Ilustrasi uang. (IDN Times/Aditya Pratama)
Menurut Irfan, rencana BPOM harus dikoordinasikan dengan pelaku industri, sehingga regulasi yang akan dibuat dapat bersifat akomodatif. Sebab, ketentuan pelabelan BPA memang akan membuat harga pangan olahan menjadi lebih mahal, dan akan meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan pelaku industri. Karena itu, menurut dia, pemerintah bisa memberikan insentif kepada industri yang berpotensi terdampak kebijakan tersebut.
“Misalnya, kalau pelabelan BPA dapat membuat harga pangan olahan menjadi lebih mahal karena industri harus melakukan re-packaging dan melakukan pelabelan, bisa saja pemerintah memberikan insentif kepada industri atau melakukan pengurangan pajak, sehingga tidak memberatkan industri,” kata dia.
Selain Irfan, Koordinator Satgas COVID-19 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan juga anggota Persatuan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU), Makky Zamzami, mengatakan semua pihak harus mencari solusi dan jalan tengah yang dapat mengakomodasi semuanya, mengingat banyaknya pro dan kontra mengenai rencana BPOM.
“Saya ambil contoh, misalnya transisi dari minyak tanah ke kompor gas, atau pelarangan penggunaan kantong plastik di minimarket. Dulu dikecam, dan
mendapat banyak pertentangan. Ini hanya masalah komunikasi, masalah alternatif, masalah hal-hal yang memang baik untuk masyarakat dan industri. Buktinya, bisa tetap berjalan sampai sekarang dan memberi manfaat,” tutur dia.
Menurut Makky, kebijakan ini harus dikaji dengan mempertimbangkan kepentingan konsumen, sehingga bisa menghasilkan jalan keluar terbaik. “Hanya perlu mencoba, mengkaji, dan menyadari bahwa end-user itu siapa, produksi atau industri itu siapa, kebijakan siapa, lalu bagaimana mereka bisa saling bersinergi,” imbuh dia.