Apindo: Iuran untuk Tapera Harusnya Sukarela Saja

- Pengusaha menolak iuran wajib Tapera bagi pekerja dan pemberi kerja
- Shinta Kamdani mengusulkan memanfaatkan jaminan sosial yang sudah ada dalam BPJS Ketenagakerjaan
- Usulan pengusaha untuk memperluas pemanfaatan dana JHT untuk program MLT perumahan pekerja
Jakarta, IDN Times - Pengusaha menolak adanya iuran wajib yang dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja untuk Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, mengemukakan seharusnya iuran Tapera tidak diwajibkan bagi pekerja dan pemberi kerja.
Hal itu disampaikan Shinta dalam konferensi pers yang digelar Apindo bersama dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
"Prinsipnya kami bukan against Tapera, tapi dari sisi iuran yang harus dibayarkan. Kalau mau pakai konsep ini, namanya tabungan ya sukarela aja, jadi gak mengharuskan. Yang kedua saya rasa kalo ASN, TNI, Polri kalau mau menjalankan ya silakan, mungkin ini bermanfaat, tapi kalau dari pihak swasta, kami menilai bahwa perlu ada pertimbangan dari pemerintah untuk menilik kembali PP dan UU (Tapera)," tutur Shinta.
1. Usulan dari pengusaha

Alih-alih mencari iuran tambahan dari Tapera, Shinta mengusulkan pemerintah untuk memanfaatkan jaminan sosial yang sudah ada saat ini. Jaminan sosial tersebut adalah Manfaat Layanan Tambahan (MLT) yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Untuk diketahui, di dalam BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua (JHT) terdapat MLT yang bisa dimanfaatkan dananya untuk perumahan pekerja.
"Ini sudah jalan programnya dan jumlahnya juga sudah besar, sudah hampir Rp136 triliun ya dari total 30 persen dari total JHT. Jadi menurut kami ini buat apa ada iuran tambahan lagi kalau ini sudah ada programnya yang bisa dioptimalkan. Justru kita mau memperluas pemanfaatan daripada MLT ini supaya lebih banyak pekerja yang bisa memanfaatkan ini," papar Shinta.
Usulan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Dalam PP tersebut, maksimal 30 persen (Rp138 triliun), maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja.
Adapun dana dari JHT untuk program MLT itu bisa disalurkan menjadi empat manfaat, yakni:
- Pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta
- Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta
- Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta
- Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK)
2. Pemerintah tidak mau dengar usulan pengusaha

Shinta menambahkan, usulan tersebut pada dasarnya sudah dikemukakan oleh pengusaha. Namun, sampai saat ini pemerintah tetap bergeming dengan keputusannya dengan mengeluarkan kebijakan terkait iuran Tapera.
Kendati begitu, Shinta menegaskan para pengusaha yang tergabung di Apindo akan terus menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap iuran Tapera tersebut.
"Sebelumnya sebenarnya sudah, tapi mungkin pemerintah tidak mendengar apa yang sudah kami sampaikan, tapi kami tidak give up. Jadi kita akan terus nanti mau menyampaikan juga, mungkin masukan-masukan, tambahan, dan apa solusi untuk penyelesaian masalah ini," ujar dia.
3. Iuran Tapera hanya menambah beban pengusaha

Shinta pun mengatakan, iuran Tapera hanya menambah beban baru bagi pegawai dan pengusaha. Sebab, beban pungutan yang telah ditanggung perusahaan sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja.
“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," kata Shinta.
Apindo pun menjabarkan beban iuran yang harus ditanggung pengusaha setiap bulannya, sebagai berikut:
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU Nomor 3/1999)
- Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7 persen
- Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,3 persen
- Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,24-1,74 persen
- Jaminan Pensiun (JP) sebesar 2 persen
Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU Nomor 40/2004)
- Jaminan Kesehatan sebesar 4 persen
Cadangan Pesangon (berdasarkan UU Nomor 13/2003)
- Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.