TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sederet Malaadministrasi yang Bikin RI Sempat Krisis Minyak Goreng

Ada PR buat pemerintah perbaiki temuan maladministrasi

Ombudsman Rilis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tentang Maladministrasi dalam Penyediaan dan Stabilisasi Harga Minyak Goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Jakarta, IDN Times - Ombudsman RI menemukan sejumlah maladministrasi di tubuh pemerintah yang menyebabkan krisis kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng yang sempat terjadi di Tanah Air.

Adapun hasil investigasi disampaikan dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tentang Maladministrasi dalam Penyediaan dan Stabilisasi Harga Minyak Goreng.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyontohkan, ada sejumlah kebijakan terkait minyak goreng yang dikeluarkan tanpa kajian mendalam.

"Satu dari tidak prudent-nya dalam mengeluarkan kebijakan. Kebijakan itu intinya tidak didahului ataupun disertai dengan kajian yang komprehensif. Tidak disertai dengan kemampuan untuk memitigasi risiko. Dampaknya bagaimana ke depan. Awal mulanya di sini, kebijakan," kata Yeka di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (13/9/2022).

Baca Juga: 27 Produsen Minyak Goreng Diduga Terlibat Kartel Minyak Goreng

Baca Juga: Puan: Kelangkaan Minyak Goreng Tidak Boleh Terjadi  Lagi di Indonesia

1. Pemerintah tak tugaskan BUMN buat distribusi minyak goreng demi menstabilkan harga

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Kedua, adanya penunjukkan pihak swasta dalam distribusi minyak goreng. Menurut Ombudsman, hal itu salah, dan seharusnya dilakukan oleh BUMN.

"Ini kan pelaku usaha dimasukkan di sana. Nah sebetulnya itu kurang pas, gak boleh. Makanya HET tidak pernah terwujud. Nah siapa yang harus melakukan penugasan itu? Harus instrumen pemerintah. Siapa? Ya BUMN. Gak bisa penugasan itu dilaksanakan oleh swasta," ucap Yeka.

2. Penetapan bea keluar sangat tinggi yang sebabkan hambat ekspor CPO

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Selain itu, Yeka menetapkan pemerintah juga tak tepat dalam menetapkan tarif bea keluar ekspor CPO. Dia mengatakan, bea keluar naik di saat harga CPO mengalami penurunan, yang menyebabkan para pengusaha tak mendapat keuntungan usai nilai ekspornya dipotong bea keluar.

Saat ini, pemerintah menetapkan harga referensi produk CPO untuk penetapan bea keluar periode 1-15 September 2022 adalah 929,66 dolar AS per metrik ton (MT). Kemudian, tarif bea keluar sebesar 74 dolar AS per MT.

"Kami juga melihat dari sisi regulasi, misalnya seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK), terkait dengan bea keluar. Itu juga ada perhitungan yang Ombudsman lihat tidak hati-hati, menjadi disinsentif. Karena pajaknya tinggi, saat harga dunia turun," ucap Yeka.

Hal itu menurutnya menghambat ekspor CPO. Adapun hambatan ekspor CPO akan membuat stok CPO menumpuk, dan tandan buah segar (TBS) dari petani kelapa sawit tak terserap.

Baca Juga: Zulhas: RI Belum Kalah dalam Sengketa Nikel di WTO 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya