganya, maka bisa memicu krisis ekonomi. 

"APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi. Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemik karena penanangan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis," ujarnya.

Baca Juga: Duh, Utang Pemerintah Lampaui Ketentuan IMF!

Baca Juga: Utang Luar Negeri RI April 2021 Naik Lagi, Tembus Rp5.935 Triliun

1. Utang BUMN juga beban pemerintah

Ilustrasi Utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, utang pemerintah per April 2021 naik Rp82,22 triliun jika dibandingkan bulan sebelumnya. Dengan demikian, utang pemerintah tembus Rp6.527,29 triliun, dari posisi sebelumnya Rp6.445,07 triliun.

Didik mengatakan, beban pemerintah tak hanya utang tersebut. Namun juga utang BUMN yang jika ditotalkan mencapai Rp2.143 triliun. Rinciannya, Rp1.053,18 triliun berasal dari BUMN di sektor keuangan, dan Rp1.089,96 triliun berasal dari BUMN nonkeuangan.

"Jadi total utang pemerintah pada masa Jokowi sekarang sebesar Rp8.670 triliun. BUMN juga diminta dan dibebani tugas untuk pembangunan infrastruktur. Kalau gagal bayar atau
bangkrut harus ditanggung APBN, sehingga menjadi bagian dari utang pemerintah. Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih Rp10 ribu triliun ," papar Didik.

2. Faktor eksternal bisa makin membebani APBN

Ilustrasi utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Didik menjelaskan, masih ada faktor eksternal yang akan membuat utang pemerintah semakin bengkak dan membebani APBN, yaitu suku bunga Amerika Serikat (AS). Apabila bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunganya, maka akan berimbas pada Indonesia karena suku bunga utang akan naik.

"Posisi ekonomi Indonesia akan sangat sulit sulit. Suku bunga utang akan terdorong naik,
mesti bersaing sama obligas USA. Sementara pajak kita masih rendah dan pembiayaan dari obligasi. Kalau tidak bisa bayar dalam jangka pendek kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia merosot. Jika masih dipercaya bisa mungkin masih bisa profiling utang, minta penangguhan utang, tetapi itu berarti bunganya berarti numpuk," urainya.

3. BPK khawatir pemerintah tak sanggup bayar utang

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga khawatir pemerintah tak sanggup bayar utang. Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020,  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan realisasi pendapatan negara dan hibah ialah sebesar Rp1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. 

Sementara itu, realisasi belanja negara tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.832,95 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp691,43 triliun, dan dana desa sebesar Rp71,10 triliun.

Dengan demikian, pada tahun 2020 terdapat defisit anggaran sebesar Rp947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB (produk domestik bruto).

"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga uang," tulis BPK.

Di sisi lain, realisasi pembiayaan (pengadaan utang) tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisit anggaran. Dengan demikian, sisa utang yang tak terpakai di tahun 2020 yakni sebesar Rp245,59 triliun atau yang disebut dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA).

Merespons itu, Didik mengaku setuju dengan hasil pemeriksaan BPK.

"Jadi saya setuju BPK mengingatkan pemerintah karena tugasnya memang harus begitu. Jangan kemudian kritis malah dinafikan atau bahkan yanhg kritis diberangus yang kritis seperti yang dilakukan sekarang terhadap aktivis," paparnya.

Baca Juga: Utang Luar Negeri RI April 2021 Naik Lagi, Tembus Rp5.935 Triliun

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya