CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan 

Investasi dan ekspor terdampak hambatan non-tarif

Jakarta, IDN Times - Beras menjadi salah satu komoditas pangan yang terkena dampak penerapan hambatan non tarif. Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania, hambatan tersebut pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan harga beras secara signifikan.

"Hal itu juga mempengaruhi asupan kalori karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan bagi keluarga, terutama orang miskin," kata Galuh dalam keterangan tertulis, Minggu (10/11).

1. Produktivitas beras dalam negeri tak cukup menjaga kestabilan harga

CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan IDN Times/Debbie Sutrisno

Galuh melanjutkan, saat ini produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga kestabilan harga beras. Produktivitas beras musiman telah berfluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton/hektar per tahun.

Sementara, pemerintah mengklaim hasil produksi beras dalam negeri telah meningkat setiap tahun dan mengalami surplus.

"Mereka secara konsisten mengimpor beras dari luar negeri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan klaim bahwa produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya.

2. Harga beras dan tarif impor masih tinggi

CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan antarafoto.com

Galuh mengatakan, tingginya harga beras diperburuk oleh tingginya tarif impor. Tarif Rp450/kilogram diberlakukan untuk semua jenis beras impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2017.

Lalu, UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik. Undang-undang tersebut menekankan pada larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan.

"Selain pembatasan tarif dan UU, impor beras juga dipersulit oleh proses impor yang panjang. Pemerintah telah menunjuk Bulog sebagai importir tunggal beras kualitas medium. Kewenangan ini menjadikan mereka memiliki hak monopoli atas komoditas tersebut," kata Galuh.

Dengan demikian, lanjutnya, keputusan untuk mengimpor beras hanya dapat dilakukan setelah kesepakatan dicapai melalui rapat koordinasi antara beberapa kementerian di Indonesia. Rapat koordinasi memakan waktu yang tidak sebentar, belum lagi perbedaan data antar-instansi yang menambah rumit permasalahan hingga menunggu persetujuan presiden.

Baca Juga: Beras Melimpah, Bulog Pastikan Permintaan Natal dan Tahun Baru Aman

3. Harga beras domestik lebih tinggi ketimbang beras internasional

CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan hellosehat.com

Hasil penelitian CIPS menyimpulkan Bulog dapat menghemat lebih dari US$ 21 juta kalau Bulog dapat membeli beras ketika harganya lebih rendah dari Januari 2010 hingga Maret 2017. 

Selain itu, perkiraan produksi beras domestik yang terlalu tinggi juga mengakibatkan munculnya optimisme bahwa pasokan beras dalam negeri akan memenuhi permintaan domestik dan impor beras tidak akan diperlukan.

"Ketika kesimpulan tersebut terbukti tidak benar, biaya impor beras akan meningkat karena tindakan yang tidak akurat pada kebijakan perdagangan," kata Galuh.

Harga beras domestik secara konsisten lebih tinggi dari harga internasional dan terus meningkat secara bertahap sejak 2009. Pada Juli 2019, harga beras dalam negeri dua kali lipat dari harga internasional yaitu sebesar Rp5.923/kilogram. Sedangkan harga beras di Indonesia berkisar antara Rp9.450 untuk beras medium hingga Rp12.800 untuk beras premium.

4. Hambatan non-tarif berdampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor

CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan IDN Times/Arief Rahmat

Galuh mengatakan, pemerintah ingin memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia. Namun, keinginan itu bertolak belakang dengan kebijakan proteksi impor.

Birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor dan hambatan non tarif lainnya akan membawa dampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor. Kinerja investasi dan ekspor Indonesia pada akhirnya akan memengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.

“Saat ini banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri. Belum lagi produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai,” ungkapnya.

5. Indonesia diminta mentaati perjanjian dagang internasional

CIPS: Penerapan Hambatan Non-Tarif Naikkan Harga Komoditas Pangan https://pixabay.com

Proteksi dan hambatan non tarif dalam perdagangan tersebut tercermin dalam peringkat Indonesia di International Trade Barrier Index yang dirilis Property Rights Alliance. Indonesia berada di posisi 72 dari 86 negara.

Di antara negara-negara ASEAN, Singapore menduduki peringkat pertama dalam indeks ini. Indonesia bahkan kalah dari Malaysia dan Vietnam yang duduk di peringkat 55 dan 67. Namun, kata Galuh, Indonesia masih lebih baik dari Filipina dan Thailand yang berada di peringkat 78 dan 83.

"Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam menaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional," kata Galuh

Indonesia sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan non-tarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan.

Namun, Indonesia justru membatasi impor pada beberapa komoditas. Walaupun pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non-tarif.

Baca Juga: 3 Cara Kemenristekdikti Dorong Produktivitas Pangan Nasional

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya