TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kebijakan Sudah Digonta-ganti, Minyak Goreng Masih Sulit Dijangkau

Minyak goreng sesuai HET masih sulit dicari

Gonta-Ganti Kebijakan Minyak Goreng (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Harga minyak goreng telah mengalami kenaikan sejak Mei 2021. Kenaikan makin tak terbendung pada Desember 2021 dan Januari 2022. Bahkan, hingga saat ini, harga minyak goreng di pasar tradisional masih tembus Rp20.000 per liter.

Misalnya saja di Pasar Kemirimuka, Depok, Jawa Barat, minyak goreng curah masih dijual seharga Rp20.000 per liter. Sementara itu, minyak goreng kemasan dijual mulai Rp19.000 sampai Rp23.000 per liter.

Seorang pedagang di Pasar Kemirimuka yang bernama Nia mengatakan, banyak pedagang yang menyimpan stok lama minyak goreng curah ataupun kemasan yang dibeli dengan harga di atas HET, sehingga mereka belum bisa menjualnya sesuai HET.

“Kami beli minyak goreng ini belanjanya masih mengacu pada saat harga naik, apabila kami jual dengan HET kami mengalami kerugian besar,” kata dia pada Minggu (6/2/2022).

Menurutnya, stok lama ini harus habis terjual. Jika dirinya mendapat stok baru dari distributor dengan harga yang turun, maka akan dijualnya sesuai HET.

“Sekarang saya habiskan stok dulu lalu kalau di distributor minyak memang sudah turun akan saya sesuaikan HET Pemerintah,” ucap Nia.

Baca Juga: Kenaikan Harga Minyak Goreng Jadi Biang Kerok Inflasi November

1. Penyebab harga minyak goreng tinggi

Harga minyak goreng di Pasar Slipi Rp22.000 per liter. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Penyebab utama harga minyak goreng melonjak adalah kenaikan harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Per akhir Januari 2022 lalu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok, harga CPO global di dalam lelang KBPN Dumai tembus Rp13.240 per liter, atau sudah melonjak 77,34 persen dibandingkan Januari 2021.

Akibatnya, harga minyak goreng di dalam negeri mengikuti pergerakan harga CPO internasional. Padahal, Indonesia merupakan produsen dari CPO tersebut. Tak adanya kendali harga itu pun diakui sebagai kesalahan pemerintah.

"Pemerintah melihat pada posisi saat ini ada yang tidak benar, kami mengakui. Ternyata kebijakan kita yang terlalu melepas ke mekanisme perdagangan, intervensi pemerintahnya. Di mana harga minyak goreng di dalam negeri itu dibiarkan ketergantungan ke harga CPO internasional," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan dalam webinar INDEF, Kamis (3/2/2022).

Hingga pada akhirnya, pemerintah memberlakukan DMO, DPO, dan HET demi menekan lonjakan harga minyak goreng, serta memastikan ketersediaannya di dalam negeri.

2. Pemerintah gonta-ganti kebijakan demi kendalikan gejolak harga minyak goreng

Infografis Gonta-Ganti Kebijakan Minyak Goreng (IDN Times/Aditya Pratama)

Sejak akhir 2021, pemerintah sudah mengerahkan kebijakan untuk menekan harga minyak goreng. Upaya menekan harga minyak goreng dimulai pada November 2021, di mana pemerintah mendapat kepastian dari pelaku industri untuk menggelontorkan 11 juta liter minyak goreng Rp14.000 per liter ke ritel modern. Namun, kebijakan itu tak berjalan sesuai keinginan pemerintah, di mana harga minyak goreng masih tembus di atas Rp20.000 per liter.

Kemudian, pemerintah mengeluarkan jurus lain, yakni memberikan menggelontorkan subsidi minyak goreng Rp3,6 triliun dari dana pungutan ekspor kelapa sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp3,6 triliun.

Tak berselang lama, pemerintah merombak kebijakan subsidi itu, menjadi kebijakan satu harga minyak goreng kemasan Rp14.000 per liter. Sepekan berjalan, kebijakan itu ternyata lagi-lagi tak terealisasi sesuai harapan pemerintah. Akhirnya, pemerintah menetapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), dan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Lebih rinci, HET minyak goreng saat ini Rp11.500 per liter untuk kemasan curah, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp14.000 per liter untuk kemasan premium.

Baca Juga: Pak Mendag, Harga Minyak Goreng Curah Masih Rp20 Ribu per Liter Nih!

3. Produsen tak boleh ekspor CPO jika tak pasok minyak goreng ke dalam negeri

Kapal kargo memuat bungkil inti sawit (palm kernel) di Dermaga C Pelabuhan PT Pelindo I Dumai di Dumai, Riau, Selasa (10/3/2020). Kegiatan ekspor CPO dan turunannya di seluruh pelabuhan yang ada di Kota Dumai tercatat pada Januari-Februari 2020 sebanyak 2,36 juta ton atau mengalami penurunan sekitar 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 2,80 juta ton akibat pengaruh kewaspadaan COVID-19 pada perdagangan internasional dan berkurangnya produksi di perkebunan akibat perubahan cuaca ekstrem (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid)

Seperti yang disebutkan di atas, pemerintah menerbitkan kebijakan DMO dan DPO untuk memastikan ketersediaan minyak goreng dalam negeri, dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Kebijakan itu berlaku sejak Kamis, (27/1/2022) lalu, ditujukan kepada produsen CPO dan RBD Palm Olein. Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi mengatakan produsen yang akan mengeskpor wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga sesuai dalam kebijakan DPO.

Adapun kebijakan DPO yakni Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300/kg.

“Eksportir harus mengalokasikan 20 persen dari volume ekspor CPO dan RBD Palm Olein dengan harga DPO kepada produsen minyak goreng untuk mencapai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan,” kata Lutfi.

Bagi eksportir yang tidak mematuhi kebijakan tersebut, maka tak bisa melanjutkan kegiatan ekspornya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana, memastikan kebijakan DMO tak mengganggu ekspor CPO. Sebab, kebutuhan minyak goreng nasional di 2022 sudah diperkirakan, yakni 5,7 juta kilo liter (kl).

Lebih rinci, dari kebutuhan tersebut, untuk rumah tangga sebesar 3,9 juta kl, di antaranya 1,2 juta kl untuk kemasan premium, 231 ribu kl kemasan sederhana, dan 2,4 juta kl untuk kemasan curah. Lalu, kebutuhan industri diperkirakan sebesar 1,8 juta kl.

"Jadi 5,7 juta kl itu sudah ada, cuma karena harga kan semakin meningkat. Dengan adanya DMO kita pastikan itu tidak akan keluar," ucap Wisnu.

4. YLKI sebut pemerintah tak konsisten dalam menetapkan kebijakan minyak goreng

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)

Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai bongkar-pasang kebijakan minyak goreng tersebut menunjukkan pemerintah 'coba-coba', alias tidak memiliki konsep jelas untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat.

Dia menegaskan, pada intinya masyarakat hanya membutuhkan ketersediaan minyak goreng, dan juga harga yang terjangkau.

"Ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai konsep yang jelas untuk mengatasi melonjaknya harga minyak goreng, dan juga mengatasi kelangkaan minyak goreng di akhir-akhir ini," kata Tulus dalam wawancara Top News IDN Times yang ditayangkan Rabu, (2/2/2022).

Tak hanya itu, dia meminta pemerintah menyoroti penyelidikan yang tengah dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait indikasi kartel minyak goreng. Dia meminta Kemendag turut berpartisipasi dalam upaya pengungkapan kartel tersebut. Sebab, menurutnya hal tersebut bisa memperbaiki struktur industri minyak goreng dari hulu sampai hilir, dan pada akhirnya bermanfaat untuk masyarakat.

"Seharusnya pemerintah menyisir dari sisi hulu, dan juga hilir," ucap Tulus.

