Kereta Cepat Whoosh tiba di Stasiun Padalarang. (dok. KCIC)
Proyek kereta cepat mengalami pembengkakan biaya alias cost overrun pada proses pembangunannya. Cost overrun itu telah disepakati sebesar 1,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp18,76 triliun.
Untuk menutupinya, perusahaan-perusahaan di balik mega proyek Indonesia dan China harus mengajukan pinjaman, suntikan modal negara, hingga suntikan modal dari konsorsium China. Adapun suntikan modal dari Beijing Yawan HSR Co. Ltd sekitar Rp8,4 triliun.
Proyek Kereta Cepat telah dibangun sejak 21 Januari 2016. Awalnya, kebutuhan biaya proyek tersebut diperkirakan hanya 6,07 miliar dolar AS atau setara Rp86,67 trililiun. Namun, pada akhirnya ditetapkan biaya proyek bertambah lagi sebesar Rp18,76 triliun.
Penyebab utama biaya proyek bengkak adalah pembebasan lahan, di mana harga tanah yang perlu dibebaskan naik. Penyebab kedua adalah situasi-situasi yang tidak terduga seperti kondisi geologi di tunnel 2 yang berada di area clay shale. Kondisi itu membuat pembangunan sempat terhambat dan akhirnya berdampak pada penambahan biaya.
Berdasarkan jurnal Politeknik Negeri Bandung, clay shale merupakan jenis tanah ekspansif yang akan mengalami pengembangan atau peningkatan volume apabila berkontaksi dengan air. Ketiga, pandemik COVID-19 yang melanda Indonesia pada 2020 menyebabkan pembengkakan biaya dari penerapan protokol kesehatan, proses karantina, dan juga tes COVID-19.
Lalu, proyek KCJB juga menggunakan teknologi GSM-R untuk persinyalan kereta api cepat. Teknologi itu digunakan sebagai teknologi transmisi data (train control data) mengadopsi teknologi yang dipakai di China Railway. Di China, penggunaan frekuensi GSM-R tidak tidak membutuhkan biaya.
Kelima, pembengkakan biaya proyek KCJB juga disebabkan kebutuhan investasi untuk instalasi listrik. Keenam, ada beberapa pekerjaan lainnya yang menyebabkan kebutuhan biaya untuk proyek tersebut melonjak.