TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[WANSUS] Huru-hara Krisis Ekonomi Dunia, Bagaimana Kondisi RI?

Airlangga Hartarto nilai ekonomi RI masih terjaga

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (IDN Times/Fauzan dan Athif Aiman)

Jakarta, IDN Times - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia belum lama ini diramal akan mengerek inflasi cukup signifikan hingga akhir 2022. Hal itu perlu diwaspadai, karena bisa berdampak besar pada masyarakat.

Meski begitu, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan meski harga BBM naik, pemerintah masih menyuntikan subsidi agar harganya bisa lebih terjangkau bagi masyarakat.

Di sisi lain, dia membandingkan harga BBM di Indonesia masih jauh lebih murah dibandingkan negara lain.

"Di Singapura, harga BBM, gasoline itu harganya Rp29 ribu/liter. Kemudian di Jerman juga Rp29 ribu/liter, Thailand Rp17.600/liter, Jepang Rp17 ribu/liter, di China yang negara sosialis Rp19 ribu/liter," kata Airlangga dalam wawancara khusus Ngobrol Seru IDN Times.

Dia menegaskan, dengan subsidi yang masih diberikan pemerintah, maka harga BBM saat ini masih jauh di bawah harga keekonomian.

"Sebenarnya masih jauh dari harga keekonomian," tutur Airlangga.

Adapun persoalan terkait BBM itu, menurutnya membutuhkan solusi yang menyeluruh, dimulai dari pengurangan konsumsi BBM. Salah satu cara mewujudkannnya ialah meningkatkan penggunaan transportasi umum dan kendaraan listrik.

"Untuk Indonesia transisi ke mobil listrik, harus dimulai dengan transportasi publik yang listrik," kata Airlangga.

Dalam Ngobrol Seru IDN Times, Airlangga juga membeberkan upaya yang dilakukan untuk meredam inflasi dari kenaikan harga BBM.

Dia juga sempat berbincang soal posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bagaimana upayanya untuk tetap menyeimbangkan tugas antara dua jabatannya itu. Selengkapnya, berikut wawancara IDN Times dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Baca Juga: Menimbang Urgensi Pembatasan Beli Pertalite

Bagaimana upaya pemerintah meredam inflasi dari dampak kenaikan BBM?

Pertama saya jelaskan dulu bahwa BBM Indonesia masih disubsidi. Jadi walaupun dinaikkan, itu naiknya hanya 30 persen, itu masih jauh dari nilai keekonomian.

Kalau kita lihat negara-negara lain itu meneruskan, mem-passthrough-kan harga BBM ke masyarakat langsung. Juga termasuk beberapa negara Afrika. Jadi tak banyak sebetulnya disubsidi seperti Indonesia.

Di Singapura, harga BBM, gasoline itu harganya Rp29.000 per liter. Kemudian di Jerman juga Rp29.000 per liter. Thailand Rp17.600 per liter, Jepang Rp17.000 per liter, di China yang negara sosialis Rp19.000 per liter. Nah Indonesia itu masih Rp10.000 per liter untuk Pertalite. Nah ini yang menunjukkan sebenarnya masih jauh dari harga keekonomian.

Tentu beban untuk negara itu menjadi tinggi. Ini seolah-olah negara membeli inflasi. Biaya yang dikeluarkan, program reguler itu kan diperhitungkan ekonomi tidak sekencang ini. Jadi di APBN itu kebutuhan untuk BBM biasa, Pertalite itu hanya 23 juta kilo liter. Kita mencapai diperkirakan sampai akhir tahun bisa 29 juta kilo liter. Jadi memang ekonomi bergerak, di mana-mana macet. Macet itu hampir di semua kota besar di Indonesia.

Jadi solusinya apa? Tentu jangka menengahnya public transportation, itu menjadi penting. Tetapi membangun public transportation tidak cepat. Seperti contoh kita mau melanjutkan MRT dari Thamrin sampai ke Utara itu masih memakan waktu semuanya melalui terowongan bawah. Masuk ke Kota Tua, kita harus hati-hati, kalau tidak Kota Tua bisa rubuh. Itu kemudian koridornya bisa semakin sempit, dan turunnya lebih dalam lagi. Nah itu salah satu challenge bahwa infrastruktur itu tidak bisa cepat.

