Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Buruh Beberkan Tiga Alasan Tolak Kenaikan UMP Jakarta 2026
Presiden KSPI Said Iqbal (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Intinya sih...

  • Biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dari Bekasi dan Karawang

  • UMP DKI Jakarta 2026 di bawah KHL versi BPS sekitar Rp160 ribu

  • Insentif tidak relevan sebagai dasar penetapan upah minimum

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan sejumlah faktor yang melatarbelakangi penolakan terhadap besaran kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2026. Penolakan tersebut disampaikan bersamaan dengan rencana aksi demonstrasi buruh selama dua hari berturut-turut pada 29 dan 30 Desember 2025 di Istana Negara, Jakarta.

KSPI bersama Partai Buruh menyampaikan aksi tersebut akan membawa tuntutan penolakan nilai kenaikan UMP DKI Jakarta 2026, permintaan pemberlakuan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) DKI Jakarta 2026 di atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan, penolakan tersebut didasarkan pada sejumlah pertimbangan yang dinilai merugikan buruh.

1. Biaya hidup Jakarta disebut tak sebanding dengan upah

Ilustrasi Jakarta, Bundaran HI (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

KSPI menilai tidak masuk akal jika biaya hidup di Jakarta dianggap lebih rendah dibandingkan Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Karawang. Penilaian itu merujuk pada penetapan UMP Jakarta 2026 sebesar Rp5,73 juta per bulan, yang justru lebih rendah dibandingkan upah minimum di Bekasi dan Karawang yang ditetapkan sekitar Rp5,95 juta per bulan.

Menurut Iqbal, kondisi tersebut memunculkan ketimpangan ketika perusahaan-perusahaan besar di Jakarta, seperti perbankan di kawasan Sudirman serta Kuningan, memiliki standar upah lebih rendah dibandingkan buruh pabrik panci di Karawang.

“Upah buruh di pabrik panci lebih tinggi dibandingkan upah di bank-bank internasional, bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), dan perusahaan-perusahaan raksasa asing yang berkantor di Jakarta. Jelas hal ini tidak masuk akal,” ujarnya.

Dia juga menyampaikan, kebijakan tersebut menekan daya beli buruh Jakarta, mengingat biaya sewa rumah dan kebutuhan hidup di kawasan seperti Sunter, Pulogadung, Daan Mogot, hingga Sudirman dan Kuningan dinilai tidak dapat disamakan dengan wilayah Bekasi seperti Cibarusah atau Babelan.

2. UMP disebut di bawah KHL versi BPS

ilustrasi pegawai (Unsplash/LYCS Architecture)

KSPI juga menyoroti perbandingan UMP Jakarta dengan hasil Survei Kebutuhan Hidup Layak yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS, KHL bagi pekerja yang bekerja dan tinggal di Jakarta tercatat sebesar Rp5,89 juta per bulan.

Dengan demikian, terdapat selisih sekitar Rp160 ribu antara KHL dan UMP yang ditetapkan. KSPI juga merujuk pada Survei Biaya Hidup BPS yang mencatat biaya hidup di Jakarta mencapai sekitar Rp15 juta per bulan.

“Jika kita menggunakan acuan KHL sebesar Rp5,89 juta saja, maka penetapan UMP Jakarta sebesar Rp5,73 juta masih kurang Rp160 ribu. Bahkan kebutuhan minimum tersebut pun tidak mampu dipenuhi oleh Gubernur DKI Jakarta,” kata Iqbal.

3. Insentif disebut tak bisa dijadikan dasar upah

ilustrasi upah minimum (pexels.com/Defrino Maasy)

KSPI menilai, kebijakan insentif di bidang transportasi, pangan, dan air bersih yang dijadikan dasar penetapan upah minimum tidak memiliki keterkaitan langsung dengan komponen upah. Insentif tersebut dinilai bersifat umum, tidak khusus bagi buruh, serta telah diberlakukan sejak sekitar lima tahun lalu pada masa kepemimpinan Anies Baswedan, sehingga dianggap tidak relevan dijadikan pertimbangan dalam penetapan UMP DKI Jakarta 2026.

KSPI menuturkan, hasil penelusuran di sejumlah perusahaan di Jakarta, termasuk di kawasan Cilincing dan Pulogadung, yang menunjukkan sebagian besar buruh tidak menerima insentif tersebut. Dari sekitar 300 pekerja, hanya sekitar 15 orang yang disebut menerima manfaat insentif transportasi, pangan, maupun air bersih.

“Artinya, hanya sekitar 5 persen buruh yang menerima insentif tersebut, sementara upah minimum berlaku bagi seluruh pekerja. Ini jelas tidak masuk akal,” ucap Said Iqbal.

Kondisi tersebut dinilai tidak sejalan dengan penerapan upah minimum yang berlaku bagi seluruh pekerja. Atas dasar itu, KSPI meminta Gubernur Jakarta merevisi UMP Jakarta 2026 menjadi setara dengan Kebutuhan Hidup Layak sebesar Rp5,89 juta per bulan.

KSPI juga menuntut penetapan UMSP Jakarta 2026 sebesar 2 hingga 5 persen di atas KHL, disesuaikan dengan karakteristik masing-masing sektor industri.

Editorial Team