Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret IRRESSRAMADHAN di Gandaria City Mall. 20 Maret 2025. (IDN Times/M. Tarmizi Murdianto)
Potret IRRESSRAMADHAN di Gandaria City Mall. 20 Maret 2025. (IDN Times/M. Tarmizi Murdianto)

Intinya sih...

  • Fenomena rojali tidak hanya terjadi pada kelompok rentan dan miskin. Kelompok kelas atas juga menahan konsumsi, menurut data Susenas Maret 2025.

  • Fenomena rojali harusnya menjadi kesempatan pemerintah untuk mendesain ulang kebijakan, demi ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga.

  • Jumlah fenomena rojali terus meningkat dari waktu ke waktu, karena melemahnya daya beli, menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam berbelanja.

Jakarta, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut penurunan angka kemiskinan pada Maret 2025 tidak bisa dikaitkan dengan munculnya fenomena rojali alias rombongan jarang beli, yang belakangan melekat pada banyak warga Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkapkan pada dasarnya masyarakat yang masuk kategori rojali memang terdampak dari sisi daya beli, tetapi belum tentu miskin.

"Fenomena rojali belum tentu, ya teman-teman, mencerminkan kemiskinan,” jelasnya dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).

1. Fenomena rojali tidak hanya terjadi pada kelompok rentan dan miskin

ilustrasi perempuan belanja bahan makanan (pexels.com/Gustavo Fring)

Ateng mengungkapkan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, kelompok masyarakat kelas atas cenderung menahan konsumsi.

Dengan demikian, fenomena rojali tidak hanya terjadi pada kelompok rentan dan miskin, tetapi juga mulai menyasar masyarakat kelas atas.

“Berdasarkan data Susenas 2025, kelompok atas memang cenderung menahan konsumsinya. Ini yang kami amati dari Susenas,” ujar Ateng.

2. Fenomena rojali jadi kesempatan pemerintah desain ulang kebijakan untuk dorong ketahanan konsumsi

ilustrasi wanita belanja di mall (freepik.com/freepik)

Fenomena rojali dinilai penting bagi pemerintah untuk mendesain ulang arah kebijakan yang tidak hanya fokus pada penurunan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga, khususnya pada kelompok kelas menengah bawah.

"Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada penurunan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga di kelas menengah bawah," kata Ateng.

3. Jumlah fenomena rojali terus mengalami kenaikan

Potret IRRESSRAMADHAN di Gandaria City Mall. 20 Maret 2025. (IDN Times/M. Tarmizi Murdianto)

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengatakan fenomena rojali sudah lama terjadi di Indonesia. Namun, jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Menurut Alphonzus, ada beberapa faktor yang menyebabkan tren rojali semakin marak, salah satunya adalah melemahnya daya beli masyarakat.

“Penyebabnya beragam. Untuk kalangan menengah ke atas, mereka menjadi lebih hati-hati dalam berbelanja, apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi atau mikroekonomi global. Itu bisa memengaruhi keputusan mereka untuk belanja atau berinvestasi,” ujar dia.

Sementara dari sisi kelas menengah ke bawah, menurut Alphonzus, fenomena rojali lebih disebabkan menurunnya daya beli, sehingga masyarakat cenderung memilih produk dengan harga satuan yang lebih murah.

Meskipun jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap meningkat, kata Alphonzus, pertumbuhannya tidak signifikan. Yang mengalami perubahan justru adalah pola belanjanya.

“Pola belanjanya bergeser. Konsumen sekarang jadi lebih selektif. Kalau barangnya tidak perlu, ya tidak dibeli. Kalau pun belanja, mereka memilih produk dengan harga satuan yang lebih murah. Jadi ini fenomena yang memang sedang terjadi,” tutur Alphonzus.

Editorial Team