Imbas Tarif Trump, BI Prediksi Ekonomi Global Melambat di Semester II

- Ekonomi China belum kuat, sedangkan India tumbuh karena permintaan domestik
- Inflasi global cenderung menurun dengan ekonomi yang melambat
- Aliran modal keluar dari AS meningkat akibat risiko ekonomi AS dan fiskal yang tidak sustainable
Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada semester II-2025 melambat. Pertumbuhan ekonoomi dunia pada 2025 diperkirakan sekitar 3 persen.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya mengatakan, kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang efektif pada awal Agustus 2025 mendatang akan memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia, tertama di negara maju. Tarif Trump akan menimbulkan ketidakastian yang besar, dan dampaknya paling besar terjadi di pasar keuangan.
"Kita melihat ekonomi dunia terutama di negara maju, Amerika Serikat, Eropa, Jepang di semester II trennya akan menurun dibanding semester I di tengah mereka juga memberikan stimulus fiskal dan moneter, dan bank sentral mereka menurunkan policy rate-nya untuk turut support growth," kata dia dalam Editors Briefing di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 17-20 Juli 2025, dikutip Senin (21/7/2025).
1. Ekonomi China diperkirakan belum kuat, sedangkan India tumbuh

BI memperkirakan ekonomi China belum kuat di tengah berbagai diversifikasi ekspor. Sementara ekonomi India diprediksi akan tumbuh karena didukung permintaan domestik.
"Tiongkak diperkirakan (tumbuh) 4,3 (persen), Amerika Serikat 2,1 (persen), Eropa lebih rendah lagi 0,9 (persen), India masih tumbuh tinggi karena permintaan domestik masih kuat, kita perkirakan (ekonomi India) tumbuh di 6,6 (persen)," tuturnya.
Sementara Jepang diprediksi tumbuh 0,8 persen. Adapun Amerika Latin 2 persen, ASEAN-5 4,3 persen, negara berkembang di Eropa 2,1 persen, serta Timur Tengah dan Asia Tengah 3,5 persen.
2. Ekonomi melambat, inflasi global cenderung menurun

Juli menyampaikan, dengan ekonomi yang diperkirakan lebih lemah, maka inflasi global trennya cenderung turun, baik di negara maju maupun berkembang. BI memperkirakan inflasi di AS juga akan menurun.
"Jadi tarif di satu sisi akan tingkatkan inflasi dan itu ada interaksi antara sisi tarif dan permintaan yang melemah. Permintaan yang lemah akan menarik inflasi ke bawah, sehingga inflasi AS masih akan turun dan kaitannya dengan respons kebijakan The Fed," ucapnya.
Dengan kondisi tersebut, BI memperkirakan The Fed akan menurunkan kebijakan suku bunganya pada tahun ini dan tahun depan.
3. Aliran modal keluar dari AS

Meningkatnya risiko ekonomi AS termasuk risiko fiskal menyebabkan keluarnya modal dari AS ke Eropa maupun negara berkembang termasuk Indonesia serta ke komoditas emas yang harganya cenderung meningkat. Hal ini mendorong berlanjutnya pelemahan dolar AS terhadap mata uang negara lain.
"Ada kekhawatiran apakah kebijakan fiskal AS sustainable, sehingga menyebabkan arus modal keluar dari Amerika membuat dolar AS secara umum cenderung melemah terhadap negara-negara lain," kata Juli.
BI menyatakan, untuk memitigasi ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi, menjaga ketahanan eksternal dan stabilitas, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional diperlukan kewaspadaan, respons, dan koordinasi kebijakan yang lebih kuat ke depan.