ilustrasi perang dagang antara China dan Amerika Serikat. (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Perang tarif antara Trump dan Presiden China, Xi Jinping, sempat memicu bea impor hingga 145 persen dari AS dan 125 persen untuk barang AS ke China. Namun, tarif ini ditangguhkan sementara usai negosiasi di Jenewa dan London. China kini memiliki batas waktu hingga 12 Agustus untuk mencapai kesepakatan perdagangan jangka panjang.
Wilayah Asia Tenggara jadi pelarian ekspor utama, dengan lonjakan ke Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sebesar lebih dari 18 persen pada Juni. Ekspor ke Vietnam bahkan naik lebih dari 25 persen dibanding bulan yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan kepada CNBC International, ia akan bertemu mitranya dari China dalam beberapa minggu ke depan.
Ekonom Gu Qingyang dari Universitas Nasional Singapura menilai ketangguhan China mengejutkan banyak pihak.
“Pertumbuhan didorong oleh ekspor, terutama karena perusahaan-perusahaan bergegas mengirim barang sebelum tarif baru atau perubahan strategi ekspor China berlaku,” kata Gu kepada BBC.
Dewan Negara China pekan lalu meluncurkan serangkaian program untuk menstabilkan lapangan kerja, seperti bantuan pinjaman, pelatihan kejuruan, dan perluasan asuransi sosial. Tingkat pengangguran pemuda tetap tinggi di 14,9 persen, meski berada di titik terendah dalam hampir setahun. Meski paruh II-2025 diprediksi tidak menentu, Gu menilai target pertumbuhan 5 persen masih mungkin tercapai, namun sebagian analis tetap pesimistis terhadap proyeksi pertumbuhan tersebut.
“Pertanyaan sebenarnya adalah seberapa besar. Kami percaya itu akan mempertahankan batas bawah 4 persen, yang tetap menjadi tingkat minimum yang dapat diterima secara politik,” kata Dan Wang dari Eurasia Group kepada BBC.