Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Para mantan buruh Sritex bersama SPSI Jateng demo menuntut kejelasan pesangon pasca di-PHK massal. (IDN Times/bt)
Intinya sih...
  • Data korban PHK di Indonesia: BPS melaporkan 7,46 juta pengangguran pada Agustus 2025, dengan sekitar 0,77 persen merupakan korban PHK. Kemnaker merilis data terbaru jumlah PHK di Indonesia mencapai 79.302 pekerja.
  • Daftar provinsi dengan jumlah PHK terbanyak: Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka PHK terbanyak, menyumbang 21,73 persen dari total tenaga kerja ter-PHK.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemutusan hubungan kerja (PHK) masif terjadi. Satu per satu perusahaan mengumumkan PHK sejak awal 2025, melanjutkan tren yang sudah terjadi pada tahun sebelumnya. Angkanya kian bertambah menuju pengujung 2025.

Sektor manufaktur yang selama ini menjadi motor utama penyerapan tenaga kerja sudah mulai goyah. Mereka terpaksa memilih jalan pintas memangkas pekerja demi bisa bertahan di tengah melemahnya permintaan, meningkatnya biaya produksi hingga makin ketatnya kompetisi.

Tak cuma manufaktur, gelombang PHK ikut menyapu sektor industri lain, tak hanya di satu wilayah tapi di daerah lain di Tanah Air tercinta ini. Nama-nama besar di industri tekstil, retail hingga media masuk dalam daftar perusahaan yang melakukan PHK pada 2025 dengan beragam alasan: efisiensi, pailit, relokasi ke luar negeri hingga penutupan usaha.

Sebut saja beberapa nama, seperti PT Yamaha Music Product Asia dan PT Yamaha Indonesia yang menghentikan produksinya hingga berdampak pada lebih dari 1.000 pekerja; PT Sanken Indonesia yang memilih merelokasi pabriknya ke Jepang karena anjloknya produksi.

PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang dinyatakan pailit dan resmi tutup pada 1 Maret 2025. Perusahaan tekstil yang pernah menjadi jawara di Asia Tenggara ini tak sanggup bertahan akibat menumpuknya utang dan arus kas yang minus setelah 58 tahun berdiri.

Gerai cepat saji KFC Indonesia juga kena gelombang panas PHK. PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) selaku pemegang lisensi waralaba KFC Indonesia menutup 19 gerai dan melakukan PHK sekitar 400 karyawan hingga September 2025, setelah pada tahun sebelumnya memangkas lebih dari 2.000 pekerja sebagai langkah efisiensi akibat kerugian yang diderita perusahaan.

Industri media yang selama ini ikut memberitakan PHK tak luput dari gelombang surut. Beberapa media besar milik MNC Group, Trans Corp, Bakrie Group, Emtek Group, Kompas Gramedia Group hingga media pelat merah milik pemerintah pun masuk daftar.

Efisiensi di industri media yang berujung PHK terjadi seiring dengan kebijakan efisiensi pemerintah dan menurunnya pendapatan imbas adanya pergeseran belanja iklan dari media mainstream ke media sosial.

"Income gak masuk karena agen iklan itu akan mendatangi, mengintip calon pembeli yang banyak. Calon pembeli sebagian banyak sudah diambil alih medsos," kata Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat pada 9 Juli 2025 lalu.

Table of Content

1. Data korban PHK di Indonesia

1. Data korban PHK di Indonesia

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah pengangguran pada Agustus 2025 tercatat sebanyak 7,46 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 0,77 persen merupakan korban PHK.

Sementara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis data terbaru jumlah PHK di Indonesia. Data sementara per November 2025, tercatat 79.302 orang kena PHK sejak awal tahun.

Menurut data periode Januari-November 2025, gelombang PHK tertinggi terjadi pada Februari dengan 18.516 pekerja ter-PHK. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding Januari sebanyak 10.025 orang. Kemudian Maret, tercatat 5.669 terkena PHK, April sebanyak 4.877 orang, Mei 6.988 orang, Juni 7.284 orang. Di Juli ada 6.818 orang, Agustus 6.289 orang, September 5.378 orang, dan November 565 orang ter-PHK.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pekerja yang kena PHK hingga akhir November 2025, lebih dari 78 ribu orang. Data ini mengacu pada klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Selama tahun 2025, hingga 31 November BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) sejumlah lebih dari 78 ribu pekerja ter-PHK, dengan total nominal mencapai Rp873,78 miliar," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam kepada IDN Times.

Dia menjelaskan, jumlah penerima manfaat tersebut meningkat 52 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, jumlah yang ter-PHK tahun ini meningkat dibanding tahun lalu. Sementara dari sisi total nominal manfaat melesat 150 persen.

"Itu karena naiknya nilai manfaat JKP menjadi 60 persen upah selama 6 bulan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025, serta gelombang PHK yang masih bergulir," ujar Bob.

Adapun Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan sebanyak 70 ribu orang per Juni 2025. KSPI belum melakukan update data, namun jumlah tersebut diperkirakan lebih besar hingga tutup tahun.

"Catatannya KSPI sampai Juni saja 70 ribu (ter-PHK). Kalau pemerintah kan sampai (bulan) kemarin, (hampir) 80 ribu (orang kena PHK). Kami belum melakukan pendataan ulang," kata Ketua KSPI, Said Iqbal kepada IDN Times.

Melihat data PHK di atas, ada perbedaan antara Kemnaker, Apindo, dan KSPI. Perbedaan data ini terjadi karena metode pengumpulan data yang digunakan. Kemnaker merujuk pada data dari Dinas ketenagakerjaan (Disnaker) daerah, Apindo dari klaim BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan KSPI dari para pekerja.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani gak ambil pusing terkait perbedaan data tersebut. Terpenting baginya adalah mencari solusi untuk mencegah gelombang PHK yang terus bertambah, dengan menciptakan lapangan kerja baru dan investasi. Menurut hitungan Apindo, Indonesia perlu menciptakan 3-4 juta lapangan kerja baru setiap tahunnya.

"Jadi tidak memadai mungkin dengan jumlah PHK yang terjadi, plus kita perlu menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru di dalam negeri," ucap Shinta pada Mei 2025, dikutip dari ANTARA.

2. Daftar provinsi dengan jumlah PHK terbanyak

10 Provinsi dengan Jumlah PHK Terbanyak periode Januari-November 2025

Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah PHK terbanyak pada 2025

Jawa Barat

17.234 orang

Jawa Tengah

14.005 orang

Banten

9.216 orang

DKI Jakarta

5.710 orang

Jawa Timur

4.886 orang

Kalimantan Timur

3.487 orang

Kepulauan Riau

2.750 orang

Kalimantan Barat

2.262 orang

Kalimantan Selatan

2.027 orang

DI Yogyakarta

1.443 orang

Menilik data Kemnaker, Pulau Jawa mendominasi angka PHK sepanjang tahun ini hingga November 2025. Jawa Barat (Jabar) menjadi provinsi dengan angka PHK terbanyak atau menyumbang 21,73 persen dari total tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan selama 11 bulan 2025.

Berikut daftar 10 provinsi dengan jumlah PHK terbanyak periode Januari-November 2025:

  1. Jawa Barat: 17.234 orang kena PHK
  2. Jawa Tengah: 14.005 orang kena PHK
  3. Banten: 9.216 orang kena PHK
  4. DKI Jakarta: 5.710 orang kena PHK
  5. Jawa Timur: 4.886 orang kena PHK
  6. Kalimantan Timur: 3.487 orang kena PHK
  7. Kepulauan Riau : 2.750 orang kena PHK
  8. Kalimantan Barat: 2.262 orang kena PHK
  9. Kalimantan Selatan: 2.027 orang kena PHK
  10. DI Yogyakarta: 1.443 orang kena PHK

Sementara Apindo mencatat, ada 298,06 ribu tenaga kerja non-aktif akibat PHK. Dari jumlah itu, 53,12 persen berasal dari lima provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Banten.

"Dari lima provinsi terbanyak tersebut, mayoritas pekerja yang terdampak (53,42 persen) berada pada rentang upah Rp2 juta–Rp5 juta, di mana kelompok upah Rp2 juta–Rp3 juta didominasi oleh tenaga kerja dari Jawa Tengah (52,80 persen)," ungkap Bob.

Mengenai tingginya jumlah PHK di wilayah Jawa Barat, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menjelaskan, itu terjadi akibat populasi industri di Jabar lebih banyak dibanding provinsi lain.

"Karena jumlah perusahaannya banyak, otomatis kalau ada PHK angkanya pasti tinggi, beda dengan daerah yang perusahaannya sedikit," kata dia di Bandung, Kamis (27/11).

Pria yang karib disapa KDM ini menuturkan, untuk mengurangi jumlah pengangguran di wilayahnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar mendorong percepatan industri yang bisa membuka lapangan kerja gede-gedean. Dia mengungkapkan, Pemprov Jabar bahkan sudah mendapatkan komitmen dari investor China untuk membangun industri di kawasan Sukra, Indramayu.

Kawasan industri seluas 1.000 hektare (ha) ini diperkirakan akan menyerap lebih dari 20 ribu tenaga kerja. Dengan begitu, dia optimistis, masuknya investasi tersebut akan membantu mengurangi jumlah pengangguran di wilayahnya.

Sambil menunggu realisasi investasi dari China, Pemprov Jabar memberikan kemudahan proses perizinan, dan percepatan pembangunan infrastrktur pendukung industri. Selain itu, pelatihan dan bimbingan teknis kepada calon tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan industri.

3. Industri penyumbang angka PHK terbesar

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Para karyawan PT Sritex terlihat pulang membawa barang mereka. (IDN Times/Larasati Rey)

Kamu penasaran gak sih, sektor industri penyumbang angka PHK terbesar tahun ini? Jawabannya adalah tekstil.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker Indah Anggoro Putri kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa saat menggelar sidang perdana dengan pengusaha di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Kontributor utama (PHK) masih industri tekstil, Pak Menteri Keuangan," kata Indah di Jakarta, Selasa (23/12).

Sebagai catatan, penutupan operasional pabrik tekstil Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah pada awal Maret lalu saja menyumbang 11.025 orang PHK. Belasan ribu korban PHK berasal dari karyawan Sritex Group.

Belum lagi perusahaan tekstil lainnya di sejumlah daerah yang melakukan langkah serupa. Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan, ada lima perusahaan tekstil yang berhenti produksi dan gulung tikar hingga menyebabkan PHK massal sebanyak 3.000 orang pada akhir 2025.

Kelima perusahaan tekstil itu, yakni:

  1. PT. Polychem Indonesia
  2. PT. Polychem Indonesia
  3. PT. Asia Pacific Fibers
  4. PT. Rayon Utama Makmur
  5. PT. Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin)

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi mengatakan, tutupnya lima perusahaan tersebut akibat kerugian serius imbas tidak maksimalnya penjualan di pasar domestik. Selain itu, banjirnya produk impor dengan harga dumping berupa kain dan benang, menyulitkan perusahaan bersaing.

Selain lima pabrik tutup, enam pabrik lainnya berada di ujung tanduk karena hanya mampu beroperasi dengan kapasitas kurang dari 50 persen. Beberapa di antaranya telah menerapkan sistem on-off karena produksi tidak stabil. Farhan memperkirakan, keenam perusahaan tersebut bisa saja tutup pada tahun depan jika pemerintah tidak mampu mengontrol dan memberikan transparansi ke publik mengenai penerima kuota impor paling banyak.

"Jika tidak ada tindakan korektif, enam perusahaan lainnya akan menyusul bangkrut karena tidak bisa menjual produknya di pasar domestik. Anggota kami juga tidak bisa menentukan rencana produksi di tahun depan karena tidak ada transparansi kuota impor yang diberikan pemerintah," tutur dia dalam keterangannya, Minggu (30/11).

4. Apa sih penyebab gelombang PHK di Indonesia?

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (IDN Times/Triyan).

Menurut Menkeu Purbaya, gelombang PHK yang terjadi saat ini merupakan dampak lanjutan dari pelemahan permintaan yang terjadi sejak sekitar sembilan hingga 10 bulan lalu. Hal itu disertai terbatasnya akses modal kerja dunia usaha, sehingga menyebabkan perusahaan sulit berkembang dan berujung pada efisiensi.

"PHK itu terjadi ketika permintaan melemah sekali. Itu terjadi sekitar sembilan sampai 10 bulan lalu," kata dia di Jakarta, Selasa (23/12).

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, kurangnya permintaan akibat dari melemahnya perekonomian. Menurutnya, tren PHK yang terjadi saat ini bervariasi dan tidak terkonsentrasi pada satu sektor lapangan usaha tertentu, melainkan meluas ke berbagai sektor dan industri. Ini mengindikasikan PHK tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor spesifik pada sektor tertentu, tetapi juga faktor di luar dinamika sektoral.

