Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya Air

Sriwijaya Air terlilit utang di beberapa BUMN

Jakarta, IDN Times - Maskapai penerbangan Sriwijaya Air tengah berpolemik dengan Garuda Indonesia. Pada 7 November lalu, Garuda Indonesia kembali memutuskan kerja sama dengan Sriwijaya Air Group. Perusahaan pelat merah tersebut mengungkap ‘bercerai’ kembali karena beberapa hal yang belum diselesaikan.

Gapura Angkasa juga menghentikan layanan kebandarudaraan seperti ground handling dan penunjang penerbangan ke maskapai Sriwijaya Air dan Nam Air terhitung mulai 6 November 2019. Alasannya, Sriwijaya Air dan Nam Air belum memenuhi kewajibannya kepada Gapura Angkasa. Pada akhirnya, kedua maskapai itu tetap melanjutkan kerja sama manajemen untuk tiga bulan ke depan.

Sebelum berpolemik, Sriwijaya Air sempat malang melintang di dunia penerbangan. Seperti apa perjalanan bisnisnya? Berikut hasil penelusuran IDN Times dari berbagai sumber.

1. Sriwijaya Air terbang perdana pada 10 November 2003

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya AirInstagram.com/sriwijayaair

PT Sriwijaya Air lahir sebagai perusahaan swasta murni yang didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim. Beberapa tenaga ahli yang turut menjadi pionir berdirinya Sriwijaya Air di antaranya adalah Supardi, Capt. Kusnadi, Capt. Adil W, Capt. Harwick L, Gabriella, dan Suwarsono.

Sriwijaya Air didirikan dengan tujuan untuk menyatukan seluruh kawasan Nusantara seperti keinginan raja Kerajaan Sriwijaya dahulu yang berasal dari kota Palembang. Keinginan tersebut kemudian diwujudkan melalui pengembangan transportasi udara.

Tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 2003, Sriwijaya Air memulai penerbangan perdananya dengan menerbangi rute Jakarta-Pangkalpinang PP, Jakarta-Palembang PP, Jakarta-Jambi PP, dan Jakarta-Pontianak PP.

Baca Juga: Polemik Sriwijaya vs Garuda, Kemenhub Pastikan Unsur 3S+1C Terpenuhi

2. Sriwijaya Air menambah armada hingga mendapat penghargaan bergengsi

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya AirInstagram.com/sriwijayaair

Pada mulanya Sriwijaya Air hanya mengoperasikan 1 armada Boeing 737-200. Kemudian, seiring waktu terus ditambah hingga memiliki 15 armada Boeing 737-200. Sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pemenuhan pelayanan publik yang lebih baik, Sriwijaya Air kemudian menambah dan memperluas jangkauan penerbangannya dari Barat ke Timur sekaligus menambah pesawat dengan seri yang lebih baru, yaitu Boeing 737-300,Boeing 737-400, Boeing 737-500W,dan Boeing 737-800NG.

Pada Agustus 2007, Sriwijaya Air mendapatkan penghargaan keselamatan penerbangan dari Boeing, yaitu Boeing International Award for Safety and Maintenance of Aircraft, diberikan setelah inspeksi dilakukan selama beberapa bulan oleh tim dari Boeing Company.

Pada 1 Agustus 2011, Sriwijaya Air meluncurkan buku panduan berbahasa braille dan program khusus untuk penanganan terhadap para Tuna Netra yang terbang dengan maskapai tersebut. Para awak kabin telah dilatih secara khusus untuk menangani penumpang yang memiliki kelemahan tersebut, di antaranya dengan cara pendekatan personal dan dengan sentuhan fisik.

3. Sriwijaya Air dapat sertifikat keselamatan penerbangan

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya Airinstagram.com/sriwijayair

Pada 16 Juni 2015 di Paris Air Show 2015, Sriwijaya Air mengumumkan pemesanan pasti 2 unit 737-900ER dengan 20 unit 737 MAX 8 sebagai opsi yang akan diambil pada masa depan. Pesanan ini merupakan pertama kalinya Sriwijaya Air memesan pesawat yang benar-benar baru dan langsung dari pabriknya. Kedua 737-900ER milik Sriwijaya Air telah tiba bersamaan pada 23 Agustus 2015.

Pada Agustus 2015, Sriwijaya Air kembali mendapatkan sertifikasi keselamatan penerbangan, yaitu Basic Aviation Risk Standard(BARS) yang dilakukan oleh Flight Safety Foundation, berbasis di Amerika Serikat.

