Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede memaparkan perkembangan ekonomi Jateng. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede memaparkan perkembangan ekonomi Jateng. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Intinya sih...

  • Risiko melemahnya kepercayaan investor akibat intervensi politik terhadap BI

  • Sinergi fiskal-moneter penting, namun harus tetap menghormati independensi BI

  • Kondisi likuiditas kering disebabkan ketidakselarasan kebijakan moneter dan fiskal

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai pernyataan terbaru Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, yang menyinggung arah kebijakan moneter, telah menimbulkan pertanyaan mengenai batas kewenangan antara otoritas fiskal dan moneter.

Ia menjelaskan, secara hukum, Undang-Undang Bank Indonesia dengan tegas melarang pemerintah melakukan intervensi langsung terhadap kebijakan moneter, seperti penetapan suku bunga, pengendalian inflasi, dan pengelolaan nilai tukar.

"Setiap komentar yang terkesan mengarahkan atau mengkritisi kebijakan moneter dapat dipersepsikan memengaruhi independensi bank sentral," ujar Josua kepada IDN Times, Jumat (12/9/2025).

1. Risiko yang muncul bila pemerintah ganggu kredibilitas BI

Logo Bank Indonesia

Lebih lanjut, Josua menekankan dalam praktik internasional, kredibilitas bank sentral sangat ditentukan oleh tingkat kebebasannya dari intervensi politik.

"Jika muncul kesan pemerintah berupaya mengendalikan arah kebijakan moneter, maka risiko yang muncul adalah melemahnya kepercayaan investor. Hal ini bisa tercermin dalam arus keluar modal, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, atau kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah karena investor menuntut premi risiko yang lebih tinggi," paparnya.

2. Sinergi Fiskal-Moneter harus tetap hormati independensi BI

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, Josua mengakui sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter tetap penting, selama dijalankan dalam kerangka yang transparan, akuntabel, dan tetap menghormati independensi Bank Indonesia.

"Artinya, sinergi diperbolehkan selama sebatas koordinasi, bukan intervensi," jelasnya.

Josua menambahkan, apabila pernyataan Menkeu hanya dimaknai sebagai dorongan agar kebijakan fiskal dan moneter lebih sinkron dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, maka dampaknya bisa bersifat netral. Namun, jika pernyataan tersebut ditafsirkan sebagai upaya mengarahkan BI, maka risiko terhadap kredibilitas institusi moneter akan meningkat.

3. Likuiditas kering karena tidak selarasnya kebijakan moneter dan fiskal

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti kondisi sistem keuangan nasional yang dinilai cukup "kering" dalam satu tahun terakhir. Ia menyebut kondisi ini disebabkan oleh kurang selarasnya kebijakan fiskal dan moneter.

“Begitu saya masuk ke Kemenkeu, saya lihat sistem finansial kita agak kering. Selama satu tahun terakhir, orang susah cari kerja karena ada kesalahan kebijakan antara moneter dan fiskal,” ujar Purbaya.

Menurutnya, kondisi tersebut menyebabkan perputaran uang di masyarakat menjadi tersendat, yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesulitan masyarakat dalam mencari pekerjaan.

Sebagai langkah awal mengatasi persoalan tersebut, pemerintah berencana menempatkan dana sebesar Rp200 triliun di perbankan nasional. Dana itu berasal dari total simpanan pemerintah sebesar Rp430 triliun yang saat ini masih ditempatkan di Bank Indonesia. Rencana ini, kata Purbaya, telah dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Dari Rp430 triliun, saya pindahkan Rp200 triliun ke sistem perbankan agar bisa menyebar dan ekonomi tumbuh,” tegasnya.

Editorial Team