APINDO Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital Tanpa Bebani Pelaku Usaha

Jakarta, IDN Times - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menjadi delegasi tripartit Indonesia dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke-113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss. APINDO menegaskan pentingnya kebijakan global yang adaptif, realistis, dan mendukung ekosistem ekonomi digital.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, menyampaikan kondisi global saat ini masih mengalami tantangan besar, mulai dari ketidakpastian perdagangan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri. Hal ini berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja.
Meski demikian, dia merasa, ekonomi Indonesia tetap tangguh dengan pertumbuhan 4,87 persen pada kuartal pertama 2025. Namun, tantangan dalam sektor ketenagakerjaan masih besar, karena pengangguran mencapai 7,47 juta, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
"Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadikan perluasan lapangan kerja sebagai prioritas, dengan menargetkan pertumbuhan delapan persen dan penciptaan 19 juta pekerjaan," kata Bob Azam dalam keterangan resmi, Senin (30/6/2025).
1. Dunia usaha berharap ILO hasilkan instrumen yang lindungi tenaga kerja

Dunia usaha dan pekerja, dijelaskan Bob, perlu dilibatkan sebagai mitra strategis untuk memastikan akses kerja, termasuk terhadap adanya potensi pertumbuhan ekonomi digital yang diproyeksikan tumbuh dari 82 miliar dolar Amerika Serikat pada 2023 menjadi 360 miliar dolar Amerika Serikat pada 2030. Adapun, Indonesia menyumbang sepertiga dari total ekonomi digital ASEAN.
Oleh sebab itu, pekerjaan yang layak dalam platform harus dirancang secara hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi. Bob mengatakan, terdapat dua elemen penting penciptaan lapangan kerja di era digital.
"Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvensional," ujar dia.
2. Ekonomi berbasis platform jadi tema pembahasan ILC ke-113

Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan perdananya mengenai "Pekerjaan Layak di Ekonomi Berbasis Platform".
Seluruh pihak tripartit yang hadir dalam konvensi itu sepakat terhadap pentingnya perlindungan menyeluruh, baik bagi pekerja maupun keberlanjutan ekosistem platform, termasuk UMKM. Karena itu, disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara.
Komite memerlukan dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan digunakan. Mayoritas negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika, mendukung konvensi yang mengikat karena menyesuaikan dengan sistem ketenagakerjaan di negaranya.
Sedangkan, negara dengan populasi pekerja platform terbesar di dunia seperti China, AS, India, Swiss, dan Jepang, mendorong adanya rekomendasi yang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional.
Sebab, mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital.
Selama dua pekan pembahasan itu, disepakati definisi pekerja platform mencakup penyedia layanan, baik sebagai pekerja dalam hubungan, mereka yang berusaha sendiri, maupun kategori khusus lainnya, tergantung konteks nasional negara masing-masing.
Artinya, tidak ada asumsi otomatis semua pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja. Instrumen yang dirumuskan juga wajib menghormati sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum bisnis di masing-masing negara.
Ruang lingkup platform yang dibahas juga luas tidak hanya yang berbasis lokasi seperti transportasi dan pengantaran, tetapi juga platform digital berbasis online seperti telehealth, pariwisata digital, edutech, freelancer, hingga pekerjaan kreatif.
3. APINDO mendukung ekonomi digital

Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat, Ewa Staworzynska, menekankan poin utama dalam draf instrumen untuk pembahasan yang akan datang.
Pertama, regulasi harus menghormati perbedaan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan tidak menyamaratakan hak serta kewajiban pekerja dalam hubungan kerja dengan mereka yang berusaha sendiri.
Kedua, ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perlu disesuaikan dengan kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja yang bekerja dalam berbagai platform secara bersamaan.
Ketiga, seluruh pekerja harus dijamin akses terhadap jaminan sosial melalui skema yang sesuai dengan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan konteks nasional.
Keempat, regulasi harus dapat mendorong pertumbuhan ekosistem platform, termasuk UMKM dan wirausaha, tanpa membatasi inovasi secara berlebihan, misalnya lewat pengawasan terhadap penerapan algoritma platform yang terlalu ketat.
"Diskusi tahun pertama ini membuktikan pentingnya dialog sosial. ILO harus tetap menjadi lembaga rujukan, bukan ruang legislasi yang memaksakan agenda nasional atau regional," kata dia dalam konvensi tersebut.
APINDO mendukung penuh prinsip-prinsip tersebut, dan berkomitmen memperjuangkan instrumen global yang adaptif, inklusif, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi digital, tanpa membebani pelaku usaha.