[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi Konsumen

Wawancara dengan Trissia Wijaya dari CIPS

Jakarta, IDN Times - Ekonomi digital disebut-sebut jadi salah satu alasan perekonomian Indonesia tetap stabil selama pandemik. Menurut data terbaru dari pemerintah, ekonomi digital menyumbang 9 persen GDP di tahun 2022.

Meski demikian, sangat banyak persoalan yang menjadi kendala perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Mulai dari tingkat literasi dan perlindungan data pribadi konsumen, hingga persoalan infrastruktur digital yang menjadi backbone dari ekonomi digital.

Seperti apa kondisi permasalahannya saat ini dan apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital? Berikut wawancara IDN Times dengan Trissia Wijaya, Head of Economic Opportunities Research, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

Baca Juga: Perfoma Apik Ekonomi Digital RI Picu Stabilitas Ekonomi Domestik

Apa saja yang menjadi kendala utama para pelaku ekonomi digital, baik penyedia layanan maupun bagi konsumen?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi KonsumenTrissia Wijaya, Head of Economic Opportunities Research, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). (Dok.CIPS)

Isu digital sangat kompleks, mulai dari masalah license untuk para pelaku usaha dan UMKM, perlindungan konsumen, perlindungan data pribadi, serta kurang meratanya akses digital atau digital spatial gap.

Intervensi pemerintah pada UMKM sudah cukup banyak dan hal itu layak diapresiasi. Tetapi intervensi sebaiknya memperhatikan dengan seksama kebutuhan dari UMKM, karena mereka sangat beragam, baik secara unit usaha, karakteristik, modal dan jenis industri. Keragaman tersebut membuat intervensi yang diberikan tidak bisa seragam.

Adanya UU Cipta Kerja diharapkan bisa memberikan kemudahan berusaha dan menjaga iklim investasi kondusif dan hal ini diharapkan berdampak untuk pengusaha, UMKM dan e-commerce. Sosialisasi mengenai UU Cipta Kerja masih perlu terus dilakukan untuk mendukung perkembangan bisnis ekonomi digital.
Isu ini secara rinci akan dijelaskan di pertanyaan berikutnya.

Bagaimana tingkat inklusi dan literasi digital di Indonesia?

Masih ada kesenjangan yang besar antara tingkat inklusi dan literasi digital di Indonesia dan selama kesenjangan ini masih ada dan cukup lebar. Jadi, peluang terjadinya konsumsi produk keuangan yang tidak sesuai kebutuhan akan tetap ada.

Sering kali masyarakat tidak tahu dan tidak menyadari aktivitas mereka di dunia digital seperti browsing, belanja, dan aktivitas di media sosial melibatkan data mereka yang penting. Dan data ini sering kali diolah oleh third party seperti untuk kepentingan iklan, market research, dan sebagainya.

Tidak hanya tidak sadar bahwa data mereka dikelola, namun mereka juga tidak mengetahui pasti mengenai hak-hak mereka, yakni sejauh mana data itu bisa dikelola dan bisa di-request untuk dihapus. Hal yang advance ini belum sampai ke masyarakat dengan baik perihal kurangnya sosialisasi dan perkembangan digital jauh lebih cepat daripada regulasi yang ada.

Berapa persen yang sudah mempunyai kesadaran untuk melindungi data pribadinya dalam bertransaksi secara digital?

Kita di CIPS belum ada angka statistiknya. Tapi yang pasti ini adalah isu yang utama. Kesadaran digital yang berdampak pada tingkat digital literacy.

Sebagai perbandingan, bagaimana tingkat literasi digital dan perlindungan konsumen di negara-negara lain? 

Mayoritas negara-negara di Asia Tenggara telah memiliki Data Protection Law jauh lebih dulu daripada Indonesia yang saat ini masih dalam grace period (2 tahun).

Malaysia dan Singapura, contohnya, mengikuti EU GDPR yang dinilai sebagai regulatory benchmark paling mumpuni dan bertumpu pada consumer-centric. Di Singapura, ada Personal Data Protection Committee (PDPC) yang berfungsi layaknya seperti DPA di Indonesia, yang saat ini belum ada kepastiannya.

Dengan literasi yang rendah itu, sejauh mana konsumen bisa dilindungi undang-undang?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi Konsumenilustrasi undang-undang (unsplash.com/sasun1990)

Di Indonesia, seperti OJK, juga mengeluarkan peraturan yang mengharuskan fintech meminta consent konsumen sebelum melakukan aktivitas yang dimana datanya akan diambil. Consent management ini juga disupervisi oleh OJK.

Tapi kembali lagi, tidak ada standar baku mengenai consent management yang kadang mengacu ke double interpretation. Masyarakat pun cenderung menganggap sepele perihal consent dan ini berisiko pada penyalahgunaan data yang mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih kompleks.

Dan sekarang kita juga sudah ada UU PDP (UU Perlindungan Data Pribadi No 27 Tahun 2022), tapi sejauh mana implementasinya lebih efektif masih menjadi tanda tanya besar.

Apakah UU PDP ini bisa berhasil melindungi konsumen ekonomi digital sepenuhnya? Apa saja celah hukumnya?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi Konsumenilustrasi data pribadi (Pexels.com)

Masih terlalu awal untuk menganalisa apa UU ini sudah berhasil memberikan perlindungan yang maksimal atau belum. Meskipun UU baru ini telah mengidentifikasi beberapa kategori data seperti data pribadi dan data sensitif, UU tersebut masih membutuhkan mekanisme yang lebih jelas baik bagi pelaku bisnis maupun konsumen.

Peraturan turunan harus dapat mengklarifikasi beberapa benchmark dan standard sertifikasi terkait Data Protection Officer and wewenang dari Data Protection Agency. Juga diperlukan adanya kejelasan teknis dari pembagian wewenang antara DPA yang baru dengan agensi di kementerian dan Polri yang telah terbentuk sebelumnya dalam perihal pengajuan complain data violation.

Ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara diproyeksikan tumbuh hingga US$1 triliun, RI bisa ambil berapa besar porsi?

Ada banyak survei oleh management consulting companies dan media yang melakukan ini. Ini masih forecasting dan masing-masing memiliki estimasi tersendiri sedangkan CIPS belum melakukan survei dan measurement sendiri.

Yang jelas, kalau berbagai hal yang menghambat pertumbuhan ekonomi digital dapat dimitigasi dan diatasi, peluang Indonesia untuk berkontribusi lebih besar dalam ekonomi digital kawasan ini berpotensi meningkat. Kita memiliki beberapa keunggulan, misal market size yang besar.

Apa saja pekerjaan rumah bagi pemerintah agar potensi ekonomi digital dapat dicapai maksimal?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi KonsumenUnsplash.com

Tentunya, klarifikasi teknis dari UU PDP yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemerintah perlu memastikan proses pembuatan peraturan turunan dari UU PDP berjalan dengan sebagaimana yang sudah diamanatkan.

Pemerintah juga perlu memperhatikan aksesibilitas digital untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital. Aksesibilitas digital dapat dicapai dengan memastikan kesiapan infrastruktur digital, mulai dari kabel serat optik di darat maupun bawah laut, satelit pusat data, hingga infrastruktur komputasi awan. Aksesibilitas digital diperlukan untuk meniminimalisir kesenjangan digital atau digital divide antardaerah di Indonesia.

Selanjutnya, adalah memastikan konsumen mengetahui, memahami dan mampu mengakses mekanisme perlindungan konsumen. Institusi yang berwenang menangani perlindungan konsumen juga perlu memaksimalkan perannya dan up to date terhadap dinamika ekonomi digital.

Bagaimana Anda menilai infrastruktur ekonomi digital yang dibangun pemerintah sejauh ini?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi KonsumenTelkomsel memperkuat kolaborasi bersama BAKTI Kominfo menggelar infrastruktur BTS Universal Service Obligation (USO) 4G/LTE di 7.772 titik desa wilayah 3T. (IDN Times/Istimewa).

Kecepatan internet yang lambat dan penetrasi broadband tetap yang rendah menjadi hambatan utama. Tidak semua feature internet dapat diakses melalui jaringan 3G saja, seperti OVO atau Gopay. Selain itu, penetrasi fixed broadband hanya menjangkau 15 persen rumah tangga di Tanah Air.

Sementara masih ada 13 provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi, yang hampir tidak ada fixed broadband atau internet. Keterjangkauan dan ketersediaan infrastruktur digital menjadi tantangan Indonesia di era digital supaya berbagai kesempatan ekonomi yang ditawarkan di fitur digital tidak hanya terbatas pada Jawa Sumatera Bali saja.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah agar infrastruktur digital siap, terutama tentang pemerataan akses internet?

[WANSUS] Ekonomi Digital dan Setumpuk Persoalannya bagi KonsumenIlustrasi seseorang akses internet. (Pixabay.com/fancycrave1)

Sebelumnya, Kominfo melalui BAKTI telah meluncurkan berbagai program akselerasi infrastruktur terutama di daerah 3T. Namun, ini saja tidak cukup. Berbicara digital infrastruktur itu luas, tidak hanya sebagai kabel tower, tapi juga kabel jaringan bawah laut, pemasangan fiber optic, dan sebagainya.

Peraturan dan kebijakan industri serta insentif yang tidak jelas, hambatan di level lokal seperti intervensi pemerintah daerah dan kepentingan sektoral, serta vandalisme cenderung menghalangi sektor swasta untuk berinvestasi. Perlu lebih klarifikasi peraturan yang lebih coherent dan intervensi pemerintah pusat yang berbasis solusi dalam hal ini.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya