Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,3 Persen

- Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,3 persen
- Negara-negara besar alami pemangkasan pertumbuhan ekonomi, di antaranya AS, Kawasan Euro, dan Jepang
- Kenaikan tarif global digambarkan sebagai biang masalah yang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan dan prospek yang memburuk di sebagian besar ekonomi dunia
Jakarta, IDN Times – Bank Dunia (World Bank) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,3 persen, turun 0,4 poin dari perkiraan sebelumnya. Lembaga itu menyebut tarif tinggi dan ketidakpastian perdagangan sebagai hambatan signifikan bagi hampir semua negara. Ini akan menjadi laju pertumbuhan paling lemah sejak 2008, tidak termasuk masa resesi.
Dalam laporan Global Economic Prospects, Bank Dunia menyebut gangguan perdagangan sebagai penyebab utama revisi ini. Ekonom mereka menyoroti ketidakpastian pascapandemik kini semakin diperburuk oleh kebijakan global yang tidak menentu. Dampaknya dirasakan mulai dari negara maju hingga berkembang.
“Ketegangan internasional — tentang perdagangan, khususnya — telah mengacaukan banyak kepastian kebijakan yang membantu mengurangi kemiskinan ekstrem dan memperluas kemakmuran setelah berakhirnya Perang Dunia II,” kata Indermit Gill, Wakil Presiden Senior dan Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, dikutip dari CNBC Internasional, Rabu (11/6/2025).
1. Negara-negara besar alami pemangkasan pertumbuhan ekonomi

Dilansir dari Japan Times, proyeksi pertumbuhan untuk Amerika Serikat (AS) dipangkas 0,9 poin menjadi hanya 1,4 persen pada 2025. Kawasan Euro juga mengalami penurunan 0,3 poin menjadi 0,7 persen, sementara Jepang turun 0,5 poin menjadi 0,7 persen. Negara berkembang diperkirakan tumbuh 3,8 persen, menurun dari prediksi awal 4,1 persen.
Meksiko mengalami revisi terbesar, turun 1,3 poin ke level 0,2 persen, akibat ketergantungan perdagangan yang tinggi dengan AS. Sementara itu, proyeksi China tetap di 4,5 persen karena dinilai masih punya ruang kebijakan fiskal dan moneter untuk menopang ekonomi.
Tahun lalu, pertumbuhan global tercatat 2,8 persen, melebihi prediksi 2,6 persen dari Bank Dunia. Ekonomi AS pun tumbuh 2,8 persen sepanjang 2024, melampaui estimasi sebelumnya. Kinerja ini menunjukkan ketahanan ekonomi meski diterpa ketidakpastian global.
2. Kenaikan tarif global digambarkan sebagai biang masalah

Kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump memperkeruh situasi perdagangan internasional. Serangkaian tarif yang diaktifkan dan dibatalkan meningkatkan tarif efektif AS dari di bawah 3 persen menjadi sekitar 15 persen, memicu aksi balasan dari China dan negara lain.
Saat ini, berlaku tarif 10 persen untuk sebagian besar negara, 30 persen untuk China, serta 25 persen untuk baja, aluminium, dan mobil. Tarif juga dikenakan pada komponen otomotif dan barang tertentu dari Kanada serta Meksiko. Ini menjadikan tarif AS tertinggi dalam hampir satu abad.
“Kenaikan tajam dalam tarif dan ketidakpastian yang ditimbulkannya berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan dan prospek yang memburuk di sebagian besar ekonomi dunia,” tulis para ekonom, dikutip dari The Hill.
Indeks ketidakpastian bisnis kecil di AS melonjak ke angka 94 pada survei Mei. Optimisme sempat jatuh setelah pengumuman tarif timbal balik oleh Gedung Putih, yang menargetkan puluhan negara mitra dagang.
3. Risiko global diprediksi naik, perdagangan bisa macet
Bank Dunia memperkirakan perdagangan global hanya akan tumbuh 1,8 persen pada 2025, turun drastis dari 3,4 persen pada 2024. Inflasi global diprediksi tetap tinggi di 2,9 persen akibat tarif dan pasar tenaga kerja yang ketat. Meski begitu, prospek bisa membaik jika terjadi perjanjian dagang antara negara besar.
“Analisis kami menunjukkan bahwa jika sengketa perdagangan saat ini diselesaikan dengan perjanjian yang mengurangi separuh tarif relatif terhadap level mereka pada akhir Mei 2025, pertumbuhan global dapat lebih kuat sekitar 0,2 poin persentase rata-rata selama 2025 dan 2026,” kata Gill.
Namun, jika tarif naik 10 poin lagi dan dibalas negara lain, pertumbuhan global bisa terpangkas 0,5 persen. Kondisi ini bisa menghentikan perdagangan dunia di paruh kedua tahun, disertai kejatuhan kepercayaan dan gejolak pasar.
Wakil kepala ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose, mengatakan risiko resesi global di bawah 10 persen.
“Ketidakpastian tetap menjadi hambatan yang kuat, seperti kabut di landasan pacu. Ini memperlambat investasi dan mengaburkan prospek,” kata Kose.
Ia menyebut dialog dagang mulai membaik dan rantai pasok tengah beradaptasi. Sementara itu, pada 2026, perdagangan diperkirakan pulih tipis ke 2,4 persen. Kemajuan kecerdasan buatan juga bisa menopang pertumbuhan.
“Kami berpikir bahwa pada akhirnya ketidakpastian akan berkurang. Banyak negara juga sedang mendiskusikan kemitraan perdagangan baru yang dapat memberikan dividen nanti,” kata Kose.
Laporan menyebut negara miskin akan paling menderita. Produk domestik bruto per kapita di negara berkembang bisa tertinggal 6 persen dari level sebelum pandemik, dan mungkin butuh dua dekade untuk pulih.
Pekan ini, pejabat tinggi dari AS dan China bertemu di London untuk meredakan ketegangan dagang. Ketegangan telah meluas ke isu mineral tanah jarang dan mengancam stabilitas rantai pasok global.
Sementara Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi juga memangkas prediksi pertumbuhan global 2025 menjadi 2,9 persen, dari sebelumnya 3,1 persen. Mereka menyebut tarif sebagai faktor utama dalam revisi tersebut.
Ekonom Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa globalisasi kini memasuki “titik belokan.”
“Kebijakan liberalisasi perdagangan telah bergeser ke arah proteksionisme dan intervensi,” tulis mereka.