Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-08 at 10.08.56.jpeg
Surat Donald Trump untuk Presiden Prabowo Subianto terkait penetapan tarif resiprokal (Truth Social/@realDonaldTrump)

Intinya sih...

  • Arah kebijakan The Fed dalam tekanan

  • Terjadi peningkatan gejolak di pasar keuangan global

  • Kombinasi sentimen negatif pasar keuangan dan perlambatan ekonomi global

Jakarta, IDN Times – Bank Mandiri menilai bahwa pengumuman tarif resiprokal terbaru oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, diperkirakan akan menekan prospek perekonomian global maupun domestik.

Tekanan tersebut muncul karena kebijakan tarif impor terhadap 14 negara diterapkan tanpa adanya kesepakatan dagang, ditambah dengan pemberlakuan tarif tambahan terhadap 12 negara lainnya, yang berkisar antara 25 persen hingga 40 persen.

“Di Amerika Serikat, proyeksi inflasi mulai menunjukkan tren kenaikan. Federal Reserve merevisi estimasi inflasi PCE 2025 menjadi 3,0 persen (year-on-year), naik dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,7 persen. Kenaikan ini dipicu oleh tekanan harga akibat kebijakan tarif,” ungkap tim analis ekonomi Bank Mandiri dalam keterangan tertulis, Selasa (8/7/2025).

1. Arah kebijakan The Fed dalam tekanan

ketua the fed(google.com)

Lebih lanjut, pasar mulai mempertimbangkan ulang arah kebijakan suku bunga Federal Reserve. Sebelumnya, pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada paruh kedua 2025.

Namun, jika negosiasi dagang global tidak menunjukkan kemajuan signifikan sebelum tenggat waktu 1 Agustus 2025, arah kebijakan moneter diperkirakan akan berbalik menjadi lebih konservatif.

2. Terjadi peningkatan gejolak di pasar keuangan global

Donald Trump dengan bagan tarif resiprokal pada 2 April 2025 di Gedung Putih (flickr.com/The White House)

Lebih lanjut, Bank Mandiri menilai kebijakan tarif ini juga memicu peningkatan risiko gejolak di pasar keuangan global.

"Pembatasan perdagangan tetap menjadi faktor utama yang menekan prospek pertumbuhan ekonomi global," bebernya.

Namun tidak semua negara terdampak secara negatif. Beberapa justru mendapat penurunan tarif dari AS, dan berpotensi memicu sentimen positif dan membuka peluang peningkatan ekspor, serta hubungan dagang yang lebih menguntungkan di tengah ketidakpastian global.

Kebijakan ini sekaligus menandai babak baru dalam dinamika perdagangan internasional menjelang pemilihan Presiden AS 2026.

" Pasar kini mencermati secara ketat perkembangan lebih lanjut dari proses negosiasi dagang yang masih berlangsung," kata dia menegaskan.

3.. Kombinasi sentimen ngeatif pasar keuabgan dan perlambatan ekonomi global

Ilustrasi pertumbuhan PAD (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Bank Mandiri, indeks saham global telah mencerminkan sentimen negatif pasar atau price in, menyusul pengumuman kebijakan tarif resiprokal terbaru oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

"Investor merespons kebijakan tersebut dengan kehati-hatian, karena dinilai berpotensi melemahkan prospek pertumbuhan ekonomi global," tegasnya.

Kebijakan ini menambah tekanan terhadap pasar keuangan global, di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat meningkatnya tensi dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah negara mitra.

Sektor-sektor yang sensitif terhadap perdagangan, seperti manufaktur dan teknologi, tercatat mengalami pelemahan dalam beberapa hari terakhir.

"Pelaku pasar kini menanti arah kebijakan moneter The Fed dan perkembangan lanjutan dari negosiasi dagang yang masih belum menemui titik terang. Ketidakpastian ini diperkirakan akan terus mendorong volatilitas pasar dalam waktu dekat," ujar Bank Mandiri.

4. Probabilitas AS masuk resesi makin meningkat

ilustrasi resesi (IDN Times/Esti Suryani)

Kebijakan tarif terbaru ini berdampak langsung terhadap performa ekonomi global dan AS. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan terkontraksi sebesar 0,4 persen (year-on-year), sedangkan ekonomi AS diperkirakan melambat hingga 1,5 persen pada 2025.

Goldman Sachs memperkirakan, probabilitas resesi di AS meningkat menjadi 35 persen pada 2025, seiring dengan eskalasi tensi perdagangan.

"Risiko serupa juga membayangi negara-negara maju di Eropa, dengan kemungkinan resesi diperkirakan melampaui 30 persen," kata dia menjelaskan.

Editorial Team