ilustrasi kemiskinan kultural (pexels.com/Renjith Tomy Pkm)
Kemiskinan kultural gak hanya mempengaruhi keuangan, tetapi juga cara kita memandang hidup, membesarkan anak, hingga berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ketika pola pikir pasrah dan rendah aspirasi menular dari generasi ke generasi, dampaknya terasa jauh melampaui urusan ekonomi, lho.
Berikut dampak kemiskinan kultural yang memengaruhi kualitas hidup:
Rendahnya kualitas pendidikan dan minat belajar
Salah satu dampak paling nyata dari kemiskinan kultural adalah minimnya motivasi untuk menuntut ilmu. Ketika lingkungan sekitar tidak menghargai pendidikan, anak-anak tumbuh dengan pandangan bahwa sekolah bukanlah hal penting. Mereka lebih memilih bekerja sejak dini karena dianggap lebih realistis untuk membantu keluarga. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia menurun dan peluang untuk keluar dari kemiskinan pun semakin kecil.
Terhambatnya pertumbuhan ekonomi individu dan komunitas
Kemiskinan kultural membuat seseorang sulit berkembang secara ekonomi karena mereka gak terbiasa berpikir kreatif atau berinovasi. Orang dengan pola pikir ini cenderung menjalani rutinitas lama dan menghindari risiko yang bisa membawa kemajuan. Ketika komunitas diisi oleh orang-orang yang berpikir seperti ini, maka roda ekonomi berjalan lambat dan gak mampu bersaing dengan daerah lain. Pada akhirnya, ekonomi lokal terjebak dalam stagnasi yang terus berulang dan sulit untuk bangkit.
Ketimpangan sosial yang semakin melebar
Ketika sebagian masyarakat berani berpikir maju dan sebagian lainnya tetap pasif, maka jurang sosial otomatis melebar. Mereka yang berpikiran terbuka akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan peluang baru, sementara yang masih terkungkung dalam budaya kemiskinan tertinggal jauh di belakang. Dalam jangka panjang, ini menciptakan stratifikasi sosial yang sulit dijembatani. Hasilnya, masyarakat menjadi terbelah antara mereka yang berkembang dan mereka yang stagnan.
Menurunnya kesehatan fisik dan mental masyarakat
Kesehatan juga menjadi korban dari kemiskinan kultural. Dalam banyak kasus, pola hidup gak sehat, seperti pola makan asal-asalan, malas berolahraga, atau enggan memeriksakan diri ke dokter, dianggap hal biasa. Padahal, perilaku tersebut lahir dari kurangnya kesadaran dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Lebih jauh lagi, tekanan ekonomi yang dihadapi tanpa kemampuan mental untuk mengelolanya dapat menyebabkan stres kronis, depresi, dan rasa putus asa, lho.
Melemahnya kohesi sosial dan semangat gotong royong
Kemiskinan kultural sering kali membuat masyarakat kehilangan semangat saling mendukung. Rasa iri, rasa gak percaya, atau sikap saling menyalahkan tumbuh ketika sebagian orang mencoba berubah, sementara yang lain merasa tertinggal. Alih-alih bersatu untuk maju bersama, masyarakat justru terpecah. Padahal, kekuatan sejati masyarakat Indonesia ada pada solidaritas dan gotong royongnya, kan?
Kini, ketika kita menyebut kembali bahwa kemiskinan kultural adalah warisan pola pikir dan kebiasaan yang kita wariskan sendiri, maka perjuangan kita gak sekadar menyalurkan bantuan materi. Perjuangan kita adalah merombak kerangka batin kolektif agar semua berani melampaui batas-batas budaya kemiskinan itu. Jika bersatu, langkah kecil kita hari ini bisa jadi titik balik yang besar bagi kehidupan bersama. Semangat!