4. Citilink mengakuisisi Sriwijaya Air

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya Air(Ilustrasi pesawat Citilink) IDN Times/Fariz Fardianto

Garuda Indonesia melalui anak usahanya, Citilink, mengambil alih operasional Sriwijaya Air dan NAM Air melalui kerja sama operasi (KSO). Seiring dengan itu, keseluruhan operasional Sriwijaya Group termasuk keuangannya akan berada di bawah pengelolaan KSO tersebut. KSO tersebut telah ditandatangani pada 9 November 2018.

Namun, pada 19 November 2018, terdapat perubahan kerja sama dari KSO menjadi KSM (kerja sama manajemen). Perubahan tersebut sebagai antisipasi agar tak 'disemprit' Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).

Dengan perjanjian tersebut, Komisaris Utama dan 2 Anggota Komisaris dijabat oleh perwakilan dari Garuda Indonesia Group. Pada awal 2019, sejumlah langkah dilakukan manajemen baru. Sejumlah rute yang merugi ditutup, seperti rute ke Banyuwangi. Pada 28 Februari 2019, dilakukan perubahan KSM dengan menambah 5 persen Management Fee untuk Citilink Indonesia.

Baca Juga: Cerai dari Garuda, Sriwijaya Diminta Setor Laporan Keuangan ke Menhub

5. Sriwijaya Air terlilit utang di beberapa BUMN

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya Airinstagram.com/sriwijayaair

Pengambilalihan tersebut dilakukan lantaran Sriwijaya Air memiliki utang kepada Garuda Indonesia. Mengutip laporan keuangan konsolidasi Garuda Indonesia per Juni 2019 lalu, total piutang grup ini ke Sriwijaya Air bernilai sebesar US$118,79 juta atau setara dengan Rp1,66 triliun (asumsi kurs Rp14.000/US$).

Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari akhir Desember 2018 yang senilai US$55,39 juta (Rp775,55 miliar). Adapun dari jumlah tersebut nilai piutang dari PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF AeroAsia) kepada Sriwijaya nilainya mencapai US$52,51 juta (Rp735,15 miliar), turun sedikit dari posisi US$55,12 juta (Rp 771,70 miliar). Nilai ini tertera dalam laporan keuangan GMF di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Ternyata, kewajiban Sriwijaya tak hanya menunggak ke Garuda Indonesia dan anak usahanya, namun juga terjadi pada beberapa BUMN lainnya. Sebelum terjadi kerja sama antara Garuda-Sriwijaya pada November 2018, tercatat kewajiban yang belum dibayarkan Sriwijaya ke PT Pertamina (Persero) sebesar Rp942 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) sebesar Rp585 miliar, utang spareparts senilai US$15 juta, dan kepada PT Angkasa Pura II senilai Rp80 miliar, serta PT Angkasa Pura I sebesar Rp50 miliar.

6. Sriwijaya Air putus-nyambung dengan Garuda Indonesia

Sempat Moncer di Udara, Begini Perjalanan Bisnis Sriwijaya Airinstagram.com/anneavantieheart

Ketegangan mulai terjadi ketika Dewan Komisaris Sriwijaya Air memutuskan untuk merombak jajaran direksi pada 9 September 2019. Manajemen melakukan pemberhentian sementara terhadap Direktur Utama Sriwijaya Air Joseph Adriaan Saul.

Tidak hanya itu, manajemen juga memberhentikan Direktur SDM dan Pelayaan Sriwijaya Air Harkandri M Dahler dan Direktur Komersial Sriwijaya Air Joseph Tendean. Ketiga orang tersebut merupakan perwakilan Garuda Indonesia di manajemen Sriwijaya Air.

Anak usaha Garuda Indonesia, Citilink akhirnya menggugat Sriwijaya Group (Sriwijaya Air dan NAM Air) atas dugaan wanprestasi dalam perjanjian bisnis antara kedua grup maskapai penerbangan ini. Logo Garuda Indonesia kemudian dicabut dari pesawat Sriwijaya Air serta GMF AeroAsia yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan pesawat juga menghentikan kerjasamanya.

Akibatnya, Direktur Operasi Sriwijaya Air, Fadjar Semiarto merekomendasikan agar maskapai tersebut menghentikan operasionalnya untuk sementara waktu. Fadjar Semiarto menjelaskan, potensi bahaya muncul karena Hazard Identification and Risk Asessment (HIRA) operasional Sriwijaya Air menunjukan angka 4A (tidak dapat diterima dalam situasi yang ada). Sriwijaya Air juga menghentikan operasi 18 pesawatnya karena dianggap tak laik terbang.

Bercerai kurang dari sebulan, Sriwijaya Air Group akhirnya memutuskan melanjutkan kerja sama manajemen dengan Garuda Indonesia Group. Hal ini membuat fasilitas perawatan pesawatnya kembali dikelola GMF AeroAsia.

Baca Juga: Sriwijaya Air Beri Gratis Bagasi Selama Libur Natal dan Tahun Baru

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya