Praktik Backdoor Listing Bisa Rugikan Investor, Mengapa? 

Backdoor listing kerap digunakan untuk main saham gorengan

Jakarta, IDN Times - Ketiadaan aturan yang jelas terkait praktik backdoor listing dapat merugikan investor. Backdoor listing adalah menjadi anggota bursa dengan jalan membeli saham perusahaan, yang terlebih dulu listing di bursa. Praktik itu merupakan cara paling mudah dan cepat bagi korporasi untuk masuk ke bursa, tanpa perlu melewati berbagai persyaratan rumit untuk bisa mencatatkan sahamnya di bursa.

Perhatian terhadap backdoor listing kembali meningkat seiring rencana aksi korporasi yang dijalankan emiten di bursa. Misalnya saja, merger PT Indosat Tbk dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri), yang diperkirakan bermuara pada backdoor listing bagi Tri, yang saat ini bukan merupakan perusahaan terbuka.

"Backdoor listing umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan go public atau tidak mau perusahaannya dicampuri oleh masyarakat, namun ingin mendapatkan akses ke bursa," ungkap Pengamat Pasar Modal Reza Priyambada dalam diskusi virtual, Selasa (16/2/2021).

Baca Juga: Listing di Tahun 2002, SCBD Milik Tomy Winata Mundur dari BEI

1. Backdoor listing kerap digunakan untuk memiliki saham 'gorengan'

Praktik Backdoor Listing Bisa Rugikan Investor, Mengapa? ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Karena tidak melewati saringan seperti pada umumnya, kata Reza, backdoor listing kerap kali dipergunakan para pemilik modal untuk memiliki saham 'gorengan'. Emiten yang telah dipoles menjadi korporasi baru itu umumnya sahamnya akan dikelola, sehingga melonjak tinggi. Namun, harga tinggi itu tidak akan bertahan lama karena biasanya akan kembali turun.

Reza juga mengatakan, "Ketiadaan adanya aturan yang jelas mengenai praktik backdoor listing di Indonesia menimbulkan ketidakpastian, apakah backdoor listing, khususnya yang dilakukan melalui akuisisi perusahaan publik, diperbolehkan menurut undang-undang di Indonesia," ungkapnya.

Saham RIMO yang dimiliki Benny Tjokro, merupakan salah satu contoh backdoor listing yang kurang baik. Saat ini, sahamnya terancam delisting karena telah disuspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 12 bulan. Masyarakat yang memegang sahamnya kini tinggal gigit jari.

"Memang tidak seluruhnya saham yang menggunakan mekanisme backdoor listing berujung buntung bagi investornya. Bisa saja emiten itu menjadi korporasi yang maju setelah mengubah core bisnisnya akibat dari backdoor listing," kata Reza.

2. Perlindungan investor jadi hal yang mutlak

Praktik Backdoor Listing Bisa Rugikan Investor, Mengapa? Karyawan beraktivitas di dekat grafik pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (15/7/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizky mengatakan, perlindungan investor menjadi hal yang mutlak diberikan oleh otoritas bursa. Menurut dia, kewajiban tender offer (tender wajib) merupakan mekanisme yang bagus, untuk melindungi kepentingan investor yang tidak setuju dengan rencana aksi korporasi melakukan backdoor listing.

"Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) itu menegaskan situasi krisis 2008, di mana saat itu mandatory tender offer dicabut karena alasan krisis mempercepat corporate restructuring. Hingga saat ini regulasi tersebut tetap diberlakukan oleh OJK. Jadi sekarang posisinya tidak tender offer, juga tidak apa-apa,” ujar Yanuar.

Penawaran tender wajib (tender offer) yang diatur dalam Peraturan OJK tersebut adalah penawaran untuk membeli sisa saham Perusahaan Terbuka yang wajib dilakukan pemegang saham pengendali baru. Namun, pada Pasal 23 POJK tersebut menyebutkan, perubahan pengendali yang diakibatkan karena penggabungan usaha (merger) dikecualikan dari kewajiban tender offer.

3. Kepemilikan saham pemerintah di Indosat hanya tersisa 14,6 persen

Praktik Backdoor Listing Bisa Rugikan Investor, Mengapa? ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Sementara, Wakil Ketua Komisi VI Martin Manurung mengaku agak khawatir terhadap proses yang terjadi pada Indosat dan Tri. Hal itu terkait dengan kepemilikan saham pemerintah di Indosat yang saat ini tersisa 14,6 persen.

"Saya pribadi khawatir atas potensi terdilusinya persentase kepemilikan saham pemerintah di Indosat akibat merger dengan Tri. Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah dapat menambah modal, lebih baik lagi kalau bisa menambah persentase kepemilikan saham. Akan tetapi langkah ini kurang bijaksana bila dilaksanakan di tengah beban keuangan, vaksinasi, dan pemulihan ekonomi nasional yang berat," ujarnya.

Menurut Martin, perlu dikaji opsi-opsi apa saja yang tak membebani keuangan negara saat ini. Tentu hal ini menunggu proposal merger dari Tri dan Indosat.

Dia mengatakan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah dampak dari merger terhadap pengembangan teknologi 5G di Indonesia. Pandemik COVID-19 telah menunjukkan potensi ekonomi digital di Indonesia, dan negara harus mendukung pengembangan teknologi 5G. Bila merger Tri-Indosat dapat mempercepat transformasi infrastruktur digital, tentu sisi positif ini harus didukung.

"Namun, tentu saja dukungan itu tidak bisa lepas dari kondisi riil yang dihadapi saat ini yakni kepentingan masyarakat yang diwakili negara tetap terjamin dalam rangkaian merger dan konsolidasi industri. Potensi terjadinya dilusi kepemilikan saham negara di Indosat perlu mendapat perhatian," kata Martin.

Baca Juga: Saham-saham BUMN Mulai Pulih setelah Ada Intervensi Pemerintah

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya