Apindo Pertimbangkan Judicial Review UU Tapera ke MK

- Apindo menolak kewajiban iuran Tapera sebesar 0,5 persen bagi pengusaha, dan mempertimbangkan judicial review ke MK jika tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Shinta Kamdani membantah penolakan Apindo terhadap Tapera secara keseluruhan, namun menegaskan iuran Tapera seharusnya tidak diwajibkan bagi pekerja dan pemberi kerja. Dia mengusulkan pemanfaatan jaminan sosial yang sudah ada saat ini, seperti Manfaat Layanan Tambahan (MLT) di BPJS Ketenagakerjaan, sebagai alternatif untuk program perumahan pekerja.
Jakarta, IDN Times - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mempertimbangkan pengajuan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), terkait Undang Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani, menjelaskan judicial review akan dilakukan jika benar-benar suara pengusaha tidak mendapatkan tanggapan pemerintah. Apindo menyuarakan penolakan terhadap kewajiban iuran Tapera sebesar 0,5 persen yang dibebankan kepada pengusaha.
"Kalau memang benar-benar kita gak ada kesepakatan sama pemerintah, pada akhirnya kan harus judicial review, kita upayakan dulu. Perlu klarifikasi lebih jauh, kenapa sikap kita begini, kita perlu ada public private consultation, ini penting antara pemerintah dan pemangku kepentingan," tutur Shinta kepada awak media, di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
"Makanya kami tunggu itu terjadi dulu, sebelum kita mungkin nantinya akan mengambil sikap, kalau nantinya tidak ada tanggapan sama sekali dari pemerintah, ya mau bagaimana lagi," sambungnya.
1. Tapera harusnya sukarela, bukan kewajiban

Sejalan dengan itu, Shinta membantah Apindo menolak Tapera secara keseluruhan, baik dari Peraturan Pemerintah (PP) maupun undang-undang. Dia menegaskan seharusnya iuran Tapera tidak diwajibkan bagi pekerja dan pemberi kerja.
"Prinsipnya kami bukan against Tapera, tapi dari sisi iuran yang harus dibayarkan. Kalau mau pakai konsep ini, namanya tabungan ya sukarela aja, jadi gak mengharuskan. Yang kedua saya rasa kalau ASN, TNI, Polri kalau mau menjalankan ya silakan. Mungkin ini bermanfaat, tapi kalau dari pihak swasta, kami menilai bahwa perlu ada pertimbangan dari pemerintah untuk menilik kembali PP dan undang-undang (Tapera)," kata dia.
2. Usulan dari pengusaha

Alih-alih mencari iuran tambahan dari Tapera, Shinta mengusulkan, pemerintah memanfaatkan jaminan sosial yang sudah ada saat ini. Jaminan sosial tersebut adalah Manfaat Layanan Tambahan (MLT) yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Diketahui, dalam BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua (JHT) terdapat MLT yang bisa dimanfaatkan dananya untuk perumahan pekerja.
"Ini sudah jalan programnya dan jumlahnya juga sudah besar, sudah hampir Rp136 triliun ya dari total 30 persen dari total JHT. Jadi menurut kami ini buat apa ada iuran tambahan lagi, kalau ini sudah ada programnya yang bisa dioptimalkan. Justru kita mau memperluas pemanfaatan daripada MLT ini supaya lebih banyak pekerja yang bisa memanfaatkan ini," kata Shinta.
Usulan itu, menurut Shinta, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Dalam PP tersebut, maksimal 30 persen (Rp138 triliun), maka aset JHT Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja.
Adapun dana dari JHT untuk program MLT itu bisa disalurkan menjadi empat manfaat, yakni:
- Pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta
- Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp150 juta
- Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta
- Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK).
3. Iuran Tapera hanya menambah beban pengusaha

Shinta pun menegaskan, iuran Tapera hanya menambah beban baru bagi pegawai dan pengusaha. Sebab, menurut dia, beban pungutan yang telah ditanggung perusahaan sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja.
“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah, dan melemahnya permintaan pasar," kata dia.
Apindo pun menjabarkan beban iuran yang harus ditanggung pengusaha setiap bulannya, sebagai berikut:
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU Nomor 3/1999)
- Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7 persen
- Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,3 persen
- Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,24-1,74 persen
- Jaminan Pensiun (JP) sebesar 2 persen.
Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU Nomor 40/2004)
- Jaminan Kesehatan sebesar 4 persen.
Cadangan Pesangon (berdasarkan UU Nomor 13/2003)
- Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen.