Cerita Pengusaha Tailor: Tanganku Menjahit, Masa Depan Anakku Terakit

Intinya sih...
- Imas Trisnawati, penjahit asal Bekasi, menjahit pakaian demi masa depan anaknya
- Dia bisa menyelesaikan tiga pakaian sehari dan membuka usaha jahit setelah resign dari pabrik garmen
Jakarta, IDN Times - Imas Trisnawati adalah seorang penjahit asal Kota Bekasi, Jawa Barat. Sudah lebih dari 12 tahun dirinya menjahit demi merakit masa depan anaknya.
Keseharian Imas dihabiskan dengan menjahit pakaian yang dipesan pelanggannya satu per satu. Dengan tangan kilat dan keahliannya, dia bisa menyelesaikan tiga pakaian sehari.
“Model gamis kayak di patung itu saya sehari tiga baju. Dari pagi saya potong, sore sudah selesai. Atau misalnya pesanan rok dua, satu baju atasan, itu sehari jadi,” kata Imas saat ditemui IDN Times, Kamis (27/3/2025).
Imas memilih membuka usaha jahit usai berhenti bekerja di pabrik garmen. Dengan pengetahuan dasar soal kain dan mesin jahit yang diperoleh selama bekerja di pabrik, dirinya memberanikan diri membuat pakaian sendiri.
“Resign itu 2012, nah bingung gitu, ya sudah coba bikin baju sendiri. Ternyata orang banyak yang minat, jadi nambah-nambah,” ucap Imas.
1. Demi menafkahi anak
Imas mengatakan, dirinya memang harus menafkahi anaknya dengan jerih payahnya sendiri. Dari menjahit pakaian, dia bisa membiayai pendidikan anaknya, bahkan sampai perguruan tinggi.
“Alhamdulillah hasilnya berasa banget, saya sudah bisa renovasi-renovasi rumah, sudah bisa kuliahin anak, apalagi saya juga nyari uangnya sendiri, memang semua dari hasil jahit. Ya kuliah, ya beli motornya, segala macam keperluan kuliah anak itu semuanya ya dari hasil jahit,” ujar Imas.
Setelah menerima sejumlah pesanan jahit, Imas pun meyakini diri untuk mengambil kursus. Dirinya merasa membutuhkan keterampilan lebih untuk menjahit model pakaian yang menurutnya sulit.
“Jadi saya sebelum kursus sudah buka di rumah. Tapi semakin banyak pelanggan, semakin sulit modelnya. Barulah dari situ jadi kursus. Sejak awal tuh saya sendiri, awalnya di dalam rumah, di ruang tamu, sekarang di sini (ada ruangan tersendiri),” tutur Imas.
2. Tak mau pasang tarif mahal, yang penting pesanan lancar
Meski keterampilannya sudah meningkat, Imas mengaku tak mau memasang tarif mahal. Dia hanya mematok tarif Rp150 ribu untuk menjahit gaun panjang seperti gamis. Lalu, untuk rok dia hanya memasang tarif Rp100 ribu. Imas memilih untuk memasang tarif terjangkau, yang penting pesanan lancar alias laris-manis.
“Kalau saya mah yang penting lancar, setiap hari ada. Kalau mahal-mahal juga nanti takutnya sepi, saingannya kan juga banyak di sini,” ujar dia.
Meski begitu, untuk pakaian dengan model yang lebih rumit, seperti drapery, atau pakaian formal laki-laki, Imas harus memang tarif yang lebih tinggi dari biasanya.
“Paling susah itu drapery. Sama jas itu susah, ribet, kalau gamis mah sudah biasa, cepat. Karena kalau drapery, jas gitu jarang bikinnya,” tutur Imas.
“Saya kadang-kadang nolak kalau ada pesanan jas laki-laki, bahannya berat, capai, ya kecuali orangnya berani harga, gak apa-apa,” sambung dia.
3. Pendapatan meningkat hingga 150 persen di Ramadan
Dalam satu hari, Imas biasanya menghasilkan pendapatan Rp200 ribu. Namun, di menjelang Ramadan dan Idul Fitri, pendapatannya bisa meningkat hingga 150 persen.
“Kalau Lebaran begini, puasa begini, itu bisa R500 ribu-an satu hari. Kalau hari-hari biasa mah enggak, paling Rp200 ribu sehari,” tutur Imas.
Imas mengaku, dirinya sudah menerima pesanan pakaian untuk Idul Fitri sejak dua bulan sebelum Ramadan. Saking banyaknya pesanan, Imas harus menutup penerimaan pesanan baru satu pekan sebelum Idul Fitri.
“Sekarang ini saya masih ada jahitan hampir dari 10 orang lagi, harus selesai sebelum Lebaran. Jadi saya sudah gak terima kalau ada yang baru pesan, saya mau selesaiin yang sudah masuk sekarang,” ujar Imas.