Baca Juga: [WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak Goreng

5. KPPU endus praktik kartel yang bikin harga minyak goreng melonjak

Warga antre saat operasi pasar minyak goreng kemasan murah di Pasar Alang-Alang Lebar Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (12/1/2022). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Seperti yang disinggung oleh Tulus di atas, KPPU saat ini memang tengah melakukan penyelidikan terhadap indikasi kartel minyak goreng yang menyebabkan harga melonjak. Ketua KPPU, Ukay Karyadi mengatakan sinyal indikasi berasal dari kenaikan harga minyak goreng yang dilakukan para produsen besar minyak goreng secara serempak. Kenaikan itu dilakukan untuk memanfaatkan momentum lonjakan harga CPO.

"Harusnya kan ketika PT A menaikkan harga minyak gorengnya, ada peluang PT B untuk mengambil alih pasar PT A. Ini dilakukam secara kompak, kenaikan bersama-sama," tutur Ukay dalam webinar INDEF, Kamis (3/2/2022).

KPPU mencatat, dari 74 perusahaan yang bergerak di industri minyak nabati, ada 4 pemain besar di industri minyak goreng. Keempat produsen itu menguasai sekitar 46,5 persen pasar minyak goreng di Indonesia.

Ukay mengatakan, para produsen terintegrasi secara vertikal dengan hilir, yakni kebun sawit. Mereka memproduksi minyak goreng dari kelapa sawit yang dimiliki kelompoknya. Dengan demikian, mereka juga turut mengekspor CPO dengan harga yang menggiurkan. Oleh sebab itu, para produsen juga menaikkan harga produk minyak gorengnya di pasar domestik.

"Kan mereka yang secara vertikal, mendapat pasokan dari kebunnya sendiri. Di hulu mereka menguasai, di hilir mereka menguasai. Mereka tetap mengacu pada harga internasional. Karena mereka yakin kalau harga minyak goreng dinaikkan, mereka akan tetap laku di pasaran, karena berapa pun harga (minyak goreng) yang ditawarkan, akan dibeli masyarakat," ucap dia.

Untuk menangani praktik oligopoli tersebut, menurut Ukay, struktur industri minyak goreng perlu diperbaiki. Dia menilai para produsen sudah terlalu lama meraup keuntungan yang fantastis.

Baca Juga: Drama Minyak Goreng: Kosong di Ritel, Mahal di Pasar

6. Pemerintah sebut KPPU 'terlambat' selidiki praktik oligopoli industri CPO

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan. (dok. Tangkapan Layar)

Merespons penyelidikan KPPU, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan praktik oligopoli dalam industri CPO sudah terjadi sejak lama.

Menurut Oke, jika KPPU mengendus adanya persaingan usaha yang tidak sehat dalam industri minyak kelapa sawit, khususnya minyak goreng, seharusnya dilakukan sejak dulu. Bukan hanya saat terjadi lonjakan harga, seperti yang dilakukan saat ini. Dia pun menilai usulan KPPU terkait perbaikan struktur industri minyak kelapa sawit tidaklah tepat.

"Seolah-olah industri hulu sampai hilir salah. Padahal turunan industri sawit itu tidak hanya minyak goreng. Minyak goreng itu sebagian kecil dari hilirisasi persawitan. Ada 120 lebih produk lain. Kenapa minyak goreng? Karena harga tinggi, sistem hulu sampai hilir harus diperbaiki semua?" ucap Oke.

"Dan kenapa iklim perdagangan sawit yang sudah berjalan lebih dari 100 tahun, kok baru dideteksi sekarang ada iklim usaha tidak sehat? Oligopoli, oligopoli sudah terjadi sejak lama. Bahkan KPPU belum terbentuk pun, sawit ini sudah jalan," sambung dia.

Dia mengatakan saat ini fokus pemerintah adalah melepaskan ketergantungan harga minyak goreng dari pergerakan harga CPO internasional. Meski begitu, Oke mengatakan Kemendag akan tetap mendukung penyelidikan apabila benar ada persaingan usaha yang tidak sehat.

"Kalau iklim perdagangan tidak sehat, saya tidak setuju. Harus sehat. Tetapi kok melihatnya minyak goreng naik seolah-olah gara-gara itu? Saya belum melihat. Tapi bukan porsi saya. Silakan kalau memang KPPU menyatakan ini ada persaingan tidak sehat, saya mendukung untuk dibuktikan," ucap Oke.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya