Menurut laporan, peretas menggunakan akun-akun tersebut untuk menipu para pengikut mereka untuk mendapatkan Bitcoin. Caranya dengan memposting pesan yang berisi iming-iming agar pengikut berinvestasi Bitcoin dan mengirimkannya ke peretas. Mereka dijanjikan akan diberikan pengembalian besar hingga dua kali lipat dari jumlah yang mereka kirim.
“Saya memberikan kembali ke komunitas saya,” bunyi salah satu tweet penipuan tersebut.
Rachel Torac, CEO perusahaan keamanan siber SocialProof Security, mengatakan kepada NBC News pada saat itu bahwa serangan itu kemungkinan merupakan serangan Twitter terbesar yang pernah ada.
“Kami beruntung para penyerang mengejar Bitcoin (dimotivasi uang) dan tidak dimotivasi oleh kekacauan dan kehancuran,” kata Torac.
Tahun lalu Twitter telah mengeluarkan pernyataan soal peretasan 15 Juli 2020 tersebut dan mengatakan sejumlah karyawannya menjadi target.
“Serangan yang berhasil mengharuskan penyerang untuk mendapatkan akses ke jaringan internal kami serta kredensial karyawan tertentu yang memberi mereka akses ke alat dukungan internal kami,” kata Twitter.
“Tidak semua karyawan yang awalnya menjadi target memiliki izin untuk menggunakan alat manajemen akun, tetapi penyerang menggunakan kredensial mereka untuk mengakses sistem internal kami dan mendapatkan informasi tentang proses kami.”
O'Connor didakwa dengan tiga tuduhan konspirasi untuk secara sengaja mengakses komputer tanpa izin dan memperoleh informasi dari komputer yang dilindungi; dua tuduhan sengaja mengakses komputer tanpa otorisasi dan memperoleh informasi dari komputer yang dilindungi; dan satu tuduhan konspirasi untuk secara sengaja mengakses komputer tanpa izin dan, dengan maksud untuk memeras sesuatu yang berharga dari seseorang, mengirimkan komunikasi yang berisi ancaman.
Dia juga didakwa dengan satu tuduhan melakukan komunikasi pemerasan; satu dakwaan membuat komunikasi yang mengancam; dan dua tuduhan cyberstalking.