KTT China-UE Digelar di Beijing di Tengah Hubungan Memanas

- Defisit perdagangan UE dengan China mencapai 305,8 miliar euro
- Sanksi balasan warnai ketegangan politik UE dan China
Jakarta, IDN Times – China dan Uni Eropa (UE), organisasi yang terdiri dari 27 negara untuk kerja sama ekonomi dan politik, akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-25 di Beijing pada Kamis (24/7/2025). Presiden China, Xi Jinping, akan bertemu dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dan Presiden Dewan Eropa, Antonio Costa.
Pertemuan ini sekaligus memperingati 50 tahun hubungan diplomatik kedua pihak. KTT yang awalnya dijadwalkan dua hari di Brussels dipersingkat menjadi satu hari, mencerminkan ketegangan yang tengah berlangsung.
Isu perdagangan, teknologi, dan keamanan jadi pemicu utama hubungan yang memanas. UE membatasi akses perusahaan China dalam tender alat medis, lalu dibalas dengan tindakan serupa oleh China.
“Pemimpin China mungkin mendesak mitra Eropa mereka dalam negosiasi perdagangan UE yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat, mendesak mereka untuk menolak tindakan yang akan merugikan China,” kata Henrietta Levin dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), dikutip dari CNBC.
1. Defisit perdagangan UE dengan China capai 305,8 miliar euro

Dewan Eropa mencatat bahwa nilai perdagangan barang dan jasa antara China dan UE sepanjang 2024 melampaui 845 miliar euro (sekitar Rp16,1 kuadriliun). Angka itu mencakup hampir 30 persen dari keseluruhan perdagangan global. Meski begitu, UE mengalami defisit perdagangan mencapai 305,8 miliar euro (sekitar Rp5,8 kuadriliun), naik dua kali lipat dibandingkan 2015.
Defisit ini memicu kekhawatiran di Eropa karena produk China yang masuk dianggap terlalu murah akibat dukungan subsidi negara. Hal ini dinilai merusak daya saing industri dalam negeri. Produsen mobil Eropa terkena dampak dari kebijakan China yang membatasi ekspor mineral langka dan magnet penting untuk kendaraan listrik.
Sebagai langkah balasan, China menyelidiki dugaan praktik dumping oleh produk-produk Eropa. Beberapa komoditas yang disasar antara lain susu, brendi, dan daging babi. Langkah ini memperkeruh tensi dagang yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
2. Sanksi balasan warnai ketegangan politik UE dan China

Selain isu perdagangan, ketegangan politik juga dipicu oleh persoalan hak asasi manusia dan hubungan China dengan Rusia. UE menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat China pada 2021 atas dugaan pelanggaran di Xinjiang. China membalas dengan menjatuhkan sanksi terhadap 10 warga Eropa, meski sebagian sanksi itu dicabut pada April 2025.
China dinilai membantu Rusia secara ekonomi sejak invasi ke Ukraina pada 2022. Dukungan itu diberikan lewat pembelian energi dan pasokan barang yang bisa digunakan untuk sipil maupun militer. Menurut Marina Rudyak dari Universitas Heidelberg, China tidak ingin Rusia kalah karena hal itu bisa mengalihkan fokus Amerika Serikat ke Asia Timur.
UE kemudian menjatuhkan sanksi baru pada Juni 2025 terhadap dua bank dan lima perusahaan China yang diduga terlibat membantu Rusia. Ini menjadi pertama kalinya sektor keuangan China menjadi target sanksi. Kementerian Perdagangan China menyatakan bahwa langkah tersebut merusak hubungan ekonomi dan mengancam akan ada respons balasan terhadap Eropa.
3. KTT dinilai tak akan hasilkan terobosan besar

Sejumlah pengamat menilai pertemuan di Beijing tidak akan menghasilkan gebrakan besar.
“Bahwa KTT ini berlangsung kemungkinan akan menjadi hasil terbesar,” kata Jörn Fleck dari Atlantic Council.
Ia menilai target realistis dari pertemuan ini adalah menjaga dialog terbuka tentang isu tarif dan subsidi.
Kurangnya kesatuan suara di internal UE memperlemah posisi mereka dalam menghadapi China. Lukas Fiala dari LSE IDEAS menyatakan bahwa perbedaan pendekatan antarnegara anggota membuat posisi negosiasi menjadi tidak solid. Menurutnya, KTT ini tidak akan cukup untuk menyelesaikan ketegangan ekonomi dan geopolitik yang sudah berlangsung lama.
Meski begitu, China masih menunjukkan minat untuk memperbaiki relasi. Guo Jiakun dari Kementerian Luar Negeri menyebut hubungan antara China dan UE sebagai salah satu yang paling berpengaruh di dunia.
“UE tidak mengharapkan terobosan dari KTT ini tetapi melihatnya sebagai peluang untuk menjaga saluran komunikasi terbuka dengan pemimpin China sambil berupaya membentuk peran geopolitiknya dan mengurangi ketergantungan kritis,” kata Marta Mucznik dari Crisis Group, dikutip dari Al Jazeera.