Ini 3 Penyebab Susahnya Kantongi Izin Usaha di Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai ada tiga sebab utama kenapa Ease of Doing Business atau kemudahan berusaha di Indonesia mengalami penurunan.
Pada tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 72 dan sekarang menurun ke posisi 73.
"Masih jauh dari target pemerintah berada di peringkat 40. Masih banyak hal yang perlu dibenahi," kata peneliti KPPOD Naomi Aprlina di Cikini, Jakarta, Minggu (16/12).
Apa saja yang menyebabkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia menurun?
1. Tumpang tindih peraturan terkait pelaksanaan perizinan
Pertama adalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan perizinan, khususnya terkait kewenangan pemberian Izin serta kelembagaan perizinan.
"Kalau bicara kewenangan versi OSS, kekurangan berada pada lembaga OSS. Tapi kalau bicara versi Undang-Undang Pemerintah Daerah dikatakan bahwa kewenangan tersebut menjadi otoritas kepala daerah," ujar Naomi.
Baca Juga: UMKM Sumbang 60 Persen Perekonomian Negara
2. Tidak lengkapnya petunjuk pelaksanaan pelayanan perizinan jadi sorotan
Naomi juga menyoroti masalah tidak lengkapnya petunjuk pelaksanaan (NSPK) pelayanan perizinan. "Padahal ini pedoman dasar dalam penyelenggaraan perizinan," ucapnya.
Berdasarkan 190 kasus investasi pada Pokja 4 Kemenko Perekonomian diketahui bahwa permasalahan paling besar 32,6 persen kemudahan berusaha adalah terkait perizinan.
3. Ketidakpastian standarisasi prosedur, biaya dan waktu perizinan
Ketidakpastian standarisasi ini khususnya terkait sektor industri dan pariwisata. KPPOD menilai masih melihat sektor industri belum ada prosedur tambahan yakni Sistem Inovasi Nasional (SINas).
"Begitu juga untuk pariwisata, kami menemukan ada di dalam pariwisata belum diatur secara detail NSPK nya terkait izin yang harusnya diurus pelaku di sektor usaha," katanya.
Baca Juga: Kredit Usaha Rakyat Ditargetkan Rp190 Triliun pada 2020