Kita lihat di Pulau Bali juga sudah super macet, karena public transportation belum menjadi pilihan dari para turis juga. Karena memang tidak available juga. Kita lihat jalannya, karena tidak gampang juga, banyak pura. Dan salah satu terobosan jalan tol ke arah barat, dari Denpasar ke Gilimanuk. Ini beberapa terobosan-terobosan yang dibutuhkan, dan mengapa BBM itu diperlukan.

Untuk Indonesia transisi ke mobil listrik, harus dimulai dengan transportasi publik yang listrik. Terus harus dimulai dengan fasilitas. Nah di Indonesia ini fasilitas ada yang dipegang pemerintah, ada yang dipegang pemerintah daerah. Pemerintah pusat sudah kasih semua untuk mobil listrik. Misalnya PPnBM-nya sudah dihilangkan, bea-beanya nol. Tapi daerah ada yang namanya bea balik, nama, STNK, dan lain-lain. Dan 80 persen pendapatan asli daerah (PAD) itu dari otomotif. Sehingga mereka tidak memberikan fasilitas.

Jadi misalnya Indonesia dipertandingkan dengan Thailand, insentif untuk mobil listrik, kita kalahnya di daerah. Secara nasional, semuanya kita bersaing. Tetapi di daerah ada tambahan bea sebesar 12,5 persen. Dan pemerintah daerah tidak mau melepas itu, karena kalau tidak PAD mereka berkurang. Nah ini tantangan di Indonesia.

Yang berikut tentu, yang utama dampak ini di sektor makanan, pangan. Nah pangan ini kita jaga agar inflasinya maksimum 5 persen. Inflasi pangan itu kan bawang, cabai keriting, cabai merah. Karena Indonesia berbeda dengan negara lain, karena cabai itu maunya fresh. Makan tahu kalau gak gigit cabai, gak mantap. Dia gak mau makan cabai kalau pakai cabai paste, saus cabai, harus pakai rawit. Apalagi kalau naik kereta api, gak bisa pakai sedotan. Nah itu yang mengakibatkan kenaikan harga itu sangat berpengaruh pada inflasi.

Tapi kita tahu tidak semua daerah bisa menanam cabai, maksudnya tidak menjadi sentra. Kalau tanam cabai di seluruh Indonesia bisa. Di kebun sendiri masing-masing juga bisa. Nah salah satu gerakan ya mau fresh, menanam sendiri masing-masing, supaya harga tidak terlalu berfluktuasi.

Nah kunci lain adalah beras. Di Indonesia, beras relatif aman. Tiga tahun terakhir kita produksi berasnya 31 juta ton. Dan itu diapresiasi dari International Rice Research Institute (IRRI), bahwa kita sustain di beras. Dan ini harganya relatif juga aman, tidak terjadi fluktuasi. Karena salah satu yang menyebabkan inflasi tinggi di beras.

Kemudian kita lihat juga untuk jagung. Indonesia juga sekarang surplus jagung 4 juta ton. Artinya pemerintah bisa mendorong ketersediaan pangan secara aman. Nah tentu tahun depan kita harus perhatikan cuaca. Cuaca ini kan kita sekarang terbantu oleh hujan terus-menerus. Pertengahan tahun depan diperkirakan akan lebih kering. Oleh karena itu kita harus menumpuk stok untuk menghadapi musim tersebut.

Apakah masyarakat tidak perlu khawatir menjadi failed states seperti yang dihadapi banyak negara dengan kondisi ekonominya?

Liganya sudah beda. Kita lihat negara-negara Afrika atau Asia Selatan itu menjadi failed state, karena mereka tidak punya basis, dan utangnya sudah lebih dari 100 persen. Walaupun utang 100 persen juga dilakukan oleh negara G20 seperti Jepang maupun Amerika. Mereka itu punya utang lebih, karena relatif di masa sebelum COVID-19, inflasi mereka sangat rendah, dan bunganya sangat rendah. Bahkan Jepang negative interest. Jadi meminjam pun bunganya negatif. Jadi pinjam atau gak pinjam, sama saja buat mereka. Tapi kalau kita kan tidak, kita tergantung global.

Saat kita bisa menekan inflasi, suku bunga kita rendah. Tapi sebelum COVID-19 kan semua double digit. Bunga double digit, apa double digit. Jadi justru ini ada kesempatan untuk menekan bunga lebih rendah.

Baca Juga: Saran Menko Airlangga ke Pemuda yang Gemar Investasi Kripto: Hati-hati

KTT Presidensi G20 Indonesia tinggal 1 bulan lagi, 15-16 November. Sejak awal semuanya Indonesia ingin heboh, engagement growth paling banyak. Tapi pada akhirnya rakyat bertanya, konkretnya selama 1 tahun Indonesia menjadi Presidensi G20 ini apa?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam pembukaan B20 Summit hari kedua, Senin (14/11/2022). (dok. YouTube B20 Indonesia 2022)

Ya kalau konkret paling sederhana itu biaya perhelatan yang di-sharing di Indonesia. Konsumsi domestik bertambah Rp1,7 triliun. Kemudian terhadap PDB nasional naik Rp7,4 triliun. Dan pelibatan UMKM, karena kita ada food, beverage, souvenir, itu ada 33 ribu. Jadi kalau dibandingkan World Bank IMF 2018, ini benefitnya 1,5-2 kali.

Kan kalau kita bikin acara sangat grand. Jadi pertama ada tari-tariannya, itu baru yang pertama, itu kan dampak langsung. Kemudian di luar venue biasanya ada small shop, UMKM-UMKM memamerkan produk, dan itu biasanya dibeli oleh mereka.

Kalau kita lihat conference di negara lain kan hanya gedung, pasang backdrop, backdrop-nya pun print. Taruh botol minum, sandwich. Mana ada rangkaian bunga di luar negeri. Sandwich, selesai. Dan itu kalau sudah lebih dari jam 6 sudah gak ada apa-apa, sudah kosong. Minuman pun sudah ditarik. Di situ betapa Indonesia hospitality sangat berbeda dengan yang lain.

Bahkan yang mencetak baliho, yang mencetak banner dapat rezeki juga. Kalau di negara lain, ya hanya ini ada pertemuan, notice board saja. Tidak ada billboard, tidak ada banner, tidak ada baliho. Sehingga seperti kita G20 di Italia, itu di gedungnya, di tempat pertemuan itu. Di luar tempat pertemuan itu ya sepi-sepi saja. Jadi di situ bedanya Indonesia dengan negara lain.

Baca Juga: Presidensi G20, Indonesia Potensi Raup Rp519 Triliun!

Proyek investasi apa yang diperoleh dari Presidensi G20?

Sekali lagi, kita harus meluruskan bahwa pertemuan multilateral ini tidak melulu bicara investasi. Bicaranya kan mengenai value juga, mengenai visi ke depan juga. Bicaranya mengenai visi ke depan, apa yang harus dihadapi the next pandemic. Nah itu salah satu yang kita angkat.

Di sektor kesehatan, kita membentuk semacam fund, financial intermediary fund, itu adalah fund yang dikumpulkan untuk menghadapi the next crisis dan pandemik. Sekarang sekitar 1,5 miliar dolar AS. Dan kemarin di Indonesia sudah diketok, mengusulkan yang memimpin chair-nya adalah Chatib Basri, dari Indonesia.

Kedua, bicara transformasi digital, itu banyak contoh. Salah satu Indonesia itu yang pertama Low Earth orbit satellite. Selanjutnya negara lain saya rasa akan ikut. Sama seperti Indonesia yang di zamannya Pak Harto, the first satellite digunakan. Nah ini juga the first LEO satellite digunakan di dunia. Dan waktu itu Bapak Presiden pergi ke fasilitas satelit ini, bertemu dengan Elon Musk. Dan ini konkret deliverables.

Berikut transisi energi, ada kita mem-facedown power plant. Kemudian diadakan financing, berapa, bagaimana mekanismenya. Itu melibatkan juga philanthropies, melibatkan juga blended finance, melibatkan juga ADB sebagai lead. Nah ini nanti akan direplikasi oleh negara-negara lain. Jadi di pilar-pilar tersebut, Indonesia menjadi lead.

Dan kemarin kita tambahkan satu pilar lagi, yaitu mengenai food security. Kita ingin akan ada mekanisme semacam FAF untuk pangan.

Prioritas ekonomi di tengah dampak konflik geopolitik adalah transisi energi. Jadi konstelasinya Indonesia ikut banyak kegiatan, seperti IPEF, agar Indonesia bisa keluar dari krisis seperti apa?

Bendera negara anggota ASEAN. (IDN Times/Sonya Michaella)

Pertama, yang paling penting Indonesia percaya multilateralisme. Jadi sebagai negara yang akan memimpin ASEAN di tahun 2023. Jadi begitu kita lepas memimpin G20, langsung kita memimpin ASEAN. Nah yang paling penting adalah bagaimana memanfaatkan akses market seluas-luasnya. Nah akses market hanya bisa dicapai kalau kita punya multilateral agreement, atau bilateral agreement dengan sebuah negara dalam bentuk CEPA.

Indonesia memang kemarin agak terlambat dibandingkan dengan Vietnam untuk menangkap kesempatan ini. Vietnam sudah punya CEPA dengan EU, dan dia punya special agreement dengan Amerika. Sehingga produk mereka, produk Indonesia yang sama-sama diproduksi, itu Indonesia kena bea masuk, baik ke Eropa maupun ke Amerika. Contoh sport shoes, itu mereknya sama, mungkin Nike, Adidas, dan lain-lain. Kalau buatan Vietnam zero duty, buatan Indonesia bisa 10-20 persen. Demikian pula apparel, baju, mereknya sama, tapi dibuat di Indonesia, bea masuknya lebih tinggi.

Nah kita terlambat. Ekspor Vietnam ke Amerika, itu bisa tiga kali lebih tinggi dari Indonesia. Demikian pula ke Eropa dan negara lain. Sehingga Pak Jokowi mengakselerasi, salah satu yang diakselerasi adalah RCEP antara ASEAN dan 5 negara lain, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. India tidak ikut, karena India bea masuknya masih tinggi. Sehingga mereka tidak mau bea masuknya turun.

Kemarin dengan IPEF, itu diinisiasi oleh Amerika, tetapi lebih banyak ini beyond trade agreement. Karena dia pertama ada tiangnya trade. Kedua tiangnya supply chain. Ketiga, tiangnya green economy. Keempat adalah tiangnya ekonomi berkeadilan, itu terkait perpajakan, dan antiterorisme, dan pencucian uang. Sehingga ini berbeda dengan trade-trade tradisional. Tapi yang berbeda lagi, India onboard. Jadi kalau kita berada dalam dua, kan kita punya dua platform yang masuk ke China dan India. Nah yang didorong Amerika ini adalah value. Nah value itu indirect ecosystem untuk investasi.

Kita ketahui investasi Amerika ke Singapura itu 300 miliar dolar AS. Yang ke Indonesia, 1/10 nya. Kenapa? Karena platform value-nya dianggap belum sama. Nah ini kan penting. Kalau kita, bahasa jelasnya, kita kan kalau untuk berpartner harus bahasanya sama. Kalau bahasanya gak sama, sulit. Nah dengan Indonesia masuk IPEF, kita sudah berbicara yang sama. Bicara mengenai labour rights, bicara mengenai keuangan berkeadilan, bicara tidak ada pembiayaan untuk terorisme dan lain-lain, sehingga dengan standard itu mereka lebih comfortable.

Posisi Indonesia ada di semuanya, tapi tetap non-blok, jadi tetap netral?

Iya, kita kan posisinya berdasarkan konstitusi, itu kita non-align, tidak memihak satu dan yang lain. Tapi kepentingannya kan netral, kesejahteraan umat, kesejahteraan masyarakat, dan bersama-sama sejahtera.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya