Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Waduh, BPA di Botol Plastik dan Galon Bahaya Bagi Bayi dan Ibu Hamil

Ilustrasi air minum dalam kemasan (Dok. ANTARA News)

Jakarta, IDN Times - Plastik kemasan pangan yang mengandung Bisphenol A (BPA) disinyalir berbahaya bagi kelompok rentan, termasuk bayi, balita, dan janin ibu hamil. Edukasi masyarakat secara masif mengenai bahaya BPA terus menerus disosialisasikan.

Selain itu, dukungan pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk membuat regulasi semakin mendesak dilakukan.

Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, mengungkapkan isu mengenai resiko BPA sudah lama dibahas di beberapa negara Eropa. Namun, di Indonesia gaungnya belum terlalu luas.

“Dengan dialog ini, kita berharap bisa mengangkat kesadaran masyarakat bahaya BPA bagi kesehatan, serta mengajak pemerintah mengatur regulasi ini. Terlebih banyak merek botol susu bayi mengandung BPA, seperti halnya gelas plastik, peralatan makan, dan lapisan sebagian besar kaleng dan kaleng makanan dan minuman," ujar Nia dalam siaran tertulis, Kamis (14/10/2021).

1. Pemanasan berulang bisa membuat BPA larut

ilustrasi bayi menyusui (sumber: unplash.com)

Menurut Nia, pemanasan berulang dari plastik polikarbonat dapat menyebabkan larutnya BPA ke dalam pangan. Bagi bayi yang diberi makan secara artifisial dapat menelan BPA dosis ganda, mulai botol susu dan dari lapisan timah kaleng susu ke dalam susu bubuk yang dikonsumsi anak.

“BPA berbahaya ketika ada pemanasan berulang dari plastik. Jadi, memang BPA ini problematis karena ada dimana-mana. Di Eropa, barang mengandung BPA sudah jelas tidak boleh sama sekali. Tidak hanya di botol dot bayi, tetapi juga di wadah makanan,” katanya.

2. BPA juga larut dalamil galon kemasan

Galon cuci tangan yang dijual perajin (IDM Times/Gideon Aritonang)

Nia mengingatkan, BPA bisa menunjukkan sifat hormon, dan bisa hadir dimana-mana pada lingkungan karena penggunaannya yang leluasa, seperti penggunaan kemasan air galon.

“Bayangkan, air galon ini melalui rantai pengiriman yang panjang, dan jika di jalan cuaca panas, maka kandungan BPA bisa larut dalam air yang kita konsumsi,” imbuhnya.

BPA adalah polusi yang tidak terlihat, maka Nia menyarankan agar masyarakat menghindari BPA dengan tidak mengkonsumsi makanan kalengan. Dia juga menyarankan supaya tidak memanaskan plastik kemasan. 

Nia berharap pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA.

“Harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA, dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” imbuh Nia.

3. Regulasi BPA di Indonesia sebaiknya ada

ilustrasi air (pixabay.com/ClassicallyPrinted)

Dokter spesialis anak sekaligus anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Irfan Dzakir Nugroho, berharap Indonesia memiliki regulasi terkait BPA. Pasalnya, di Eropa beberapa negara sudah menerapkan regulasi BPA. Di antaranya, Uni Eropa dan Kanada melarang BPA dalam produk bayi, di Perancis melarang penggunaan BPA secara total.

Menurut Irfan, toksisitas BPA telah menjadi perhatian, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika. Toksisitas BPA menimbulkan berbagai penyakit.

“Efeknya sangat luas di berbagai kelompok. Sudah banyak studi yang membuktikan hal tersebut, dan untuk mencegahnya dibutuhkan regulasi preventif yang menjauhkan masyarakat dari bahaya BPA,” terang dia.

4. BPA tidak masuk dalam prioritas RPJMN

IDN Times/Maulana

Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, mengatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tentang kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pemerintah, meski secara spesifik Bappenas tidak menyinggung soal BPA.

“Adanya kandungan yang berbahaya berupa BPA harus kita antisipasi. Regulasi detail seperti kandungan atau komposisi itu ada di masing-masing Kementerian/Lembaga yang terkait,” katanya.

Karena itu, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, edukasi berupa promotif preventif. Edukasi bisa dilakukan oleh siapa saja.

“Di RPJMN, untuk pengendalian penyakit, kita punya prioritas, terutama melihat seberapa besar prevalensinya,” tambahnya.

Kedua, gerakan hidup sehat. Di dalamnya tidak hanya edukasi, ada pula perluasan pengenaan cukai bagi makanan yang beresiko tinggi bagi kesehatan.

Bahjuri menambahkan, perlu dibuat dan diterapkan regulasi yang memang bisa diaplikasikan di Indonesia.

“Namun kita juga perlu mempertimbangkan pertanyaan lain, seperti apakah ada alternatif selain BPA, apakah bahannya mudah dan lain sebagainya. Ada banyak kandungan kimiawi yang harus diperhatikan,” tegasnya

5. Dampak BPA harus diinformasikan ke masyarakat

Aris Merdeka Sirait saat memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan (Istimewa/Dok IDNTimes)

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, berpendapat dampak kesehatan BPA harus diinformasikan kepada masyarakat, terkhusus dampaknya bagi anak. Hal itu selaras dengan Konvensi PBB dan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak, mengenai hak anak untuk sehat dan hak anak untuk hidup.

“Hak itu adalah hak yang sangat fundamental yang dimiliki anak. Apalagi tadi disebutkan hampir 50 persen anak-anak di Indonesia belum menikmati air susu ibu (ASI),” katanya.

Bagaimana merangkai regulasi yang selaras antara hak anak atas kesehatan dengan hak anak untuk hidup harus dilakukan oleh regulator.

“BPOM sebagai wakil pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau kita ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka kita harus kembalikan ke pemerintah,” tegasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dini Suciatiningrum
EditorDini Suciatiningrum
Follow Us