"Salah satu faktor tersebut adalah kondisi perekonomian nasional yang belum sepenuhnya pulih sepanjang tahun 2025," ucapnya kepada IDN Times.

Dia menuturkan, perekonomian Indonesia secara agregat masih mencatat pertumbuhan pada kuartal I (tumbuh 4,87 persen year on year/yoy), II (5,12 persen), dan III (5,04 persen). Namun, pertumbuhan tersebut belum dapat dikatakan merata. Hal itu tercermin dari sejumlah indikator, seperti Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks Ekspektasi Konsumen, yang menunjukkan perbedaan kinerja antarkelompok pendapatan. Di sisi lain, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur pada beberapa periode juga mengalami penurunan, yang mengindikasi perlambatan permintaan dari konsumen.

Kombinasi faktor domestik tersebut kemudian diperparah oleh kondisi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, terutama sebagai dampak dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, sejak kembali menjabat. Yusuf memperkirakan, ketidakpastian ini belum akan mereda dalam waktu dekat, mengingat pola kebijakan yang kerap berubah dan kurang konsisten.

"Kondisi tersebut berpotensi menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi global, baik pada tahun berjalan maupun tahun-tahun mendatang," ujarnya.

Padahal, AS merupakan salah satu pasar utama bagi sejumlah produk unggulan Indonesia, seperti tekstil dan alas kaki. Kedua industri ini memiliki karakteristik padat karya, sehingga sangat sensitif terhadap pelemahan permintaan eksternal.

"Tekanan global yang berpadu dengan tekanan domestik akhirnya berdampak pada kinerja industri tekstil dan alas kaki, yang tercermin dari terjadinya PHK di sektor-sektor tersebut sepanjang tahun ini," tutur Yusuf.

Dia mengingatkan, salah satu tantangan utama perekonomian Indonesia saat ini adalah fenomena deindustrialisasi dini. Kondisi ini berimplikasi pada melemahnya kemampuan sektor manufaktur dalam menyerap tenaga kerja.

"Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi, pada tahun-tahun mendatang, bukan tidak mungkin tren PHK kembali berulang, seiring menurunnya daya saing industri manufaktur dan melemahnya peran sektor ini sebagai penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar," beber Yusuf.

Sementara selain masalah perekonomian yang menyebabkan PHK, Bob Azam menambahkan, regulasi bongkar pasang, yang menyebabkan tidak ada kepastian usaha memperparah kondisi tersebut.

"Terutama pengupahan, jadi orang ragu-ragu untuk melakukan investasi. Kemudian juga masuknya barang impor, sehingga produk-produk kita itu kalah bersaing karena barang impor yang masuk itu kan subsidi dari pemerintahnya atau dumping," tuturnya.

Said Iqbal yang juga Presiden Partai Buruh menambahkan, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor juga menjadi faktor penyebab PHK besar-besaran di sektor industri tekstil.

"Itu kan menyulitkan pengusaha karena impor China gila-gilaan, tekstil dan garmen," ucapnya.

Di samping itu, daya beli masyarakat yang melemah berkorelasi pada menurunnya produksi dan berujung pada rasionalisasi perusahaan, yakni tutup atau mengurangi jumlah karyawan. Faktor prinsipal, di mana perusahaan asing menarik kembali perwakilannya di Indonesia ke negara asalnya seiring kondisi ekonomi negaranya yang memburuk, menjadi faktor penyebab lainnya.

"Misal Jepang. Kayak PT Sanken, kan itu PHK karena prinsipalnya narik ke Jepang. Nah, tiga faktor itu yang menyebabkan PHK besar-besaran di sepanjang 2024 hingga 2025," ungkap Said Iqbal.

Dia menyoroti masalah upah yang jadi salah satu yang memicu terjadinya PHK. Kenaikan upah yang dinilai mini belum bisa mendongkrak daya beli, sehingga berujung pada menurunnya permintaan dan PHK.

5. Janji 19 juta lapangan kerja, mungkinkah terealisasi?

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
ilustrasi lowongan kerja (IDN Times/Nathan Manaloe)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengobral janji penciptaan 19 juta lapangan kerja saat kampanye tahun lalu. Janji tersebut ditargetkan bisa terealisasi dalam lima tahun. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli optimistis target tersebut bisa tercapai.

“Ini kan proses, yang saya pahami, kita masih dalam tahun ini, kan kita lihat ada berapa (lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja). Jadi kalau 19 juta (lapangan kerja) itu dibagi berapa, 5 tahun? Nanti kita lihat dan saya optimis," ujarnya pada 20 Oktober 2025, dikutip dari ANTARA.

Dia mengungkapkan, dalam satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pemerintah sudah memberikan sejumlah insentif dan inisiatif untuk mendorong ekosistem ketenagakerjaan nasional yang lebih baik.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Kementeriaan Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan membeberkan, untuk mewujudkan target tersebut, Indonesia perlu mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi menjadi syarat utama terbentuknya lapangan kerja baru, dengan investasi dan konsumsi domestik sebagai dua penggerak utama ekonomi nasional.

"Bicara tentang lapangan pekerjaan, syarat pertama adalah (ekonomi) kita harus tumbuh. Kita harus optimistis, kita harus confident. Karena kalau tanpa ada pertumbuhan (ekonomi), apa yang mau kita ciptakan?" tuturnya.

Untuk itu, pemerintah berkomitmen memperkuat iklim investasi dengan mendorong deregulasi termasuk penyederhanaan perizinan dan pemangkasan hambatan birokrasi yang selama ini memperlambat arus modal masuk. Salah satu langkah konkretnya, dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang menjadi instrumen debottlenecking (menghilangkan hambatan) untuk menyederhanakan birokrasi perizinan.

Pemerintah juga mendorong sektor-sektor padat karya seperti industri manufaktur, pariwisata, dan pertanian sebagai motor utama penciptaan lapangan kerja. Selain itu, mengandalkan program prioritas sebagai mesin penciptaan lapangan kerja, seperti Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) dan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemerintah juga menyiapkan Program Magang Nasional bersertifikat untuk membantu percepatan akses lulusan perguruan tinggi ke pasar kerja.

Namun, optimisme pemerintah tersebut ditanggapi dingin oleh buruh. Menurut Said Iqbal, target 19 juta lapangan kerja terlalu ambisius dan cuma janji manis kampanye semata.

"Ambisius, itu hanya bombastis kampanye. Enggak realistis. Fakta di lapangan tidak terjadi," ujarnya.

Menurut dia, penyerapan tenaga kerja pada tahun ini baru terjadi di sektor informal, seperti Kopdes Merah Putih dan MBG. "Penyerapan tenaga kerjanya cuma sektor informal. Apa itu sektor informal? Pertama enggak punya jaminan sosial, enggak ada Jamsostek. Dua, tidak ada persyaratan kerja, gaji di bawah upah minimum, tidak ada hubungan kerja yang permanen," paparnya.

6. Apa solusi mengatasi gelombang PHK?

Kaleidoskop 2025: Antara Realita PHK dan Janji 19 Juta Lapangan Kerja
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pemerintah, pengusaha hingga buruh membeberkan beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah meluasnya atau bahkan mengurangi angka PHK di Indonesia. Menurut Said Iqbal, daya beli yang menurun harus ditingkatkan, dengan menaikkan upah tenaga kerja.

"Karena kita negara berkembang, penyumbang besar daripada daya beli itu purchasing power kan konsumsi. Konsumsi itu bisa naik kalau daya belinya naik. Daya beli bisa naik kalau upahnya layak. Sayangnya kita masih menganut rezim upah murah," ujarnya.

Karena itu, KSPI menyarankan untuk menaikkan upah yang layak. Di samping itu, perlu dilakukan deregulasi. Dia menilai, regulasi yang memberatkan pengusaha harus diubah sesuai harapan pengusaha.

"Permendag Nomor 8, sudah diubah. Tapi kita belum lihat apa implementasi di lapangannya sesuai harapan enggak, jadi deregulasi," ujarnya.

Selain itu, harus kembali melakukan reindustrialisasi perusahaan-perusahaan manufaktur asing seperti Jepang, Korea, China, dengan cara mengirim tim lobi ke tiga negara itu. Hal tersebut lantaran manufaktur banyak menyerap tenaga kerja.

Apindo pun mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang kondusif, di samping mendorong likuiditas di masyarakat, penurunan suku bunga, dan penyediaan energi murah.

"Itu yang Apindo sudah komunikasikan dengan pemerintah," ujar Bob.

Apindo juga sudah mendorong perkembangan pasar, dengan melakukan ekspor, membangun kerja sama dengan pengimpor. Dia pun meminta pemerintah untuk memperbaiki regulasi pengupahan yang tiap tahun berubah-ubah dan pengumumannya mepet di akhir tahun karena bisa meningkatkan ketidakpastian usaha.

"Nah, itu kita bisa diperbaiki lah. Kemudian juga (mendorong pemerintah membuat) policy-policy yang sifatnya pro-bisnis. Itu harus dikembangkan," kata dia.

Sementara Menkeu Purbaya sendiri menyatakan, pemerintah berupaya mendorong pemulihan ekonomi melalui sinkronisasi kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) dibanding memberikan stimulus fiskal baru kepada dunia usaha. Dia meyakini koordinasi tersebut bisa mendorong peningkatan permintaan, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja baru.

"Makanya saya concern dan ingin membantu mereka (dunia usaha) semaksimal mungkin untuk tumbuh lagi, sejalan dengan permintaan. Kenaikan permintaan ini kita dorong lewat perubahan kebijakan, baik di pemerintah maupun di bank sentral," tuturnya.

Yusuf menilai, stimulus hanya solusi jangka pendek pemerintah untuk menstimulasi permintaan agar mengalami peningkatan. Menurutnya, pemerintah juga harus menyelesaikan permasalahan fundamental yang sifatnya jangka menengah hingga panjang.

Dia berpendapat, aspek seperti melakukan industrialisasi lebih massif, lalu mendorong penciptaan lapangan kerja dari proses industrialisasi tersebut hingga persiapan sumber daya manusia (SDM) merupakan beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah terutama dalam konteks jangka panjang, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik.

"Ini ada kaitannya juga dengan target pemerintah yang ingin mendorong 19 juta lapangan kerja tentu target tersebut tidaklah mudah, apalagi jika masalah di industrialisasi yang terjadi secara dini," ujarnya.

Pemerintah, menurutnya, juga perlu melihat peluang di luar industrialisasi mana sektor lapangan usaha yang juga berpotensi. Jika bicara sektor tersier atau jasa, sektor pariwisata bisa menjadi solusi tambahan bersamaan dengan industrialisasi dalam upaya menciptakan 19 juta lapangan kerja yang ingin ditargetkan pemerintah.

Selain pencipataan lapangan kerja baru, Satgas PHK juga dinantikan implementasinya di lapangan. Apindo sebelumnya berharap Satgas PHK bisa menjadi langkah awal mengatasi masalah PHK bersama-sama. Sayangnya, Satgas PHK hingga hari ini belum terbentuk, meski sudah disetujui presiden dan aturan pembentukannya sudah diteken Kementerian Sekretaris Negara.

"Itu segera (direalisasikan)," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto pada awal September lalu.

Dia menuturkan, Satgas PHK ini bertugas untuk mempercepat atau mempermudah proses terkait masalah ketenagakerjaan, terutama untuk mencegah PHK.

Satgas PHK merupakan usulan dari KSPI yang direspons positif oleh Presiden Prabowo. Setelah disetujui, rencananya akan dilakukan pembahasan dengan stakeholders dari elemen pemerintah, pengusaha hingga buruh. Namun menurut Said Iqbal, belum ada pembahasan lanjutan mengenai pembentukan Satgas PHK hingga saat ini.

"Belum ada kejelasan. Belum ada diskusi lanjutan," ungkapnya.

Kendati demikian, dia berharap, Satgas PHK bisa terealisasi secepatnya, setidaknya pada awal tahun depan. Dan sama dengan harapan Apindo, KSPI pun menaruh harapan besar agar Satgas PHK yang pembentukannya masih dinanti ini bisa menjadi salah satu solusi masalah PHK di tanah air.

(Tim penulis: Jujuk Ernawati, Triyan Pangastuti, Vadhia Lidyana, Trio Hamdani, Ridwan Aji Pitoko, Azzis Zulkhairil)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

Pulang Liburan dari Luar Negeri? Simak Aturan Barang Bawaan Penumpang

01 Jan 2026, 06:03 WIBBusiness